PERSATUAN umat Islam sepertinya sekarang masih berupa mimpi. Walaupun begitu banyak ulama dan anasir umat Islam yang menginginkan terwujudnya persatuan umat Islam, tapi ternyata tak jarang juga apa yang mereka lakukan melanggengkan perpecahan umat ini. Sepertinya kita masih harus sering mentadabburi firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 103. Kita mungkin sudah sering membaca ayat tersebut, tapi kita seakan-akan tak pernah mengerti semangat dari ayat ini.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).
BACA JUGA: Darurat Kerukunan Umat Beragama
Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah bersatu. Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan. Sikap ini kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap ingin menang sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti benar sedangkan pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi kemudian adalah saling menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan semua pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.
Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan bahwa salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena masuknya paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan mainstream mazhab fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan eksistensi mazhab yang sudah ada dan mencegah menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang tidak terikat dengan mazhab tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan panjang berpuluh-puluh tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan masalah-masalah umat lain yang lebih asasi malah terlupakan.
Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus terjadi pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan perbedaan pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan pendapat di antara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai menyebabkan perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara furu’ dan khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan permusuhan. Indah sekali prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku adalah benar tapi masih terbuka kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain adalah salah tapi punya kemungkinan benar. Mereka baru bersikap intoleran jika perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah ushul seperti terhadap kelompok yang punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar terhadap ayat-ayat Qath’i.
Penyebab kedua susahnya mewujudkan persatuan umat adalah tumbuh kembangnya wabah nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa” (M. Shiddiq Al-Jawi. 2005. Membuang Nasionalisme Ke Tempat Sampah). Kata “bangsa” sengaja diberi tanda kutip, karena memiliki makna yang tak baku bahkan bersifat imajiner. Contohnya adalah, dulu warga Timor Leste dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi setelah merdeka mereka tak lagi menjadi bangsa Indonesia melainkan bangsa Timor. Andaikan Papua memisahkan diri dari NKRI, maka di Papua tak akan ada lagi bangsa Indonesia, yang ada hanya bangsa Papua.
BACA JUGA: Kebutuhan Umat pada Ahli Fiqih yang Kokoh Ilmunya
Konsep nasionalisme juga bukanlah sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Istilah dan konsep nasionalisme muncul beriringan dengan terjadinya Revolusi Prancis, industrialisasi, liberalisasi dan sentimen bangsa yang berupaya menggantikan sistem feodalisme (Kurniawan. 1996. Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di Panggung Masa Kini). Paham nasionalisme juga tak pernah dikenal oleh umat Islam selama 10 abad. Paham ini baru masuk ke dunia Islam ketika Barat melancarkan penjajahan ke negeri-negeri Islam sejak abad ke-17 M. Bersamaan dengan penjajahan fisik, Barat dipimpin oleh Inggris dan Prancis juga menyebarkan paham nasionalisme kepada umat Islam, tujuannya jelas adalah untuk melemahkan persatuan umat Islam dan Daulah Islam yang ujung-ujungnya memecah belah umat dan melanggengkan penjajahan mereka di tanah umat Islam. Bukti keberhasilan Barat memecah belah umat Islam adalah dengan berdirinya lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) dalam dunia Islam, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam tubuh umat Islam selama lebih dari 13 abad. Dan yang paling menyedihkan adalah, tak pernah ada upaya serius dari para pemimpin negara-negara bangsa tersebut untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu bendera.
Penyebab ketiga penghambat persatuan umat Islam adalah sikap pesimisme, pasrah dengan keadaan dan keputusasaan terhadap kondisi perpecahan umat seperti sekarang. Sikap ini kemudian menjadikan banyak umat Islam yang tak lagi bersemangat untuk mewujudkan persatuan umat, mereka menganggap upaya tersebut hanyalah upaya yang sia-sia, tak akan berhasil bahkan utopis. Hal ini juga menjadikan sebagian pejuang Islam mengambil sikap pragmatis, kompromi dengan cara-cara di luar Islam yang dianggap akan lebih cepat membuahkan hasil. Realita dan kondisi empiris dijadikan tameng dan pembenaran untuk mengambil langkah pragmatis dan kompromistis tersebut, padahal hal tersebut menyimpang dari garis yang ditetapkan dien Islam. Dan sikap ini sebenarnya akan semakin menjauhkan umat Islam dari persatuannya yang hakiki. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: abufurqan.net