PERANG Tabuk adalah peperangan yang sangat masyhur, inilah perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Begitu tabahnya sahabat dalam melaksanakan perintah Rasuullah SAW dan mengharap ridha Allah dari peperangan ini. Sebab, saat kepergian mereka ke medan perang bertepatan dengan masa panen.
Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a bahwa awal mula dari perang Tabuk ini, ketika sampailah berita kepada Nabi SAW bahwa Raja Romawi akan menyerang Madinah Munawwarah dengan bala tentara yang besar melalui Syam. Terhadap berita ini, maka pada hari Kamis tanggal 5 bulan Rajab tahun kesembilan Hijriyah, Beliau telah berangkat dari Madinah untuk melawan penyerangan ini.
BACA JUGA: Kepahlawanan Rasulullah di Perang Hunain
Kondisi Alam Sangat Panas Dan Penuh Ujian
Ketika itu, cuaca sangat panas dan musuh pun sangat besar. Nabi SAW mengumumkan kepada pasukan Muslim bahwa mereka akan berangkat untuk menghadapi Raja Romawi dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Maka untuk itu, Beliau menganjurkan pengumpulan dana.
Pertempuran inilah yang menyebabkan Abu Bakar ra mengorbankan seluruh hartanya, sehingga ketika ia ditanya oleh Nabi SAW, “Apa yang kamu tinggalkan di rumahmu? Ia menjawab, “Kutinggalkan Allah dan Rasul-Nya bersama mereka.”
Umar ra juga telah mengorbankan setengah hartanya. Begitupun dengan Utsman ra yang mengorbankan perlengkapan perang untuk sepertiga pasukan. Beserta sahabat lainnya, menginfakkan lebih dari kemampuan mereka.
Padahal, pada masa itu keadaan para sahabat sedang susah, sehingga seekor unta harus dikendarai oleh sepuluh orang sahabat bergantian. Oleh sebab itu, perang ini pun disebut sebagai Jaysyul-‘Usrah yaitu pasukan kesulitan.
Jarak nya sangat jauh dan berlangsung pada musim yang sangat panas. Seiring dengan itu, kebun-kebun kurma di Madinah sendang musim panen, dan sebagian besar penduduk Madinah bergantung pada bertanam kurma. Itulah jalan rezeki mereka selama setahun.
Merupakan Ujian Keimanan Terberat
Inilah ujian iman yang sangat berat bagi kaum Muslimin. Di satu sisi, rasa takwa kepada Allah dan perintah Nabi SAW yang tidak mungkin mereka abaikan, dan di sisi lain berbagai kesulitan yang setiap waktu datang menghadang, khususnya terhadap usaha mereka selama setahun.
Mereka telah berusaha keras terhadap tanaman mereka, sehingga sulit untuk meninggalkan kebun yang dalam keadaan siap panen tersebut tanpa ada yang memeliharanya. Namun, karena ketakwaan mereka kepada Allah lebih besar dari hal-hal yang lain, mereka segera menyambut seruan Rasulullah SAW.
Maka, saat itu yang tinggal di Madinah hanyalah kaum munafik, orang-orang udzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian sahabat tidak ada kendaraan yang dapat ditunggangi. Padahal, mereka sangat ingin menyertai pasukan itu. Hingga mereka pun menangisi hal ini
Allah mengabadikan hal ini dengan berfirman: “Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” (QS At-Taubah:92)
Di tengah perjalanan, mereka melewati puing-puing perkampungan kaum Tsamud. Nabi SAW menutupi wajahnya yang penuh nur sambil mempercepat untanya dan memerintahkan para sahabat berbuat serupa.
Beliau bersabda, “Kita harus segera melewati tempat ini. Menangislah dan tanamkan rasa takut setiap melewati tempat orang-orang zhalim. Semoga adzab tersebut tidak diturunkan ke atas kalian, sebagaimana telah diturunkan ke atas mereka.”
Walaupun Rasulullah SAW adalah kekasih Allah, Beliau tetap merasa takut ketika melewati tempat orang-orang yang pernah diadzab oleh Allah. Begitu pula para sahabat, walaupun keadaan mereka sangat memprihatinkan, mereka tetap menunjukkan kesetiaan. Beliau menyuruh mereka pergi sambil menangis, jangan-jangan adzab turun kepada mereka.
Inilah keistimewaan para sahabat dimata Allah dan Rasul-Nya. Mereka siap menerima seruan Rasul dalam memperjuangkan agama Allah.
Melawan Pasukan Romawi
Perang Tabuk terjadi sekitar bulan Rajab tahun 9 Hijriyah. Perang yang terjadi antara Rasulullah beserta para sahabat melawan pasukan Romawi ini terjadi di wilayah Tabuk. Perang ini jadi perang terakhir rasul. Rasul kembali dari perang Tabuk pada 26 Ramadan.
Ada banyak penyebab yang mengakibatkan pecahnya perang Tabuk, diantaranya adanya ancaman dari Ukaidir bin Abdul Malik, yakni seorang nasrani dan juga seorang pemimpin dari daerah Dumah, dia mengancam akan memberontak dengan bantuan dari pasukan Romawi, namun oleh Nabi ancaman ini mampu dibendung dan akhirnya dihilangkan atas bantuan Khalid bin walid. Ukaidir akhirnya kalah dan ditawan.
Penyebab lainnya yakni ada beberapa orang yang munafik terhadap ajaran-ajaran nabi, kemudian mereka mendirikan masjid yang bernama Masjid Dirar atau masjid bencana. Kaum munafik ini sering datang ke masjid dengan tujuan hendak mengubah ajaran Allah dan ingin memecah belah kaum muslimin.
Kaum munafik meminta nabi untuk meresmikan masjid dan sekalian salat di masjid tersebut. Permintaan mereka diajukan sebelum terjadi peristiwa tabuk. Tapi oleh nabi mereka diminta menunggu sampai nabi kembali dari ekspedisi Tabuk. Namun setelah kembali, nabi mengetahui masalah tentang tujuan dan maksud didirikannya masjid tersebut. Kemudian nabi memerintahkan untuk membakar masjid tersebut.
Perjalanan untuk menempuh perang pun dimulai. Rasulullah SAW dan pasukan kemudian meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka tempuh juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir. Perang ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.
Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato yang penuh semangat hingga membuat jihad prajurit semakin membara.
Pasukan Romawi yang ditunggu-tunggu tak kunjung terlihat. Rupanya mereka takut dan khawatir melihat keberanian pasukan Muslimin. Mereka lari berpencar di perbatasan wilayah. Kejadian ini membuat pasukan Muslimin semakin dihormati di Jazirah Arab.
Rasulullah SAW didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi.
Berbagai kabilah yang dulunya tunduk pada Romawi berbalik mendukung kaum Muslimin. Wilayah kekuasaan pemerintah Islam semakin bertambah luas, hingga berbatasan dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi.
Kembali ke Madinah
Setelah 30 hari meninggalkan Madinah, akhirnya umat Islam kembali ke Madinah tanpa terjadi peperangan. Rasulullah kembali dari peperangan pada tanggal 26 Ramadan, dan perang ini merupakan perang terakhir beliau.
Nabi memang kerap diiringi dengan berbagai peperangan. Namun peperangan tersebut memiliki alasan kuat mengapa sampai terjadi.
Sebagaimana kita ketahui, pertama kali Nabi berdakwah secara terbuka di Makkah. Sejak saat itu, jihad Nabi penuh tekanan dan ancaman dari kaum Quraisy yang gemar mengintimidasi Nabi dan kaum muslim.
Tak hanya itu, mereka juga menerapkan strategi perang psikologis lewat berbagai tipu muslihat; Nabi diminta menunjukkan mukjizat, diolok-olok, misi yang dibawa diejek dan dicemooh. Tekanan kaum Quraisy mencapai puncaknya lewat perang ekonomi dan sosial secara bersamaan yang mereka lakukan terhadap kaum muslim.
Perang ekonomi dan sosial tersebut ialah kaum Quraisy bersekongkol dalam satu sumpah untuk tidak berniaga dengan keluarga Nabi, tidak berinteraksi dengan mereka, tidak berkomunikasi, tidak akan berdamai, dan tidak akan berbelas kasih pada mereka. Kecuali, mereka menyerahkan Nabi untuk dipenggal.
Kondisi tersebut, membuat Makkah menjadi begitu sempit bagi Rasulullah. Namun, beliau tetap tabah dan ikhlas. Selama di Makkah, Nabi berhasil menahan kaum muslim agar tidak melakukan perlawanan.
Setelah hijrah ke Madinah, dan tujuh bulan “bertahan” dan bersabar, Nabi mulai mengirim datasemen beserta pasukan untuk memantau situasi sekitar. Beliau masih sama sekali tidak melakukan persiapan perang atau penyerangan. Hanya sekadar mewaspadai gerakan pengacau yang sesekali menyerang dan bisa berdampak buruk bagi keadaan Madinah.
Motif dan Tujuan Peperangan Nabi
Pertama, melayani serangan musuh. Nabi mengangkat senjata sebagai reaksi atas musuh yang telah lebih dulu menyerang. Hal ini bisa dilihat dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Kedua, memberi pelajaran terhadap musuh yang menacari gara-gara atau bersekongkol mengganggu kaum muslim meski sudah ada nota perjanjian atau kerja sama. Hal ini terjadi pada perang Bani Quraizah. Khaibar, Mu’tah, dan beberapa penggerebekan terhadap kaum Badui.
Motif ketiga adalah untuk menggagalkan rencana musuh yang mengancam kaum muslim, seperti dalam perang Tabuk dan sejumlah ekspedisi datasemen yang dikirim Nabi untuk mencegah penyerangan oleh suku-suku terhadap kaum muslim di Madinah .
Dari ketiga motiv tersebut, jelas bahwa Nabi tak pernah menyulut peperangan. Apa yang dilakukan adalah lebih kepada tindakan reaktif atas tindakan musuh yang lebih dahulu melakukannya.
Tentang etika perang, Abu Bakar secara indah merangkum pesan yang pernah diberikan Nabi kepada prajurit sebelum berangkat ke Suriah.
“Sebentar! Aku ingin berpesan pada kalian sepuluh hal. Jangan berkhianat, melanggar janji, dan memotong-motong tubuh mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang lanjut usia, dan perempuan. Jangan menebang pohon serta merusak dan membakar pohon kurma. Jangan menyembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati suatu kaum yang menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangi orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampaui batas karena Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas”.
Etika perang tersebut, jika diperhatikan teramat menjunjung tinggi kemanusiaan, bahkan pada makhluk lain. Ini terlihat dari larangan menebang pohon, dan menyembelih kibas atau unta, kecuali untuk dikonsumsi. Di samping itu, terlihat jelas kedamaian yang dijunjung tinggi; tidak akan memerangi orang yang tidak memerangi, dan membuka lebar pintu perdamaian.
Makna dari kisah peperangan Nabi adalah pelajaran tentang ketabahan atau kesabaran dan ketegasan. Ketabahan dan kesabaran ketika kaum musyrik terus mengintimidasi, meneror, dan bahkan menyiksa kaum muslim. Keimanan dan keyakinan pada ajaran Nabi, memberikan kesabaran bagi kaum muslim dalam menghadapi tekanan dan yakin Allah akan memberikan jalan.
BACA JUGA: Ummu Haram Binti Malhan, Pendekar di Perang Qabrus
Pelajaran tentang ketegasan dari kisah peperangan terlihat dari bagaimana Nabi dan kaum muslim dalam menyikapi ketidakadilan, kecurangan musuh saat kesepakatan dan perjanjian sudah dilakukan.
Perang Rasulullah adalah perang menegakkan kebenaran dan menghukum kaum zalim. Bukan perang yang ditegakkan atas niat memusnahkan pihak lain, tetapi didasarkan atas sistem yang adil. []
SUMBER: DALAMISLAM