DALAM bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita dibebaskan melakukan apapun. Hanya saja, ketentuan-ketentuan syariat harus kita perhatikan. Jangan sampai ada unsur-unsur yang bertentangan dengan aturan Allah SWT. Sebab, bisa jadi pekerjaan yang tadinya mulia menjadi hina akibat tercampur dengan unsur yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam bekerja, salah satu bentuk hubungan antara manusia dengan manusia lainnya ialah syirkah inan. Apa itu?
Syirkah inan adalah dua orang atau lebih dari orang-orang yang diperbolehkan bertindak berserikat (bersekutu) mengumpulkan sejumlah uang yang jumlahnya dibagi antara mereka, atau dalam bentuk saham yang telah ditentukan, kemudian mereka mengembangkannya, keuntungannya dan kerugiannya dibagi di antara mereka sesuai dengan besarnya saham mereka.
BACA JUGA: Dampak Covid-19 terhadap Bisnis di Indonesia, Seperti Apa?
Masing-masing dari mereka berhak bertindak terhadap syirkah, baik atas namanya sendiri atau mewakili para mitra usahanya (sekutu), menjual, membeli, menerima barang, membayar harga barang, menagih utang dan mengembalikan barang yang cacat. Ringkas data, masing-masing dari mereka berhak mengerjakan apa saja yang mendatangkan kemaslahan bagi syirkah.
Dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi.
1. Hendaknya syirkah dilakukan sesama kaum Muslimin, karena non Muslim tidak bisa dijamin bisa meninggalkan berinteraksi dengan riba atau tidak memasukkan harta haram ke dalam syirkah. Kecuali jika hak menjual dan membeli di tangan orang Muslim maka tidak salahnya melibatkan orang non Muslim ke dalam syirkah. Sebab, tidak ada kekhawatiran kalau orang non Muslim tersebut akan memasukkan harta haram tersebut ke dalam syirkah.
2. Besarnya modal dan bagian para sekutu harus diketahui, karena keuntungan dan kerugian sangat terkait dengan diketahuinya modal dan saham. Sedang tidak tahu bagian tiap para sekutu atau saham mereka menyebabkan sekutu memakan harta manusia dengan batil yang diharamkan Allah dengan firman-Nya, “Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara yang batil,” (Al-Baqarah: 188).
3. Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham. Jadi sekutu tidak boleh berkata, “Jika kita mendapatkan keuntungan berupa kambing, maka menjadi milik si Fulan dan jika tidak mendapatkan keuntungan berupa pohon rami maka menjadi milik si Fulan,” karena di dalamnya terdapat unsur ketidakjelasan (gharar) yang diharamkan.
BACA JUGA: Doa Orang yang Kesusahan dan Teraniaya akan Dikabulkan Allah
4. Jika saham berupa uang, namun ada seseorang mempunyai komoditi ingin ikut bergabung dalam syirkah, maka komoditi dihargai dengan uang sesuai dengan harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak diketahui nilainya dan berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya itu dilarang syariat karena menyebabkan penyia-nyiaan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
5. Pekerjaan diatur sesuai dengan banyak tidaknya saham sama seperti dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Misalnya, sekutu yang mempunyai saham sebesar seperempat dari syirkah maka bekerja empat hari. Jika para sekutu sepakat mengontrak tenaga, maka gajinya sesuai dengan nilai saham para pemberi saham.
6. Jika salah seorang sekutu meninggal dunia, syirkah menjadi batal. Jika misalnya ia gila, ahli warisnya atau walinya berhak membatalkan syirkah atau mempertahankannya berdasarkan akad terdahulu. []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah