Oleh: Abu Umar Abdillah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“HAI orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah: 172)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerntahkan kepada orang-orang mukmin sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul, maka Allah berfirman, “Wahai para Rasul, makanlah dari apa-apa yang baik, dan beramallah kalian dengan amal yang shalih.” Dan Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik ang aku rezekikan kepada kalian.” Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut lagi berdebu, dia menegadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Rabb… ya Rabb…” sedangkan ia makan dari yang haram, minum dari minum yang haram, dan tumbuh dari yang haram, lantas bagiamana mungkin dikabulkan doanya?”
Allah meyeru dengan panggilan iman, “Ya Ayyuhalladziina amanuu’, ini untuk menggubah nurani orang yag merasa dirinya beriman, bahwa ada konsekuensi yang harus ia tunaikan. Sehingga respon seorang mukmin tatkala mendengar seruan seperti ini bersiap untuk mendengar dan melaksanakan sesuai arahan yang Allah gariskan.
Pada ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman sebagaimana yang Allah perintahkan kepada para Rasul, yakni agar mereka membatasi makanan pada yang baik-baik saja. Dan makna baik di sini adalah halal, bukan yang asal enak da harganya mahal. Mendahulukan perintah makan dari yang halal sebelum perintah beramal shalih, menurut beberapa kalangan ulama menjadi isyarat bahwa amal shalih diterima apabila seseorang mengkonsumsi dari yang halal. Sekaligus makanan yang halal menjadi sarana yang memudahkan seseorang mewujudkan amal shalih.
Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan ayat tersebut, “Maksudnya, para Rasul dan juga umat mereka diperintahkan untuk makan makanan yang halal dan beramal shalih. Ketika apa yang dimakan adalah halal, maka amal shalih akan diterima, akan tetapi ketika apa yang dimakan tidak halal, maka bagaimana amal akan diterima?”
Selain mempengaruhi diterimanya amal, makanan yang haram juga menjadi dinding penghalang bagi terkabulnya doa. Bahkan meskipun doa tersebut dilantunkan oleh orang yang berbada dalam kesempatan terbaik dan dilakukan dengan cara –cara yang paling baik.
Amatilah keadaan orang yang dikisahkan Nabi tersebut, ia berada dalam situasi yang sangat utama untuk berdoa.
Pertama, ia dalam keadaan safar di tempat yang jauh, sedangkan doa orang yang safar itu maqbul. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga macam doa yang dikabulkan Allah, tidak diragukan lagi, yakni, doa kedua orang tua untuk anaknya, doa orang yang sedang safar dan doa orang yang sedang dizalimi.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua, dalam keadaan kusut dan berdebu lantaran safar. Keadaan ini juga menjadi sebab terkabulnya doa sebagaimana hadits,
كَمْ مِنْ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِي طِمْرَيْنِ لاَ يُؤْبَهُ لَهُ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ
“Seringkali orang yang kusut dan berdebu mengenakan pakaian yang lusuh dan tidak diperhitungkan manusia, padahal seandainya dia bersumpah atas nama Allah niscaya akan Allah kabulkan.” (HR. Tirmidzi, “Shahih Hasan.”)
Bukan saja kesempatan yang baik, orang itu juga berdoa dengan cara yang tetap dan sesuai adab.
Pertama, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit. Ini merupakan adab yang baik dalam berdoa, dan menjadi sebab terkabulnya suatu doa. Rasululah bersabda,
“Sesungguhnya Allah Maha Hidup lagi Maha Pemurah, Dia malu apabila ada seorang hamba menengadahkan kedua tangannya kepadaNya lalu tangannya kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua, orang tersebut telah berdoa dengan mengiba kepada Allah secara menyebut Rububiyah Allah. Ini juga menjadi faktor penting terkabulnya doa. Karena itulah jika kita memperhatikan doa-doa yang terdapat dalam Al-Qur`an niscaya akan mendapati betapa banyak doa yang diawali dengan kata “Rabbana…!” atau “Rabbi…!”
Ringkasnya, orang yang dikisahkan Nabi itu berada dalam kesempatan dan saat yang paling tepat untuk berdoa. Pun begitu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “fa anna yustajaabu lahu?” maka Bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya?”
Kenapa? Karena ada dinding tebal yang menghalangi terkabulnya doa; yakni makan, minum, dan berpakaian dari yang haram. Lantas bagaimana halnya dengan orang yang tidak menekuni adab dalam berdoa dan tidak pula mengetahui saat dan kesempatan baik untuk berdoa, sedangkan dia rajin mengonsumsi barang-barang yang haram? Tentu lebih jauh lagi kemungkinan terkabulnya do’anya.
Bagi seorang mukmin, ia lebih rela meninggalkan barang haram yang disuka, daripada kehilangan keampuhan yang dikatakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Doa adalah sebab yang paling dominan bagi tercapainya sesuatu yang diinginkan dan terjauhkan dari perkara-perkara yang ditakutkan.”
Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rezeki-Mu yang halal, hingga kami tidak melirik kepada yang haram, Aamin. []
Sumber: Majalah ar risalah edisi 164 hal. 50-51