DALAM madzhab Hanafi, penurunan/penyusutan “nilai uang” dalam peminjaman harus dibayarkan. Misalkan A meminjam uang kepada B sejumlah 1 juta rupiah. Karena pengembaliannya terlalu lama, maka saat dikembalikan nilai uang tersebut menyusut jauh, kira-kira hanya setara dengan 500 ribu. Maka dalam kondisi seperti ini, A harus membayarkan penyusutan nilai tersebut.
Jadi yang harus dibayarkan oleh A kepada B sebesar 1,5 juta. 1 juta asal pinjaman, dan 500 ribu nilai penyusutan yang harus dibayarkan.
BACA JUGA: Pernah Pinjam Uang ke Bank, Apa Hukumnya?
Dalam madzhab Hanafi, tambahan pembayaran hutang dalam kondisi seperti ini tidak dipandang sebagai riba, tapi sebagai unsur keadilan agar tidak mendzalimi orang yang dihutangi. Tapi ingat, ini hanya berlaku saat terjadi penyusutan “nilai”, kalau tidak, maka harus dikembalikan sesuai dengan jumlah yang dipinjam saja. Uniknya, pendapat ini juga diadopsi oleh Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-.
Walaupun pendapat di atas belum tentu ‘diaminkan’ oleh madzhab yang lain, paling tidak ada tambahan wawasan yang bisa kita dapatkan. Terlebih, pendapat di atas tidak keluar dari madzhab yang empat, yang sering kali menjadi solusi madzhab lain dalam kondisi-kondisi tertentu.
Jadi, fiqh itu luas kawan. Tidak sesempit apa yang dikira oleh sebagian orang. Pelajarannya, mari terus belajar. Karena apa yang belum kita ketahui, masih jauh lebih banyak dari apa yang sudah kita ketahui. Semakin luas ilmu seseorang, biasanya juga akan mengantarkan kepada kematangan pribadi dalam mengajar, berfatwa, dan menyikapi perbedaan yang ada. Wallahu a’lam. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani