Oleh: Alim Witjaksono
Penulis adalah pengamat sosial kemasyarakatan, dan peneliti sastra mutakhir
iyusrustamalim@gmail.com
PERNYATAAN Bapak Bangsa Sukarno, bahwa kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 hanyalah “jembatan emas” tak ubahnya dengan statemen Rasulullah yang menegaskan kepada para sahabat seusai Perang Badar: “Sesungguhnya kita ini baru menang dalam skala kecil-kecilan.” Lalu, sebagian sahabat terperangah, “Jadi, apa yang dimaksud perang besar itu, ya Rasulullah?”
“Perang sesunguhnya ketika kalian sanggup menaklukkan hawa nafsu yang ada dalam diri kalian.”
Dulu, bangsa Indonesia begitu gegap-gempita melawan hingga mengusir penjajahan dari bumi pertiwi. Perjuangan panjang nenek moyang mempertaruhkan jiwa dan raga, telah bergeser maknanya di saat kita harus berjuang menaklukkan hawa nafsu.
Untuk itu, berjuang melawan hawa nafsu tidaklah bersifat temporer, namun suatu proses perjuangan panjang pada tiap-tiap individu dalam mengarungi perjalanan hidupnya.
Fitrah kemerdekaan
Pada awalnya, ketika terlahir ke muka bumi, manusia telah diciptakan sebagai makhluk merdeka. Ia berada dan hidup di permukaan bumi bukan sebagai budak yang terjajah oleh sang tuan maupun bangsa lain. Ia terlahir bukanlah demi kepentingan siapapun. Namun demikian, Tuhan menyediakan seorang figur ibu dan bapak, tempat sang anak bergantung dan membutuhkan pertumbuhan dan pemeliharaan dengan baik.
Jauh sebelum kelahirannya di dunia, manusia sudah menyadari akan statusnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Mereka sadar akan misi hidupnya untuk menghamba pada Allah, Tuhan semesta alam. Jadi, secara fitrah, manusia percaya dan yakin akan adanya satu Tuhan Yang Maha Mencipta dan Mengendalikan semua pengaturan jagat mikro dan makrokosmos ini.
Dalam bukunya yang fenomenal, The God Instinct, seorang psikolog kontemporer Amerika, Jesse Bering menegaskan adanya insting ketuhanan dalam setiap individu. Ia membahas keberadaan manusia yang bukan sekadar makhluk yang berbudi dan berbahasa, namun juga terkandung unsur psikologis yang meniscayakan kepercayaan, bahkan keyakinan pada sesuatu yang bersifat adikodrati.
BACA JUGA: Perihal Kualitas dan Nilai-nilai Ibadah
Secara jasmani, manusia dapat menikmati manisnya kehidupan, lembutnya belaian orang tua, nikmatnya makanan, asyiknya permainan, hingga indahnya pakaian. Memasuki usia remaja, kesannya tentang kehidupan semakin mendalam. Ia sudah bisa merasakan indahnya pemandangan, cantiknya lawan jenis, asyiknya bergaul, manisnya ilmu, bangganya gelar, prestasi dan seterusnya.
Saat dewasa, ia semakin merasa dunia ini sebagai tempat terbaik. Kemudian, manusia dapat menikmati asyiknya pujian, nyamannya rumah tangga, enaknya banyak uang, indahnya kemewahan, hebatnya kekayaan, kekuasaan, pangkat, jabatan dan seterusnya. Dunia menjadi tempat bernaung yang begitu menakjubkan baginya. Bila perlu, ia ingin hidup abadi hingga seribu tahun lamanya.
Pada momen inilah, manusia gemar bersaing dan mulai merinci daftar keinginan, merangkai cita-cita dan merancang rencana-rencana hidup yang lebih tinggi lagi. Waktu menjadi terasa sangat berharga baginya. Hari demi hari ibarat susunan anak tangga yang dilalui menuju hasrat dan obsesinya yang harus terpenuhi.
Beruntunglah mereka yang sudah terlatih (riyadlah) untuk berjuang dan mengorbankan dirinya di jalan Tuhan. Meskipun banyak keinginannya namun ia tak dapat diperbudak oleh keinginan tersebut. Meskipun banyak harta, tinggi kedudukan, anak-anak dan istri yang cantik, namun ia tak mau diperdaya oleh semuanya itu.
Boleh jadi masih ada cita-citanya yang belum tercapai hingga ajal tiba. Namun, ia rela dan pasrah pada ketentuan Allah, serta yakin bahwa Allah-lah Yang Berhak memberi keputusan pada jalan hidupnya. Ya, hanya kepada-Nya dia kembali dan berserah diri. “Aku ini milik Allah, dan hanya kepada-Nya aku akan memasrahkan diri.”
Ia menyadari bahkan meyakini, ketika dirinya memiliki agenda dan rencana, sesungguhnya rencana yang matang dan pasti berlaku hanyalah milik Allah, Sang Pencipta, Pengatur, dan Perencana sesungguhnya dalam perjalanan jagat dan semesta alam raya ini.
Perspektif Al-Ghazali
Dalam bukunya “Menghidupkan Kembali Ilmu Agama”, Al-Ghazali menguraikan fenomena manusia sebagai makhluk multidimensional. Setelah ruh dan jasad dipersatukan, maka jasad akan berfungsi selaku kendaraan bagi ruh. Ketika jasad atau fisik manusia bertumbuh, di dalam dirinya terkandung nafsu-nafsu hewani yang kadang mendominasi keinginan dan hasrat bagi sang tubuh.
Sejatinya, keberadaan harsat dan nafsu ini adalah fitrah, sebagaimana fitrah-fitrah lainnya dalam diri manusia. Ia juga merupakan unsur ruhani yang menjadi sumber gerak tubuh. Ia memproses seluruh organ dan sistem tubuh, baik pencernaan, pertumbuhan, pengembangbiakan, penginderaan, dan sebagainya.
Dari sinilah bersumber setiap rasa dan hasrat jasmaniah manusia. Ini tentunya terkait langsung dengan aktivitas fisik manusia, seperti makan, tidur, bangun, bekerja, seks dan sebagainya. Artinya, hasrat dan hawa nafsu merupakan penggerak berlangsungnya aktivitas dasar manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Selain nafsu-nafsu hewani, dalam diri manusia terkandung perkembangan pikiran dan perasaan (qalbu) yang menjadi sumber peningkatan pemahaman akan spiritualitas dan religiusitas. Untuk itu, manusia sebagai makhluk religius, dengan kemampuan akalnya terus mendorongnya pada hal-hal yang bersifat intelektual, hingga mencapai tingkat keilmuwan yang mumpuni, termasuk hal-hal yang bersifat filantropi dan keberagamaan.
Perspektif Sigmund Freud
Kecenderungan hawa nafsu yang dalam terminologi Freud disebut naluri hewani (id) seringkali lebih unggul dan mengendap dalam ketidaksadaran manusia, ketimbang peran akal pikiran yang bersifat mengendalikan gerak tubuh (ego). Karena itu, ego sebenarnya berfungsi untuk mengontrol dan membimbing aktivitas hawa nafsu yang seringkali berlebihan dan tak terkendali.
Ketika nafsu hewani (id) terlampau kuat mencengkeram tubuh, sementara kecerdasan dan akalnya lemah, maka perilaku seseorang hanya mau menuruti alam bawah sadarnya. Bahkan, ketika pengalaman ruhani (spiritualitas) dengan melakukan tirakat dan ubudiyah yang intens, hingga mengabaikan kebutuhan fisiknya, maka hidup manusia tetap akan dikendalikan alam bawah sadarnya.
Hal ini tercermin jelas dalam lelaku ibadah yang dipraktekkan tokoh Haris dan Arif dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Mereka melakukan tirakat terus-mnerus di tengah malam, puasa selama 40 hari agar terpenuhinya hasrat dan kenginan. Sampai kemudian, kekuatan super egonya lebih dominan melampaui ego dan alam sadarnya.
Pada tokoh Haris yang mengalami proses penyadaran atas bimbingan keluarganya, masih bisa dimaklumi ketimbang tokoh Arif yang terus bergelimang kesesatan. Perannya selaku paramiliter untuk melawan dan menumpaskan kekuatan rakyat yang tak berdosa, hingga hilangnya sosok Wiji Thukul, Munir, Masinah, Udin Sjafrudin dan puluhan wartawan lainnya, seakan telah menjadi “pembenaran” dalam jiwa Arif.
Sebagaimana telah disinyalir dalam Alquran (al-Jatsiyah: 23): “Apakah kalian pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya? Allah membiarkannya tersesat dalam kesadarannya. Allah telah mengunci pendengaran dan perasaannya, serta menutup pandangannya. Maka, siapakah yang sanggup menuntunnya ketika Allah sudah menyesatkannya. Kenapa kalian tidak perhatikan?”
Ketika hidup manusia dikendalikan oleh keinginan dan hawa nafsu, maka hari-harinya dipenuhi dengan rangkaian kesibukan dan keruwetan untuk terus-menerus mengejarnya satu demi satu. Jika ia berhasrat jadi seorang bupati atau anggota dewan misalnya, maka tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga, semuanya akan dipertaruhkan. Perasaannya akan selalu diliputi harapan dan kecemasan, yang serta-merta akan hilang jika ia sudah berhasil menggapainya (nisbi). Namun sebaliknya, jika ambisi itu gagal dicapai, tidak jarang seseorang dirundung stres, nelangsa, bahkan kehilangan akal sehatnya.
BACA JUGA: Kebebasan dan Kerancuan Filsafat Barat
Satu kehendak dan keinginan terpenuhi, muncullah keinginan-keinginan berikutnya. Hidupnya akan senantiasa disesaki berbagai kesibukan demi mengejar daftar kemauan syahwatnya: uang banyak, rumah megah, mobil mewah, tanah berjibun, anak-anak sekolah di luar negeri, gelar, pangkat dan kedudukan yang semakin tinggi, dan seterusnya.
Ketika ia terlena oleh hasrat duniawi yang tak terkendali, pada saat itu ia terjebak dalam jejaring keinginan dan kesibukan yang diciptakannya sendiri atas perintah hawa nafsunya. Dan itu berlangsung hampir di sepanjang hidupnya. Seluruh waktu dan tenaganya kian tersita oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Bahkan, salat dan segala ibadahnya, tidak jarang dijadikan sarana ruhani untuk memuluskan keinginan-keinginan duniawinya semata.
Sebenarnya, dia sadar akan adanya akibat buruk oleh karena menuruti kemauan hasrat dan hawa nafsunya. Akan tetapi, ia merasa kesulitan untuk keluar dari benteng kokoh dan jaring-jaring yang membelenggu dan mengikat dirinya. Setiap kemauan hawa nafsu telah menjadi “tuan” bagi tubuhnya. Hingga pada gilirannya, ia tak lagi menyadari pentingnya rem dan batas-batas yang harus dihindarinya.
Dalam hatinya ia menyadari bahwa sesuatu yang akan diputuskannya pasti berdampak buruk, namun ia sudah kadung dikuasai oleh obsesi dan ambisinya. Ia juga sadar akan kenikmatannya yang instan dan sesaat, namun seperti yang disinyalir dalam Alquran (al-Adiyat: 6-8), bahwa: “Orang semacam itu telah sering mengingkari Tuhan. Ia menyadari keingkarannya itu, tetapi ia telah menjadi budak bagi hawa nafsunya, serta kecintaannya pada harta yang berlebihan.”
Kembali kepada fitrah
Banyak orang yang jiwanya ingin bebas dan merdeka, namun mereka tak mau berkorban selaku hamba-hamba Allah. Kecintaannya pada aksesoris duniawi, telah membuat mereka gelap mata dan hati, hingga seluruh tenaga, waktu, pikiran dan perasaannya hanya didedikasikan untuk kepentingan dunia yang fana dan semu belaka.
Seringkali mereka berani melanggar aturan Allah, hanya demi menuruti kemauan “tuhan-tuhan” kecilnya. Ia bersandar dan mengabdi pada tuhan-tuhan itu, sambil mengabaikan peran Tuhan yang sebenarnya Maha Memelihara dan Memberi pertolongan.
Kini, kita kembali pada persoalan di atas, bahwa sesungguhnya musuh terbesar kita – seperti yang disabdakan Rasulullah – adalah syahwat (hawa nafsu) yang ada dalam diri kita sendiri. Hawa nafsulah yang membuat kita keluar dari rel-rel fitrah seorang hamba, mengingkari keagungan Tuhan, serta melalaikan ikrar suci sejak dalam kandungan.
Perjuangan kita untuk mengendalikan hawa nafsu bukanlah perjuangan temporer dan sesaat, melainkan sepanjang hayat di kandung badan. Pengakuan kita sebagai “hamba Allah” harus dibuktikan dengan kemauan dan kesanggupan untuk ikhlas berkorban demi Allah, yang diwujudkan dengan rasa cinta-kasih kepada fakir-miskin, yatim piatu maupun orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Itulah salah satu manifestasi pengorbanan yang meniscayakan hidup kita merdeka dari belenggu syahwat dan hawa nafsu duniawi yang membinasakan.
BACA JUGA: Dalam Keterusterangan, Ada Ketenangan
Jika menuruti kemauan hawa nafsu, saya pun merasa berat mengetik berjam-jam di atas laptop, menuangkan gagasan dan mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran. Namun, dengan penuh kesadaran dan ketulusan sebagai hamba Allah, saya berusaha untuk tetap taat melaksanakan tugas dan panggilan ini.
Untuk itu, sejauh mana kesungguhan kita berjuang membebaskan diri dari penjajahan hawa nafsu, serta kembali menjadi hamba Allah yang suci dan fitri. Dahulu kita terlahir sebagai hamba Allah yang merdeka, kelak ketika wafat pun semoga dalam keadaan merdeka, jiwa yang selamat, dan husnul khatimah. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.