KEMERDEKAAN itu dimulai dari kemerdekaan hati dan jiwa. Masihkah ada bisikan hawa nafsu dan syetan yang didengarkan? Masihkah kekhawatirannya mempengaruhi jiwa dan akal? Masihkah diikuti?
Esensi hidup ada pada hatinya. Firaun selalu dalam ketakutan, walaupun sudah menumpas segala hal yang bisa merobohkan kekuasaannya. Namrudz selalu dalam cengkraman kekhawatiran, walapun yang dihadapi hanya seorang pemuda Ibrahim.
Kemerdekaan itu tak bisa dilihat dari kebebasan raga yang bisa melakukan apa saja. Tak bisa diukur dari kebebasan pergi ke mana saja. Juga tak bisa dinilai dari kebebasan berbicara apa saja. Tapi dari, siapakah yang mencengkeram hatinya?
Yang paling kaya, tidak akan pernah bebas dari kekhawatiran kekurangan harta. Yang paling berkuasa, tak akan pernah bebas dari kekhawatiran jatuhnya kekuasaan, walapun seluruh ormas, lembaga negara, hukum dan militer sudah dalam pengendaliannya. Sebab, ketentraman bukan dari kokohnya menggenggam dunia.
Bukankah Belanda kalah oleh Jepang hanya dalam 3 hari? Bukankah Orde Baru tumbang karena gejolak keuangan? Bukankah banyak para raja yang berubah nasibnya menjadi budak dan di pengasingan hanya dalam semalam?
Kemerdekaan itu hanya diraih bila hatinya dirahmati Allah. Hatinya terbebas dari kepungan cengkrama was-was syetan dan hawa nafsu. Bisakah yang mendurhakai Allah terbebas dari kepungan ini?
BACA JUGA:Â Â Dakwah Nabi Yusuf
Saat syetan dan hawa nafsu menjadi teman setia dan akrabnya, menjadi pemimpinnya, maka kepungan ketakutan semakin mengunci hidupnya. Bukankah tujuan mereka menjerumuskan manusia ke neraka? Kemerdekaan itu hanya diraih ketika Allah dijadikan Rabb, Malik dan Illah. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.