Oleh: Erma Pawitasari
ALKISAH ada seorang wanita yang kebingungan. Ia telah membaca beberapa anjuran agar wanita tidak keluar rumah. Namun, di sisi lain, ia telah pula membaca kewajiban wanita menuntut ilmu dan berdakwah. Dalam kebingungan ini, ia akhirnya mengikuti perintah suaminya untuk di rumah saja.
Ia berhenti menuntut ilmu maupun berdakwah. Alasannya, dilarang suami beraktivitas di luar rumah. Sahabatnya tidak habis pikir, jika tidak boleh keluar rumah untuk mengaji atau berdakwah, mengapa ia boleh keluar rumah untuk belanja ke pasar atau mengurus KTP di kelurahan?
Argumentasi 1: Wanita Tetap di Rumah
Muhammad Ali al-Allawi dalam bukunya “The Great Women” mengutarakan bahwa wanita diwajibkan untuk senantiasa di rumah dan tidak boleh keluar rumah kecuali untuk keperluan mendesak.[1] Dalil yang digunakan adalah firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu… [2]
BACA JUGA: Wanita yang senang Bekerja dan Menghasilkan Uang?
Al-Allawi mengakui bahwa ayat di atas ditujukan Allah kepada para istri Nabi, namun menurutnya perintah ini berlaku secara umum untuk wanita-wanita muslimah lainnya. Al-Allawi menguatkan pendapatnya dengan hadits Nabi SAW: “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke masjid, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [3]
Mereka yang sependapat dengan pandangan ini juga menggunakan hadits dari Aisyah ra.:
“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa yang terjadi pada kaum wanita, niscaya beliau akan melarang mereka berangkat ke masjid sebagaimana larangan yang berlaku bagi wanita Bani Israel”. (Hadits Riwayat Muttafaqun ‘alaih)
Argumentasi 2: Wanita Wajib Berkontribusi Dalam Masyarakat
Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya “Emansipasi Adakah dalam Islam” menjelaskan bahwa kaum wanita memiliki beberapa tugas yang sama dengan kaum pria. Beberapa tugas tersebut adalah beribadah ritual (sholat, haji, puasa), berakhlaq mulia, bersedekah, bersaksi di pengadilan, menuntut ilmu, berdakwah, dsb.[4] Dalil-dalil yang dikemukakan antara lain:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ
Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” [5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa… [6]
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” [7]
…Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil… [8]
Beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa kaum wanita memiliki tugas-tugas yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang. Adakalanya keberadaan kaum wanita dalam kancah publik menjadi fardlu ‘ain, seperti dalam memenuhi kesaksian di pengadilan.
Adakalanya, menjadi fardlu kifayah, seperti dalam berdakwah dan pengobatan. Ada beberapa profesi publik yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita, antara lain sebagai dokter kandungan, bidan persalinan, dokter bedah untuk pasien perempuan, guru TK, guru untuk murid perempuan yang menjelaskan tentang masalah kewanitaan, dll.
Pada profesi-profesi tersebut, laki-laki boleh saja mengambil alih, namun sifatnya darurat. Contohnya, apabila ada wanita yang hendak melahirkan namun tidak ada yang dapat menolongnya kecuali laki-laki maka si laki-laki ini boleh melihat aurat si wanita.
“Darurat” artinya dalam keadaan normal harusnya tidak terjadi. Artinya, keberadaan dokter wanita untuk menangani pasien wanita seharusnya tersedia. Selama belum tersedia, maka laki-laki boleh melakukannya namun menjadi fardlu kifayah bagi kaum wanita untuk menyiapkan diri mengambil profesi ini.
BACA JUGA: Kenapa sih Wanita Barat Banyak yang Masuk Islam? Ini Pengakuan Mereka
Tiga Kondisi Wanita
Kondisi wanita dibedakan dalam tiga kelompok. Pertama, wanita lajang. Kedua, wanita bersuami tanpa tanggungan mengasuh anak. Ketiga, wanita dengan tanggungan mengasuh anak. Ketiga kondisi ini memiliki fakta yang berbeda.
Wanita lajang, yakni wanita tanpa suami dan tanpa anak, biasanya memiliki waktu yang lebih luang dibandingkan kedua kondisi lainnya. Walaupun ia harus merawat orang tuanya yang sudah renta, misalnya, waktu yang diperlukan biasanya tetap lebih sedikit dibandingkan mengasuh bayi. Apalagi jika dibandingkan dengan wanita yang mengasuh bayi dan beberapa anak kecil sekaligus.
Merawat orang tua merupakan kewajiban bersama seluruh anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun anak wanita yang belum menikah. Hal ini otomatis meringankan kewajiban. Kondisi wanita lajang yang demikian dapat menyebabkan kebosanan apabila ia tidak memiliki aktivitas yang berhubungan dengan dunia luar (publik), baik secara fisik maupun secara mental (via internet, dll). Kebosanan yang terus-menerus dapat mengakibatkan depresi.
Wanita bersuami tanpa tanggungan mengasuh anak suami memiliki waktu yang sangat luang. Walaupun tanpa pembantu sekalipun, dan ia telah menyibukkan diri dengan menemani suami, memasak dan membersihkan rumah, tetap saja waktunya masih tersisa.
Yang membedakan dengan wanita lajang adalah bahwa ia memiliki tugas kepada suami yang tidak dapat digantikan wanita lain, sehingga aktivitasnya di luar rumah harus mendapatkan ijin suami. Selain aktivitas untuk suami, apabila ia tidak memiliki aktivitas lainnya maka ia mudah didera kebosanan yang dapat berlanjut pada depresi.
Wanita yang memiliki tanggungan mengasuh anak biasanya harus pontang-panting berjuang membagi waktu dan tenaga. Bayi yang tidak mau tidur di malam hari, sementara anak-anak lainnya memerlukan bundanya di siang hari, benar-benar menguras tenaga sang bunda.
Hal ini belum termasuk urusan kebutuhan suami. Apalagi jika suami sibuk sehingga memerlukan bantuan istrinya untuk memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Total waktu 24 jam sehari terasa sangat tidak cukup.
Rasulullah SAW sangat memahami ketiga kondisi di atas. Oleh karena itu, wajar apabila kita dapati dalil yang seakan/sekilas tampak membingungkan: di satu sisi mengutamakan wanita untuk menetap di dalam rumah, namun di sisi lain menyuruh wanita beraktivitas di luar rumah. Kebingungan ini tidak perlu terjadi apabila kita memahami konteks dari tiap-tiap dalil yang ada.
Memahami Dalil Dalam Konteks
Sahabat Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa suatu ketika datang seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah SAW. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” [9]
Apa yang terbaca dari riwayat di atas? Apakah berjihad tidak wajib? Apakah merawat orang tua menggugurkan kewajiban berjihad? Apakah seluruh pemuda yang orang tuanya masih hidup tidak terbebani kewajiban berjihad?
BACA JUGA: Jutsamah Al-Muzainah, Wanita yang Sering Mengunjungi Bunda Khadijah
Dalam riwayat lain, seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah SAW: “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” [10]
Jihad merupakan amalan yang sangat utama. Nabi SAW bahkan pernah menghukum sahabat Ka’ab bin Malik, Murrah bin Rabi’ah Al ‘Amid dan Hilal bin Umaiyah Al Waqifi yang tertinggal (tidak ikut berjihad) dengan melarang kaum muslimin berbicara dengan mereka. [11]
Lalu bagaimana dengan kedua hadits di atas yang membolehkan seorang pemuda tidak ikut pasukan jihad demi orang tua atau istri? Di sinilah umat Islam memerlukan bantuan ulama untuk menjelaskan konteks hadits dan memberikan jawaban hukum syariat yang dapat dipahami.
Pada hadits pertama, Nabi SAW mengetahui bahwa sang pemuda merupakan satu-satunya tumpuan bagi kedua orang tuanya yang sudah renta sehingga kepergiannya dapat mendzolimi orang tuanya, seperti tidak ada yang menyediakan makanan bagi orang tuanya, tidak ada yang memandikan mereka, dsb.
Oleh karena itu, yang lebih utama bagi sang pemuda ini (bukan pemuda yang lain dengan kondisi yang berbeda) adalah merawat orang tuanya.
Pada hadits kedua, Nabi SAW bisa saja meminta si pemuda untuk menunda rencana istrinya berhaji, namun Nabi memilih untuk mengijinkannya tidak ikut berjihad. Pertanyaan si pemuda dilontarkan kepada Nabi seusai beliau SAW bersabda, “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya.”
Lalu sang pemuda bertanya, “Wahai Rasulullah! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.”
Maka bersabda Rasulullah SAW: “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” Di sini Nabi SAW menekankan betapa pentingnya para suami/wali menjamin keselamatan para wanita sampai-sampai mereka diijinkan meninggalkan kewajiban jihad yang utama.
Selain itu, pertanyaan sang pemuda merupakan pertanyaan retorik, sebab Rasulullah SAW sedang tidak dalam keadaan menyiapkan pasukan jihad melainkan sedang menjelaskan hukum safar bagi kaum wanita.
Konteks juga diperlukan untuk memahami riwayat yang menceritakan seorang laki-laki meminta wasiat pada Nabi tentang amalan yang akan membawanya ke surga. Nabi menjawab, “Jangan marah!” Wasiat ini tidak berarti bahwa menahan amarah merupakan satu-satunya kewajiban. Namun, untuk kondisi si penanya ini, maka prioritas baginya adalah menahan amarah.
Priotitas Kewajiban Wanita
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi tiap-tiap individu mempengaruhi prioritas amal baginya. Dalam topik kewajiban wanita, perbedaan kondisi wanita mempengaruhi prioritas amal baginya. Prioritas amal individu tidak mengubah hukum yang berlaku umum.
BACA JUGA: Rasul Sebut Khadijah Sebaik-baik Wanita Ahli Surga
Contohnya, keberadaan dokter kandungan wanita adalah fardlu kifayah, yakni apabila sudah mencukupi maka gugurlah kewajiban ini bagi yang lain. Fardlu kifayah ini terbebankan atas seluruh wanita muslimah, namun level bebannya berbeda.
Muslimah lajang yang cerdas dan tidak pingsan bergumul dengan darah lebih wajib untuk memenuhi panggilan ini dibandingkan dengan muslimah dalam kondisi lainnya. Apabila tidak ada muslimah lajang yang kompeten, maka muslimah yang memiliki tanggungan pengasuhan anak pun dapat terkena kewajiban ini.
Ketika ia harus membantu suatu proses persalinan, pada saat itu ia harus dibantu oleh muslimah lainnya dalam hal pengasuhan anak-anaknya. Apabila muslimah yang diperlukan untuk membantu pengasuhan anak ini memiliki suami, maka sang suami tidak diperbolehkan melarang istrinya.
Sebab, jika ia tidak membantu, maka sang dokter tidak dapat menolong persalinan tanpa menerlantarkan anak-anaknya. Sebuah kaidah fiqh menyebutkan: “Apabila suatu kewajiban tidak dapat tertunaikan tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu ini menjadi wajib.”
Inilah gambaran kehidupan masyarakat muslim yang harmonis. Tiap-tiap individu tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan memikirkan kontribusi yang dapat ia berikan kepada masyarakat, sebagaimana pesan Nabi SAW:
Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain. [12]
Berjalannya salah seorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan saudaranya sampai terpenuhi lebih baik daripada i’tikaf di masjidku ini selama sepuluh tahun. [13]
Para muslimah yang merindukan surga tentu ingin berlomba-lomba memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun, dalam beberapa kondisi, wanita tidak mampu untuk melakukannya. Hal ini disebabkan adanya tanggung jawab lainnya, seperti mengasuh anak, merawat orang tua, memenuhi kebutuhan suami, dsb.
Bagi mereka yang berada dalam kondisi ini, maka Allah dan RasulNya memberikan kemudahan. Misalnya, tatkala Nabi memerintahkan untuk sholat berjamaah di masjid walaupun harus menyeret kakinya atau lebih baik dibakar rumahnya, maka kaum wanita menjadi galau. Bagaimana menunaikan perintah ini tatkala ia kerepotan mengasuh bayi-bayinya atau kerepotan dengan urusan rumah tangga?
BACA JUGA: Wanita Masturbasi, Apa Hukumnya?
Maka sungguh amat melegakan bagi kaum wanita, ketika Rasulullah SAW mengatakan, “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke masjid, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Hadits di atas tidak dimaksudkan untuk memenjara kaum wanita di rumah dengan dalih rumah lebih baik bagi mereka. Setidaknya, tidak demikian para sahabiyah memahaminya.
Para sahabiyah yang merasa mampu ke masjid, mampu beraktivitas publik, tetap keluar rumah dan tidak menjadikan hadits ini sebagai penghalang aktivitas mereka. Beberapa buktinya terlihat pada riwayat-riwayat berikut ini:
Rasulullah SAW mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata: ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak.” [HR. Bukhari – Muslim]
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata: “Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah SAW, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” [HR. Bukhari – Muslim]
Ummu Salamah ra. menceritakan: “Di masa Rasulullah SAW, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka.
Sementara Rasulullah SAW dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah SAW bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” [HR. Bukhari]
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” [HR. Bukhari]
Kontribusi Muslimah Dalam Sejarah
Sejarah telah mencatat bahwa kaum muslimah telah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat luas. Peran publik para muslimah pun tidak dibatasi untuk membantu sesama muslimah namun juga untuk membantu kaum pria.
Setidaknya, ada dua bukti tak terbantahkan, yakni keikutsertaan para sahabiyah dalam perang untuk mengobati pasukan jihad yang terluka. Para sahabiyah ini mengobati kaum laki-laki yang bukan mahramnya.
Rasulullah SAW tidak hanya membolehkan namun justru menugaskan sebab posisi ini paling tepat ditempati para wanita tatkala para pria harus berjuang di garis depan. Bukti kedua adalah posisi Aisyah ra. sebagai guru bagi para sahabat lainnya untuk menyampaikan hadits-hadits dari Nabi SAW sepeninggal beliau.
Sejarah juga menunjukkan bahwa umat ini tidak hanya memiliki ulama laki-laki, namun juga dipenuhi dengan tinta emas ulama wanita. Keberadaan para ulama wanita ini tidak hanya untuk mengajar sesama kaum wanita tetapi juga untuk mengajar kaum laki, sebagaimana digambarkan dalam riwayat-riwayat berikut:
BACA JUGA: Dialah Wanita Periwayat 2.210 Hadis Nabi
Aisyah binti Abu Bakar
Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Kami, sahabat-sahabat Rasulullah terkadang menemui kesulitan dalam masalah hadits, kemudian kami bertanya kepada Aisyah dan kami mendapatkan pengetahuan baru tentang hadits tersebut.” [14]
Suatu ketika ada yang bertanya kepada Masruq, “Apakah Aisyah juga menguasai ilmu waris?” Masruq menjawab, “Demi Allah aku telah melihat sahabat-sahabat Muhammad bertanya kepadanya seputar masalah waris.” [15]
Amrah binti Abdurrahman
Qasim ibn Muhammad berkata kepada Ibn Syihab, “Aku melihat pada dirimu semangat tinggi mencari ilmu. Apakah kamu bersedia aku tunjukkan wadah ilmu itu sendiri?” Ia menjawab, “Ya, aku bersedia.” “Temuilah Amrah (binti Abdurrahman), sesungguhnya ia dididik oleh Aisyah. Ibn Syihab melanjutkan, “Kemudian aku mendatanginya, dan aku seperti melihat laut yang tak pernah kering.” [16]
Aisyah binti Hasan al-Ashbahaniyah
Imam adz-Dzahabi berkata, “Ia adalah seorang wanita yang selalu memberi nasehat, ahli ilmu, dan mempunyai sanad-sanad hadits yang sangat banyak.” Selain itu, ia adalah guru wanita pertama Hafidz Ismail ibnu Muhammad. [17]
Karimah binti Ahmad
Ibn Nuqthah menulis, “Ia mengajarkan Shahih Bukhari di Mekkah… Di antara para imam yang belajar Shahih Bukhari kepadanya adalah Hafidz Abu Bakar al-Khathib dan Abu Thalib al-Husain ibn Muhammad Zainabi.” [18]
Demikianlah beberapa contoh ulama wanita dalam sejarah umat Islam. Para sahabat maupun para ulama tidak ada yang mempersoalkan kehadiran kaum wanita di ruang publik. Mereka bahkan tak enggan untuk menimba ilmu darinya. [19]
Wanita Bekerja Dan Tanggung Jawab Nafkah
Kehadiran kaum muslimah untuk berkontribusi di ruang publik tidak menggugurkan kewajiban kaum laki-laki untuk menanggung nafkahnya. Islam telah mewajibkan kaum laki-laki sebagai penanggung jawab nafkah kaum wanita, baik itu suami, ayah, saudara, maupun wali.
Para wanita dapat menikmati fasilitas untuk berkontribusi maksimal dalam kehidupan publik tanpa terbebani kewajiban mencari nafkah. Apabila aktivitasnya mendatangkan harta, maka harta tersebut menjadi hak si wanita, sebagaimana harta waris yang ia peroleh dari keluarganya.
Kekayaan yang dimiliki seorang istri tidak menggugurkan kewajiban bagi suami untuk menanggung nafkahnya, kecuali atas keridloan dari sang istri. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [20]
BACA JUGA: 6 Wanita Muslim yang Berpengaruh dalam Sejarah Peradaban Dunia
Kesimpulan Dan Penutup
Islam telah memberikan petunjuk secara jelas mengenai hukum aktivitas muslimah dalam ruang publik beserta prioritas amal baginya. Islam tidak hanya memperbolehkan wanita beraktivitas di ruang publik, adakalanya Islam justru mewajibkan yakni ketika posisi tersebut mengharuskan kehadiran wanita. Namun, tugas ini tidak dapat digeneralisir.
Ada prioritas mengenai wanita mana yang lebih terbebani suatu kewajiban atas kewajiban lainnya. Prioritas ini dilihat dari kondisi masing-masing individu, sebab Allah memang menciptakan perbedaan-perbedaan pada hambaNya agar manusia dapat saling mengisi dan membantu.
Wanita yang harus mengasuh anak-anak kecil memiliki prioritas di rumah. Bahkan, bisa jadi ia haram keluar rumah apabila kepergiannya berarti menerlantarkan anak-anak kecil di bawah asuhannya atau menerlantarkan suami yang sedang membutuhkannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum aktivitas wanita dalam kehidupan publik ada 6 (enam) macam, yaitu fardlu ‘ain (contoh: menuntut ilmu & memenuhi panggilan pengadilan untuk bersaksi), fardlu kifayah (contoh: menjadi dokter bagi pasien wanita & berdakwah), sunnah (contoh: membantu tetangga), mubah (contoh: belanja ke pasar), makruh (contoh: menjadi TKI dengan meninggalkan suami di desa) dan haram (contoh: bekerja dengan menerlantarkan anak-anaknya atau bekerja dengan aurat terbuka). []
[1] Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women – Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 62.
[2] QS. al-Ahzab [33]: 33.
[3] HR. Abu Dawud.
[4] Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi Adakah dalam Islam – Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 62.
[5] QS. al-A’raf [7]: 158.
[6] QS. Baqarah [2]: 183.
[7] QS. Fushshilat [41]: 33.
[8] QS. al-Baqarah [2]: 282.
[9] HR. Bukhari – Muslim.
[10] HR. Muslim.
[11] HR. Muslim.
[12] HR. Thabrani dan Daruquthni.
[13] HR. Muslim.
[14] Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women – Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 71.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hlm. 73.
[17] Ibid, hlm. 87.
[18] Ibid, hlm. 89.
[19] Untuk melengkapi referensi, silakan baca: Mohammad Akram Nadwi, al-Muhaddithat – the women scholars in Islam, London: Interface Publications, 2007.
[20] QS. an-Nisa’ [4]: 32.