Oleh: Hardika Saputra, M.Pd.
Dosen IAI Agus Salim Metro Lampung
DALAM Surat Al Imran Ayat 104 Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”
Kata min dari minkum diartikan sebagai tambahan atau pelengkap dan bukan untuk menyatakan sebahagian. Dengan demikian objek ayatnya adalah seluruh kaum muslimin dari berbagai kelompok (baik profesi, organisasi) termasuk kelompok laki-laki dan wanita. Jadi, wanita muslimah juga bertanggung jawab atas berlangsungnya gerakan da’wah Islam.
Dakwah sering dikaitkan dengan berbicara dibalik mimbar, memberikan ceramah keluar rumah atau bahkan keluar daerah. Belum dikatakan berdakwah jika belum ceramah keluar rumah, terutama bagi kaum muslimah. Sehingga terdapat anggapan bahwa seorang muslimah yang hanya diam dirumah dan tidak berceramah keluar rumah belum disebut berdakwah.
Padahal, seorang muslimah yang mendidik anaknya membaca Al Qur’an, mengurus rumah tangga dan hal lain yang bermanfaat, adalah sebuah kerja dakwah. Karena mendidik anak bukanlah permasalahan sepele tetapi bahkan hal sangat berguna bagi tugas dakwah islam kedepan, yaitu mempersiapkan kader-kader Islam kedepan yang lebih baik. Hal itu juga merupakan suatu kerja dakwah yang tidak boleh disepelekan nilainya.
Kadangkala, muslimah yang menjadi seorang aktivis dakwah atau sebagai murrobbiyah karna tugas dakwah tertentu seorang muslimah perlu meninggalkan rumahnya. Hal ini tak jadi masalah apabila ia ditemani oleh mahramnya. Dalam keadaan darurat dan dalam keadaan yang masuk kategori aman ia dapat pergi sendirian. Tetapi hendaknya hal ini jangan dijadikan sebuah kebiasaan yang dianggap enteng. Hendaknya wanita dapat mengukur diri dan menimbang-nimbang dari segi manfaat dan mudharatnya.
Dari Abu Musa Radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Tidaklah kami, para sahabat Rasulullah SAW mendapati masalah dalam suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu’anhu melainkan kami mendapatkan dari sisi beliau ilmu tentang hal itu.”
Para sahabat dan tabi’in biasa mendatangi Aisyah Radhiyallahu‘anha untuk mendengar hadits-haditsnya (dari balik hijab). Dari hal itu kita bisa tau bahwa tanpa mengurangi kepribadian dan karakter seorang Muslimah secara fitrah dan syar’i Aisyah Radhiyallahu‘anha dapat membagikan ilmu yang beliau dapat dari Rasulullah SAW.
Kita tak dapat menyatakan suatu skala prioritas bagi seorang muslimah, apakah ia lebih mementingkan tugas dakwah diluar rumah daripada tugas-tugas rumah tangganya atau sebaliknya. Sebab, sebagaimana telah dinyatakan diatas, mendidik anak dan mengurusi rumah tangga adalah tugas dakwah juga. Yang penting bagi mereka ialah senantiasa meniatkan segala pekerjaannya, didalam atau diluar rumah, bagi kemaslahatan Islam dan ummatnya.
Namun demikian perlu juga diperhatikan masalah tanggungjawab seorang muslimah, terutama bagi mereka yang telah berumah tangga. Islam telah membebaskan wanita dari kewajiban nafkah, tetapi Islam membebani wanita dengan tanggungjawab mengenai pemeliharaan dan pengelolaan keluarga dari dalam. Termasuk di dalamnya mengurus dan membimbing anak. Wallahu ‘alam. []