Oleh: Erma Prawitasari
Penulis adalah kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun
SEBUAH siang nan terik bertahun silam… “Pernikahan itu ibadah, tempat menggali pahala yang lebih banyak. Jangan sampai dakwah menyurut setelah menikah,” pesan seorang murrobiah aktivis dakwah kepada adik-adik binaannya. “Faktanya, banyak muslimah yang dakwahnya menggembos atau bahkan berhenti sama sekali sejak menikah. Dakwah itu wajib, menikah itu sunnah; yang sunnah tidak boleh mengalahkan yang wajib,” lanjut sang pembina.
Aisyah, Maryam, dan Nita (bukan nama sebenarnya) mendengarkan dengan seksama. Ketiga mahasiswi perguruan tinggi negeri ternama itu memadu tekad untuk tetap mengobarkan semangat dakwah setelah bertemu pangeran impian.
Aisyah ingin membuktikan bahwa pernikahannya dengan Romli (juga nama samaran) tidak akan mematikan dakwahnya. Aisyah tetap bertahan dalam dakwah selama enam tahun pertama pernikahan. Ibu tiga anak ini rela mengangkut anak-anaknya yang berusia 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun ke majelis taklim manapun dia harus belajar atau bertugas. Aisyah bersyukur suaminya menyediakan sebuah motor untuk mempermudah urusannya. Namun, Aisyah menyadari bahwa tak mudah baginya menyerap ilmu tatkala dia harus berlari ke sana-ke mari memastikan keamanan anak-anaknya selama majelis taklim berlangsung. “Romli mendukungku untuk tetap aktif dalam dakwah asal tidak melalaikan tugas sebagai ibu,” ungkapnya.
Lain cerita dengan Romli, suaminya, yang namanya kian berkibar dalam dakwah. Romli tidak pernah punya masalah dengan ketiga anaknya. Romli bahkan sudah bercita-cita ingin punya delapan lagi karena ingin menjalankan sunnah “memperbanyak umat.” Bagi Romli, anak bukan penghambat dakwah atau penghalang belajar. Ya, Romli tidak pernah membawa ketiga anaknya ke majelis taklim, halaqa, liqa, atau rapat harokah yang harus dia hadiri. Romli tetap bisa melenggang layaknya bujangan.
“Sekarang aku hamil,” kata Aisyah. “Setelah anak ini lahir, aku tidak tahu lagi bagaimana bisa membawa empat anak dengan sepeda motor. Meninggalkan Muhammad (anak sulungnya, red) di rumah sendirian jelas tidak mungkin. Jika tidak ada tetangga yang bisa kutitipi, atau pembantu, entah bagaimana aku tetap bisa berdakwah,” lanjutnya sambil tertawa lebar.
Maryam malah sudah memutuskan berhenti berdakwah semenjak menikah. “Aku tidak punya waktu lagi,” demikian Maryam menceritakan kondisinya. “Dulu masih kos kan bebas kita…makan tinggal beli, bersih-bersih kamar hanya sepetak itupun sesempatnya saja!” Maryam terbahak. “Cuci bajupun cuma sedikit, sekarang seabrek!” Maryam tidak ada waktu karena masih harus bekerja di kantor untuk membantu biaya kehidupan orang tuanya sendiri. Maryam adalah anak semata wayang. Fajar (suaminya, red) mengijinkannya bekerja selama tidak melupakan tugas rumah tangga.
Bagaimana dengan suami Maryam? “Ternyata menikah itu tidak enak…,” kata Fajar kepada adik-adik binaan dakwahnya, “…tapi enak sekali!” Tentu saja. Fajar dulu harus mencuci dan menyetrika bajunya sendiri, sekarang sudah punya asisten pribadi. Wajar, jika dulu Fajar merasa cukup ganti baju dua hari sekali, sekarang menjadi dua kali sehari. Dulu Fajar rela makan seadanya, membeli dari warung tetangga, sekarang menu lengkap siap menyapa setiap malam. Dalam setahun usia pernikahan, Fajar yang dulu kurus kering menjadi berisi, ganteng dan perlente. “Saya siap tambah istri!” ujarnya lantang.
Kondisi Nita, kawan mereka yang ketiga, lebih menyedihkan. Suaminya pengangguran. Sejak awal pernikahan, Nita lah yang harus membanting tulang menghidupi keluarga. Sebagai wanita Solo, ketaatan Nita kepada suaminya memang luar biasa. Dalam keadaan hamil pun tetap Nita yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci baju, menyapu dan mengepel lantai. Itupun, terkadang suaminya masih minta dipijat. Lelah seharian mencari pekerjaan dan menjalankan amanah dakwah, alasan lelaki yang aktif di sebuah partai ini. Jangan tanya Nita tentang dakwah, untuk bisa bertahan hidup saja, dia sudah bersyukur alhamdulillah.
Mengapa pernikahan justru menjadi penjara bagi dakwah Aisyah, Maryam, dan Nita? Bukankah pernikahan itu media ibadah, tempat para hamba menyempurnakan agama?
Kondisi Aisyah, Maryam, dan Nita akan menjadi berita duka di telinga Nabi SAW. Hilangnya Aisyah, Maryam, dan Nita dari dakwah membuat banyak amanah berserakan terbengkalai. Sejarah mencatat bagaimana para muslimah menjadi pejuang yang sangat berarti bagi kemajuan agama ini. Seandainya sahabiyah Asma’ binti Abu Bakar ra tidak datang mengantarkan makanan bagi Nabi yang sedang berhijrah, apa jadinya? Seandainya Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, dan para wanita Anshar tidak ikut serta dalam berjihad bersama Rasulullah SAW, tentulah tidak ada yang mengobati mujahid-mujahid yang terluka. Seandainya Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah SAW, dilarang suami atau walinya untuk berperan serta dalam kehidupan di luar rumah, tentulah Benteng Atham telah ditaklukkan kaum Yahudi. Seandainya para sahabiyah tidak ada waktu untuk belajar agama lantaran kesibukannya mengurusi keluarga, tentulah Nabi tidak perlu menyediakan waktu tambahan (di luar waktu belajar bersama laki-laki) bagi mereka untuk bertanya soal-soal keperempuanan.
Bukankah beliau, Rasulullah SAW, telah memberikan contoh tentang seorang lelaki yang bershalat sambil mengasuh cucu-cucunya… lelaki yang menjahit sendiri baju-bajunya… lelaki yang merasa cukup dengan kurma sebagai hidangan di meja…? Lelaki dengan kesibukan luar biasa, sebagai juru dakwah terhebat sepanjang sejarah, panglima perang, pemimpin negara, pengurus umat, guru, ditambah banyak istri yang semuanya harus dilayani. Lelaki manakah yang lebih sibuk dibandingkan Nabi?
Apabila Romli rela berbagi waktu, bergantian dengan istri dalam mengasuh anak-anak, tentu Aisyah tak harus surut dari kancah dakwah. Tatkala Romli pergi mencari nafkah, Aisyah menjaga amanah mereka di rumah. Tatkala Romli mengaji, berdakwah, atau sekedar ke masjid berjamaah, tak ada salahnya anak-anak menemani sang ayah. Jika para ibu boleh halaqa, belajar di majelis taklim sembari diganggu (anak-anak), mengapa para bapak yang lebih kuat tenaganya dan lebih berwibawa suaranya, enggan mengajak serta buah hatinya? Inilah sunnah Nabi yang sering terlupakan. Seandainya para bapak tak segan turun tangan mengasuh anak-anaknya, para istri akan lebih rela melahirkan banyak jundi.
Fajar, suami Maryam, harus memahami bahwa menikah tidak lantas berarti punya asisten pribadi. Semua tinggal perintah laksana raja. Banyak ulama justru mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga itu kewajiban suami. Istri hanya membantu semampunya, sebagai wujud ketaatan kepada suami tercinta.
Kisah Gubernur Said bin Amir dapat dijadikan contoh. Terkadang beliau terlambat melayani umat lantaran harus mencuci baju dan tidak punya pembantu. Kholifah Umar bin Khattab pun memanggil untuk menyelidiki kasusnya. Apa yang terjadi? Beliau memaklumi dan menerima alasan ini. Sang Kholifah yang agung tidak lantas memberikan komentar, sebagaimana yang sering kita dengar di akhir zaman, “Memangnya ke mana istrimu, kok cuci baju sendiri?”
Suatu hari Muawiyah bin Haydah al-Qushayri, salah seorang sahabat nabi, bertanya kepada Baginda, “Ya Rasulullah, apakah hak istri atas kami para suami?” Nabi mulia SAW menjawab, “Untuk memberinya makan sebagaimana kamu makan, menyediakan pakaian untuknya sebagaimana kamu menyediakan pakaian untuk dirimu sendiri.”
Apa yang kita lakukan saat memberi makan fakir miskin atau memberi makan orang berbuka? Kita berikan makanan siap saji, siap untuk disantap. Kita tidak menyuruh mereka—para fakir miskin atau orang-orang berpuasa yang hendak berbuka—untuk memasak dulu bahan makanannya, apalagi menyuruh mereka memasak untuk kita. Lantas, dengan alasan apa Fajar menganggap memasak sebagai kewajiban istrinya?
Aisyah menuturkan, “Aku pernah tidur bersama Rasulullah diatas satu tikar. Saat itu aku sedang haid. Apabila darahku menetes di atas tikar itu, Rasulullah mencucinya pada bagian yang terkena tetesan darah dan Rasulullah tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliau shalat di tempat itu pula, lalu Rasulullah berbaring kembali di sisiku. Apabila darahku menetes lagi di atas tikar itu, Rasulullah mencuci pada bagian yang terkena tetesan darah itu saja dan tidak berpindah dari tempat itu, kemudian Rasulullah pun shalat di atas tikar itu.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan oleh Aisyah Ra ketika ditanya apa saja yang dilakukan Nabi ketika berada di rumahnya, Aisyah menjawab, “Ia melayani keluarganya.” (HR Tirmizi)
Apabila Fajar memahami, bahwa mencuci baju dan memasak termasuk kewajiban suami, tentu Fajar tidak mudah bersesumbar untuk siap berpoligami. Jikapun, lantaran kesibukannya, Fajar meminta sang istri untuk menggantikan tugasnya dalam mencuci atau memasak, pasti dia akan lebih empati. Tak akan dia ganti baju dua kali sehari atau mewajibkan menu lengkap setiap hari. Fajar juga tak boleh lupa untuk mengganti keringat istri. Suami meminta tolong istri untuk membantu menyelesaikan tugas-tugasnya, maka selayaknya suami memberi tanda jasa yang pantas. Pembantu saja dibayar, mengapa istri dibiarkan terlantar? Dengan uang saku yang dinafkahkan Fajar kepadanya, maka Maryam tidak perlu pusing mencari tambahan untuk dibagi dengan ayah ibunya.
Menikah itu saling memberi, saling meringankan. Menikah bukan kesenangan sepihak di atas derita pasangannya. Ketentraman, cinta, dan kasih sayang merupakan anugerah yang Allah berikan kepada kedua belah pihak, baik suami maupun istri. “… supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Allah jadikan di antara kalian berdua rasa mawaddah wa rahmah…” [QS. Ar Ruum 21]
Kasus Nita tidak perlu dibahas lagi. Sudah jelas suaminya melalaikan banyak kewajiban dan menjadikan istrinya bagai sapi perahan. “Suami aktivis dakwah tapi pengangguran?” tulis Bunda Izzatul Islam, salah seorang aktivis dakwah, dalam komentarnya, “…sangat tidak islami!” tegasnya. “Kewajiban dakwah tidak menggugurkan kewajiban mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Islam tidak pernah memberikan tugas ini kepada para wanita,” lanjutnya.
Bunda Izzah juga merasa prihatin dan mengakui masih cukup banyak kelalaian dari para suami dalam membebankan tugas yang berlebihan kepada istrinya. “Terus terang, saya juga menjumpai kasus-kasus seperti ini pada ibu-ibu aktivis dakwah. Setelah ditelusuri, peran suami memang sangat besar. Banyak ibu-ibu yang tidak bisa berkiprah di area publik karena tidak mendapatkan ijin dari suaminya. Atau, memberikan beban pekerjaan rumah tangga yang melebihi kepasitasnya. Suami tidak menyediakan pembantu dan sama sekali tidak membantu karena menganggap tugas rumah tangga itu sebagai pekerjaan wanita. Ada pula yang tidak memberi nafkah selayaknya tetapi minta terpenuhi semua hajatnya.”
Rumah tidak seharusnya menjadi penjara, apalagi penjara dakwah. Rumahku surgaku. Dari rumah, kebahagian hidup disemai. Dari rumah, genderang dakwah ditabur. []