BOLEH jadi, ada saja kaum muslimin yang kadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri shalat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya shalat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.
Tentang bagaimana orang yang terbaring lemah itu shalat, sesungguhnya telah jelas bahwa tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Karena syari’at islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
BACA JUGA: Orang Sakit Mental, Ini Cirinya
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (Qs. Al-Baqarah: 286).
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga nampaklah keindahan syari’at dan kemudahannya.
Sebelum mengetahui tata cara shalat, di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah shalatnya adalah diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir. Hal ini melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya,” (HR. Muslim no. 705)
Tata cara shalat orang yang sakit
Dan kemudahan itu adalah mengetahui tata cara shalat orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
a. Diwajibkan atas orang yang sakit untuk shalat berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib adalah salah satu rukunnya.
b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud tetap tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus shalat berdiri dan bila tidak bisa rukuk maka menunduk untuk rukuk Bila tidak mampu membongkokkan punggungnya sama sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya. Kemudian duduk lalu menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sedapat mungkin.
c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri maka melakukan shalat wajib dengan duduk.
d. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh melakukannya dengan berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain:
Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah. (HR. Al-Bukhari. No. 1117).
BACA JUGA: Kucing Kalau Lagi Sakit Ternyata…
e. Orang sakit yang tidak mampu berbaring miring, maka boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.
f. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya atau membantu mengarahkannya ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya tersebut.
g. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya, maka ia shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat. []