FITRAH manusia tidak akan berubah sampai kapanpun. Seperti apa? Bagai perlakuan seorang ibu kepada bayinya. Seperti, harimau ganas kepada anaknya. Kasih sayang dan cinta, itulah fitrah manusia.
Cinta dan kasih sayang menimbulkan ketentraman dan ketenangan jiwa. Melahirkan kebahagiaan. Namun perlakuan zalim dan merusak akan meresahkan jiwa. Apalagi bila melakukan genosida? Jiwanya akan rusak. Menimbulkan trauma bagi pelakunya juga. Bahkan lebih merusak pelakunya dibandingkan korbannya.
Perang di Gaza ternyata membawa luka dan trauma bagi para tentara penjajah Zionis Israel. Bahkan banyak pula memutuskan bunuh diri karena tak kuat menghadapi efek perang. “Mereka telah keluar dari Gaza, tapi Gaza tidak bisa keluar darinya. Dan mereka meninggal setelah itu, karena pasca-trauma,” Itulah gambaran trauma yang menghantui Tentara Zionis.
Apa efek lainnya? “Banyak dari kami sangat takut untuk direkrut kembali untuk berperang di Lebanon,” kata seorang petugas medis IDF yang bertugas selama empat bulan di Gaza kepada CNN. Ini penyebab mengapa pasukan darat paling elit penjajah Zionis tidak bisa menguasai sedikit pun desa di Lebanon. Sebab, mentalnya sudah hancur dan kelelahan karena prilaku kebrutalan kejam yang membunuh 43.000 rakyat Palestina.
Kelak, kebrutalan ini tidak saja kepada rakyat Palestina tetapi terhadap keluarga dan lingkungan terdekatnya. Bukankah akan mengganggu ketentraman warganya? Perhatikan tema-tema filem para veteran perang Vietnam hingga Irak di Amerika. Para veteran perang melakukan aksi pembunuhan di kerumunan padat. Tidak hanya di filem, kenyataannya pun di Amerika sering terjadi aksi pembunuhan masal di sekolah karena trauma.
Mengapa perang menimbulkan trauma bagi tentara dan merusak masyarakat di Barat? Perangnya tidak memiliki akhlak. Perangnya tidak memiliki prinsip nurani. Perangnya hanya untuk menang dengan segala cara, termasuk genosida.
BACA JUGA: Gaza, Korban Jiwa Penjajah Israel Sedikit, Mengapa Terpukul?
Ali bin Abi Thalib tidak jadi membunuh prajurit musuh di pertempuran, karena musuh meludahinya. Ali bin Abi Thalib khawatir membunuhnya karena marah. Umar bin Abdul Aziz menarik pasukannya dari Sarmakand karena saat berperang tidak memberikan pilihan untuk berseru memeluk Islam kepada penduduk Sarmakand.
Perang dengan akhlak. Perang dengan bingkai syariat Islam akan tetap menjaga karakter kasih sayang dan fitrah bagi tentaranya. Tidak akan merusak jiwa tentara juga menjaga ketentraman bagi penduduk lawan dan setelah kembali dari medan pertempuran. []