SEBELUM menikah ada beberapa proses yang perlu dilalui oleh pasangan muslim. Selain berta’aruf secara syar’i, Islam menganjurkan nadzor atau melihat calon pasangan. Kemudian beranjak ke khitbah atau lamaran sampai ke jenjang pernikahan.
Dalam proses-proses tersebut, diharapkan pasangan yang akan menikah telah saling mengenal dan mengetahui kondisi masing-masing tentunya dalam batasan syar’i. Bukan hanya soal karakter atau sifat masing-masing, ini juga termasuk soal penyakit atau cacat yang dimiliki calon pasangan.
BACA JUGA: Masa Lalu yang Buruk Haruskah Diungkap kepada Calon Pasangan?
Apakah semua penyakit dan cacat itu wajib dikemukakan?
Islam mengaturnya dalam syari’at yang sempurna. Dikutip dari Islamqa, ada beberapa kaidah terkait penyakit yang perlu dan tidak perlu diberitahukan kepada calon pasangan. Berikut ini kaidahnya:
1. Penyakit yang dapat mempengaruhi kehidupan berkeluarga serta dapat berpengaruh bagi dia dalam memenuhi hak suami dan mengurus anak. Itu perlu diberitahukan.
2. Penyakit yang menakutkan bagi suami’istri baik dari penampilannya maupun aromanya. ini juga perlu diberitahukan.
3. Penyakit bersifat nyata dan tetap, bukan khayalan dan perasaan was-was, bukan pula penyakit tiba-tiba atau penyakit yang akan hilang sementara waktu atau setelah pernikahan. ini pun perlu diberitahukan.
Berikut penjelasannya:
Ulama Lajnah Ad-Daimah Lil-Ifta pernah ditanya, “Ada seorang gadis muda yang dari waktu ke waktu mengalami kerasukan setan. Kadang hilang, kadang timbul lagi. Sudah beberapa orang yang datang hendak melamar, namun pihak keluarga menolak menikahkannya karena mereka tidak tahu bagaimana cara memberitahu para pelamarnya. Mereka sangat ragu-ragu dalam masalah ini, sehingga kesempatan menikah menjadi hilang percuma. Akhirnya pihak keluarga akan memilihkannya seorang calon suami yang juga memiliki kekurangan dalam hal tertentu (cacat), sehingga dia akan lebih memudah menerima sang gadis tersebut. Sekarang akan datang seorang pelamar yang memiliki kekurangan bahwa dirinya mandul. Namun datang hendak melamar yang tak lain adalah sepupunya, dia mengatakan telah mengetahui penyakit yang dideritanya. Cuma problemnya bahwa ibu dari pemuda ini (bibinya sang gadis) juga menderita kasus serupa. Dan ketika kami tanya pendapat seorang dokter tentang rencana pernikahan tersebut, dia menjawab bahwa dirinya tidak menganjurkannya, karena menurutnya kemungkinan anak yang lahir keduanya menderita penyakit serupa cukup besar.
Pertanyaannya adalah, apa hukum syariat tentang pernikahan semacam ini? Apakah jika seandainya anak yang lahir mengidap penyakit serupa kami dianggap telah bertindak zalim, karena telah ikut membantu terwujudnya pernikahan tersebut? Karena kami mengetahui kemungkinan akan lahir keturunan dari perkawinan tersebut cukup besar?”
Maka mereka menjawab, “Hendaknya mereka tidak mencegah anak gadis itu dari pernikahan dan menikahkannya dengan orang yang datang melamarnya. Kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah dan meninggalkan ucapan dokter yang melandasi pandangannya berdasarkan kemungkinan. Karena pernikahan mengandung kemaslatan kedua belah pihak, melindungi gadis dari kesendirian. Syaratnya adalah sang gadis ridha dengan suami yang telah mendapat ridha dari walinya.” (Syekh Abdul-Aziz bin Baz, Syekh Abdur-Rozzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Shaleh Al-Fauzan, Syekh Abdul-Aziz Al-Syaikh. Fatawa Lajnah Da’imah, 18/194)
Mereka juga ditanya, “Jika seorang wanita memiliki problem dalam rahimnya, atau dalam masalah menstruasinya yang mengharuskan adanya terapi sehingga mungkin akan mengakibatkan tertundanya kehamilan, apakah perkara tersebut harus disampaikan kepada pihak yang melamar?”
BACA JUGA: 3 Hal Ini Bantu Kamu Kenali Calon Pasangan Hidupmu Tanpa Harus Pacaran
Mereka menjawab, “Jika problem tersebut bersifat tiba-tiba yang juga dapat terjadi pada wanita sebayanya, kemudian dapat hilang, maka tidak wajib memberitahunya. Akan tetapi apabila penyakitnya bersifat kronis, atau bukan penyakit ringan, kemudian saat dia masih mengidapnya dan belum sembuh, datang orang yang melamarnya, maka walinya harus memberitahu pelamar tentang hal tersebut.” (Syekh Abdul-Aziz Al-Syaikh, Syekh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19/15)
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya, “Seorang laki-laki melamar seorang wanita, sedangkan sang wanita dikenal memiliki cacat fisik, akan tetapi cacatnya tertutup tidak jelas sementara cacat tersebut masih diharapkan kesembuhannya, seperti belang, kusta, apakah hal tersebut harus disampaikan kepada sang pelamar?”
Beliau menjawab, “Jika seseorang melamar seorang wanita yang memiliki cacat tersembunyi sedangkan ada orang yang mengetahuinya, maka apabila si pelamar menanyakannya kepada orang tersebut, wajib baginya menjelaskannya. Perkara ini telah jelas. Akan tetapi, apabila dia tidak menanyakannya, maka hendaknya orang tersebut memberitahunya, hal ini termasuk bab nasehat, apalagi jika cacat tersebut sesuatu yang tidak ada harapan sembuh. Adapun jika cacatnya ada harapan sembuh, maka perkaranya lebih ringan. Akan tetapi ada penyakit yang mungkin hilang namun memerlukan waktu yang lama, seperti kusta misalnya –jika benar dapat sembuh- saya sampai sekarang tidak tahu ada orang yang sembuh dari penyakit ini. Maka hendaknya dibedakan masalahnya, antara yang ada harapan sembuh dalam waktu dekat dengan yang ada harapan sembuh dalam jangka panjang. ” (Liqoat Babul Maftuh, 5/Soal no. 22).