Kontroversi Institusi Harem
Perdebatan mengenai institusi harem dalam ruang publik Turki kembali mengemuka ketika Ibu Negara Turki, Emine Erdogan, menyebutkan bahwa harem adalah sekolah untuk anggota keluarga dinasti Ottoman dan pusat pendidikan di mana wanita mempersiapkan diri untuk masa depan kehidupan dan mengatur kegiatan sosialnya.
Pernyataan ini disampaikan dalam perayaan Ottoman “Tarihimize Iz Birakan Valide Sultanlar” pada (9/03/2016) di Ankara. Emine Erdogan juga mengatakan bahwa para Valide Sultan (Ibu Suri) juga berasal dari institusi harem dan mereka telah banyak meninggalkan warisan seni, budaya dan arsitektur yang menghiasi peradaban Ottoman (Milliyet, 2016).
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “harem” dalam sejarah Ottoman? Apakah institusi ini memang memiliki makna yang negatif seperti yang digambarkan oleh para orientalis Barat selama ini?
Sejarahwan Ottoman, Ekrem Buğra Ekinci, menjelaskan bahwa harem dari istana Ottoman adalah kediaman para sultan bersama dengan shahzade (pangeran), ibu, istri dan anak-anak mereka. Harem adalah bagian istana yang diperuntukkan bagi wanita, dan hanya kerabat pria yang diizinkan masuk. Istilah “harem” berasal dari kata Arab “hurmet” dan “haram” (dilarang oleh agama) dan itu berarti “tempat yang dilarang untuk orang luar” (Ekinci, 2016).
Ekinci juga menjelaskan bahwa di wilayah harem kesultanan terdapat jariyah (pelayan wanita) yang melayani anggota keluarga istana. Jariyah yang dibawa ke istana diberi pendidikan tentang tata krama, baca tulis, matematika dasar, seni rajutan dan agama Islam.
Jariyah muda yang telah menyelesaikan pendidikan mereka kemudian bertugas di berbagai tempat di wilayah istana seperti kamar keluarga istana, perbendaharaan, perpustakaan, dapur, ruang binatu, kamar mandi, kedai kopi dan rumah sakit (Ekinci, 2016).
Sementara itu peneliti sejarah Ottoman lainnya Nermin Taylan, menyatakan bahwa Kesultanan Ottoman juga memiliki sistem pendidikan khusus untuk para perempuan istana di kompleks harem yang dinamakan Duhteran Hümayun.
Disebutkan bahwa gadis-gadis istana yang berpendidikan baik dan lulus dari lembaga tersebut akan menikahi para sultan, pangeran, pasha atau pejabat negara Ottoman. Taylan kemudian menjelaskan bahwa Duhteran Hümayun juga memberikan berbagai ilmu pendidikan, agama dan kesenian yang dibutuhkan oleh para perempuan istana.
Di antaranya adalah Ilmu Al Qur’an, Sejarah Islam dan Ottoman, Ilmu Sastra, Ilmu Hukum, Ilmu Geografi, Ilmu Pidato, Ilmu Politik, Bahasa Arab dan Persia. Selain itu mereka juga mempelajari berbagai kesenian seperti Seni Kaligrafi, Seni Jahit, Seni Masak, dan Seni Musik (Haberler, 2016).
Genealogi Maternal Sultan Ottoman
Seperti yang telah disebutkan oleh Emine Erdogan, sebagian besar ibu para sultan adalah para selir yang berasal dari harem istana. Umumnya mereka beretnis non-Turki dan berasal dari wilayah non-Muslim yang ditaklukkan. Peneliti sejarah Boston University, Kallie Szczepanski, menyatakan bahwa sebagian besar selir di Kesultanan Ottoman pada awalnya merupakan budak atau tawanan perang.
Hal ini disebabkan hukum Islam yang diikuti Ottoman melarang perbudakan sesama Muslim, sehingga para selir biasanya diambil dari keluarga Kristen atau Yahudi di Yunani atau Kaukasus atau tahanan perang dari wilayah lainnya.
Beberapa perempuan harem juga merupakan istri resmi yang mungkin adalah wanita bangsawan dari negara-negara Kristen. Mereka menikah dengan sultan sebagai bagian dari negosiasi diplomatik. Selain itu mengangkat selir atau menikahi wanita asing juga merupakan cara dinasti Ottoman untuk meningkatkan loyalitas penduduk non-Muslim kepada negara.
Meskipun banyak ibu sultan dahulunya adalah budak, mereka dapat mengumpulkan kekuatan politik yang luar biasa jika salah satu putra mereka menjadi sultan. Sebagai valide sultan, seorang selir sering bertindak sebagai penguasa de facto atas nama putranya yang masih muda atau belum kompeten memerintah (Szczepanski, 2019).
Szczepanski juga mengungkapkan analisa menarik mengenai garis keturunan Sultan Ottoman yang didominasi oleh para ibunda berdarah asing non-Turki. Disebutkan dari 36 orang sultan, hanya 6 orang yang beribukan orang Turki dan 30 orang lainnya beribukan orang asing.
Silsilah kesultanan Ottoman dimulai dengan Osman I (memerintah 1299-1326) yang kedua orangtuanya adalah Oghuz Turki (Turkmen). Sultan berikutnya Orhan I juga beribukan orang Turki, tetapi dimulai dari sultan ketiga, Murad I (m. 1362-1389), ibunya adalah orang Yunani, jadi dia adalah 50% Turki. Ibu sultan keempat, Bayezid I, adalah orang Yunani jadi dia 25% Turki. Sementara itu Ibu sultan kelima, Mehmed I adalah Oghuz Turki, menjadikan dia 62,5% Turki.
Menurut perhitungan Szczepanski, sultan ke-36 dan terakhir dari Kesultanan Ottoman, Mehmed VI (m.1918-1922), darah Oghuz Turki-nya sudah tersisa sangat sedikit sehingga diperkirakan dia hanya sekitar 0,195% orang Turki. Semua generasi para ibu sultan dari Yunani, Polandia, Italia, Rusia, Perancis, Georgia dan lainnya telah menghilangkan akar genetik para sultan kepada nenek moyang etnis Oghuz Turki di Asia Tengah (Szczepanski, 2019).
Kuasa Sultana Perempuan
Salah satu tokoh perempuan asing yang berpengaruh dalam sejarah Ottoman adalah Roxelana dari Ukraina, istri dari Sultan Suleiman Kanuni, yang dikenal dengan sebutan Sultana Hurrem. Ada anggapan bahwa Hurrem adalah valide sultan tetapi dia telah wafat sebelum anaknya, Sultan Selim II, naik tahta. Namun kolumnis Turki, Erhan Ayfoncu, menjelaskan bahwa Hurrem meninggalkan warisan untuk para valide sultan dengan aktif terlibat dalam urusan negara, bahkan melakukan hubungan diplomatik dengan penguasa Eropa. Hurrem kemudian membangun masjid di Aksaray, lalu juga membangun madrasah, rumah sakit dan saluran irigasi di Edirne (Ayfoncu, 2020).
Jumlah valide sultan yang terkenal karena keterlibatan mereka dalam politik sebenarnya terbatas. Nurbanu, Safiye dan Kosem adalah tiga perempuan yang paling aktif sebagai valide sultan. Rentang waktu ketika mereka memerintah, termasuk Hurrem, disebut sebagai masa “Kesultanan Perempuan” (Hurriyet, 2013).
Sultana Nurbanu (m. 1574-1583), ibu dari Murad III adalah orang Venesia dan memainkan peranan penting dalam politik Mediterania dengan mendukung Venesia melawan Genoa. Dia mampu memerintah dengan dukungan Wazir Agung Sokollu Mehmet Pasha dan berhubungan diplomatik dengan ratu Perancis, Catherine de Medici. Selanjutnya, Sultana Safiye yang juga orang Venesia dipilih secara pribadi oleh Nurbanu sebagai selir untuk putranya Murad III. Safiye menjadi valide sultan (m. 1595-1603) ketika putranya naik tahta menjadi Sultan Mehmed III. Dia memiliki pengaruh yang besar dan juga melanjutkan kebijakan luar negeri yang pro-Venesia. Menariknya, Safiye juga pernah bertukar surat dan hadiah diplomatik dengan Ratu Elizabeth I dari Inggris (Hurriyet, 2013).
Berikutnya adalah Sultana Kosem (m. 1623-1648) orang Yunani, yang memiliki periode panjang melalui kekuasaan dua putranya, Sultan Murad IV (m. 1623-1640) dan Sultan Ibrahim I (m. 1640-1648). Ayfoncu (2020) menyatakan bahwa Kosem banyak melakukan proyek sosial selama masa pemerintahannya. Diantaranya adalah pembangunan masjid, sekolah dan darulhadis di Üsküdar.
Selain itu, Masjid Anadolukavağı yang memiliki air mancur di Şehremini serta kompleks Büyük Valide Han yang dibangun di Çakmakcılar Slope. Kosem juga mendirikan yayasan untuk memenuhi kebutuhan air para peziarah haji, membantu orang miskin dan mengajarkan Al Qur’an di Haramain.
Dapat disimpulkan bahwa institusi harem merupakan mekanisme brilian dari dinasti Ottoman untuk mengelola permasalahan domestik dan sarana pendidikan perempuan istana. Harem kemudian mendidik para jariyah atau calon selir dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan.
Selain itu juga para selir yang beruntung dapat menikahi sultan dan kemudian menjadi valide sultan yang berpengaruh. Kesimpulan ini menemukan relevansinya dengan pernyataan Emine Erdogan yang menekankan arti penting kehadiran harem dalam sejarah Turki Ottoman dan menyanggah konstruksi negatif yang dilancarkan para orientalis. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.