Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
wisnu.tp@gmail.com
ANDAIKATA Ibnu Jauzi rahimahullah hidup di zaman ini, mungkin beliau akan menulis tentang perangkap Iblis di media sosial sebagai salah satu bab di dalam kitabnya yang masyhur, Talbis Iblis. Sebab, media sosial saat ini memiliki banyak jalan untuk menyesatkan manusia disamping manfaat yang bisa didapat darinya.
Dengan gadget dan koneksi internet serta saldo pulsa 5 ribu rupiah, seseorang dapat membuat gempar satu kota bahkan sebuah negeri. Dengannya ia dapat mendulang pahala, atau memupuk bencana. Interaksi dengan media sosial saat ini jau lebih intens ketimbang interaksi terhadap surat kabar, radio, dan televisi.
Akses ke sosial media mudah dan cepat dan bisa digunakan oleh mereka yang berpengetahuan, pelajar, ibu rumah tangga, ustadz, kyiai, politisi, pedagang, pebisnis, atau bahkan pejabat.
Tak terkecuali syaithan. Mereka juga menyebar berita. Salah satunya melalui perantara manusia-manusia yang dapat dihasutnya. Tentunya bukan berita yang bermanfaat, berisi nasihat, atau mengandung ilmu, namun untuk menjual kedustaan mereka kepada para dukun dan tukang sihir.
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk. Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar, dan kebanyakan mereka adalah para pendusta” (QS. asy-Syu’araa’: 221-223).
Langkah-langkah Iblis itu samar. Hasutannya bukan dengan kata-kata intimidasi, ancaman, atau paksaan, melainkan dengan alur logika yang halus dan memperdayakan. Tetapi hasutannya lemah dan ia tidak berkuasa atas manusia kecuali hanya menghasut melalui bisikan halus dan cara-cara yang samar.
“Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (Qs. an-Nisa’: 76)
Biasanya, awal mula bencana yang menimpa seseorang di media sosial adalah ketika berita tersebut dusta, atau dustanya lebih dominan daripada benarnya, atau benar namun dengan redaksi yang menggiring pada persepsi yang salah, atau beritanya benar dan penyampaiannya benar namun dalam momen yang kurang tepat sehingga justru menimbulkan perselisihan. Celakanya, tidak semua orang menyadari kesalahan ini.
Berilmu, Bermedsos
Kesalahan paling fatal di media sosial adalah terburu-buru membagikan konten berita/artikel sebelum mengecek kebenarannya, termasuk tanggal tayang konten tersebut dan tidak membaca sama sekali isi artikel, apalagi membandingkan dengan sumber lain.
Menahan diri untuk segera membagikan postingan berita sejatinya adalah bagian dari menahan hawan nafsu dan memutus langkah-langkah syaithan. Sebab, apabila konten tersebut berpotensi membuat sesama Muslim menjadi bermusuhan, maka ini adalah di antara perangkap Iblis adalah membuat permusuhan di antara orang-orang beriman.
“Sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka” (QS. Al Israa: 53).
Apabila ada oknum penyebar berita dusta, padahal ia mengetaui, baik itu situs, blog, atau hasil “karyanya” sendiri, maka ia telah membantu syaithan menyebarkan tipu dayanya. Padahal berita yang lebih banyak dustanya dari benarnya adalah tipikal berita yang dihembuskan syaithan.
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha menceritakan bahwa beberapa orang berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Terkadang apa yang mereka ceritakan adalah benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perkataan yang nyata (benar) itu adalah perkataan yang dicuri oleh jin, kemudian dia membisikkannya ke telinga walinya (dukun) lalu mereka mencampuradukkan bersama kebenaran itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Al-Bukhari no. 5762 dan Muslim no. 2228).
Saat kita tersentuh oleh suatu peristiwa, maka ketika itu keinginan kita untuk membagikan peristiwa itu di sosial media sangat besar. Hal ini tidak sepenuhnya tercela, apalagi berkaitan dengan ghirah seorang muslim saat memberitakan kemalangan, musibah, dan kezaliman yang diderita oleh kaum muslimin di belahan bumi lainnya agar dapat saling bahu-membahu memberikan bantuan.
Akan tetapi jika ceroboh dalam memverifikasi kebenaran suatu berita, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar. Niat awal ingin beramal shalih namun justru kerusakan yang muncul.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” [Dinukil Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hal.15]
Islam, Pionir Jurnalisme
Kaum Muslimin patut mengingat kembali bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar kode etik jurnalistik. Melalui ilmu hadis, para ulama hadis telah menyusun metodologi periwayatan (sanad) yang demikian terperinci untuk memilah dan memeriksa keabsahannya. Oleh karenanya, bukanlah termasuk ke dalam akhlak seorang muslim untuk membabi-buta menyebar postingan. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).
Para ulama hadis, semoga Allâh ‘Azza wa Jalla Melapangkan kubur-kubur mereka, adalah para pionir sekaligus teladan dalam adab jurnalistik. Mereka adalah reporter sekaligus editor unggul. Mereka mengumpulkan, memilah, mengkritik dan mengkategorikan ribuan informasi semampu mereka ke dalam beberapa derajat keshahihan hadis.
Internet, laptop, keyboard, telpon, dan moda transportasi seperti sekarang belum lagi ada kala itu. Ajaibnya, karya-karya dan metode yang mereka lahirkan lestari dan teruji selama beberapa generasi hingga hari ini.
Sangat disayangkan jika seorang muslim pada hari ini lalai dalam tabayun meski hanya membuka beberapa “tab windows” untuk cross-check. Sarana-sarana untuk memilah kabar pada hari ini sangatlah mudah. Bandingkan apa yang dilakukan Ibnu Abbas radhiallahu anhu, seorang ahlul bait yang didoakan khusus oleh Rasulullah agar paham takwil Al-Qur’an.
Suatu ketika beliau mendengar sebuah hadis dari seorang sahabat Nabi lainnya. Beliau mendatangi kediaman si narasumber yang kebetulan ketika itu sedang tidur siang di kediamannya. Ibnu Abbas menggelar kain dan tidur di depan rumah sahabat tersebut menunggunya keluar. Padahal ketika itu cuaca pada hari itu berangin dan berdebu. Semua ini demi keotentikan sumber informasi. (al Faqih wal Mutafaqqih, al Khatib al Baghdadi).
Pelopor Dosa
Selain berpotensi menanggung dosa, kesalahan dalam menyampaikan hal yang salah dapat menyusahkan diri. Jika konten telah diposting, maka ada kemungkinan konten tersebut terlanjur viral meski kita telah menghapusnya. Ketika ini terjadi, maka semakin sulit bagi kita untuk melacak ke mana konten itu tersebar dan mengklarifikasi.
dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).
Ibnul Jauzi berkata, “Sebagian guru-guru kami telah menyampaikan padaku, bahwa ada mufti yang berfatwa untuk seorang penduduk dari kampung yang berjarak empat farsakh (22km) dari kampungnya. Maka ketika orang yang bertanya tadi telah pergi, sang mufti kemudian berfikir sejenak, dan sadar bahwa ia telah salah berfatwa. Ia pun berjalan menyusul orang tadi sejauh empat farsakh demi memberitahunya bahwa ia salah. Semenjak saat itu apabila ia ditanya tentang suatu masalah, ia hanya diam dan berkata, ‘Sungguh aku tidak kuat lagi berjalan sejauh empat farsakh!” (Ta’zhimul Fataya li Ibnil Jauzi)
Media Islam Butuh Pakar Hadis
Sudah saatnya para penimba ilmu hadis terjun ke dakwah ini untuk menumbuhkan kembali tradisi ulama hadis ke tengah-tengah kita dalam menyikapi sebuah berita, terkhusus bagi media-media yang menisbatkan diri sebagai corong umat.
Sesungguhnya para penuntut ilmu hadis dan para da’inya sangat sedikit di zaman ini, terlebih ulamanya. Mereka adalah para penjaga syariat yang dibawa Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dibutuhkan di seluruh negeri sehingga mustahil bagi mereka untuk mengurusi peliknya belantara arus informasi saja.
Satu dari sekian hal yang dapat dilakukan adalah diadakan pelatihan singkat mengenai dasar-dasar ilmu hadis (Musthalah Hadis) dan fikih jurnalistik, mulai dari reporter hingga editornya. Setidaknya, mereka dapat menulis sebuah buku induk yang menggabungkan jurnalisme dan Musthalah Hadis. Meski keduanya adalah ranah yang berbeda, namun apa yang mendasari keduanya dalam aspek etika (adab) sangat selaras.
Pada akhirnya, sebuah ayat yang sering terkait dengan fenomena pesatnya perkembangan teknologi informasi membuktikan bahwa Al-Qur’an akan terus sesuai dengan zaman. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al Hujurat: 6).
Apabila ragu terhadap suatu berita, maka sebaiknya tinggalkan. Dalam riwayat Imam Tirmidzi, dari Muhammad al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkan yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.”
Inilah dakwah yang terlupakan padahal mendesak untuk digencarkan. Salah satu pintu masuk perusak Islam adalah melalui hoax yang memakan korbannya tanpa pandang bulu, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allâh ‘Azza wa Jalla. Inilah medan jihad bagi kaum muslimin. Tentunya berjihad setelah membekali diri dengan ilmu. Wallahu A’lam. []