PERBEDAAN kerap menimbulkan perselisihan. Perbedaan juga ada dalam fikih, apalagi terkait dengan mazhab. Namun, apakah perbedaan mazhab fikih tersebut boleh dibiarkan menjadi perselisihan?
Allah ﷻ memerintahkan umat Muslim untuk saling menjaga persatuan dan menghalau perbedaan. Namun, tak sedikit umat Muslim yang menuding mazhab sebagai sumber perpecahan karena terdapatnya perbedaan-perbedaan di dalamnya. Tentu hal itu tidak dibenarkan.
Sutomo Abu Nashr dalam buku ‘Mazhabmu Rasulullah?’ menjelaskan, salah satu penyebab perpecahan itu bukan karena perbedaan fikih atau mazhab, melainkan sikap para penganutnya yang lebih membela mazhab dibanding agamanya.
BACA JUGA: Ketahuilah! Pengertian Mazhab dan Jenis Mazhab dalam Islam
Perbedaan Mazhab dari masa ke masa
Sebelum adanya mazhab, meskipun belum ada yang merumuskan konsep mazhab, akan tetapi sudah ada sekian pandangan hukum-hukum fikih yang berbeda. Realita perbedaan pandangan hukum fikih tersebut menunjukkan bahwa mazhab benar-benar sudah muncul di masa awal sekali Islam.
Bahkan bagi mayoritas ulama ushul fikih, mereka menyatakan bahwa ijtihad juga terjadi dan dilakukan Rasulullah ﷺ. Maka mazhab juga sudah ada pada saat Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, yakni pada saat belum ada wahyu yang turun untuk suatu persoalan tertentu yang masih diperdebatkan.
Begitu juga pascawafatnya Nabi, para sahabat juga memiliki dinamika perbedaan hukum fikih yang cukup menarik. Ada perdebatan antara Zaid bin Tsabit dengan Abdullah bin Abbas, ada pula mazhab Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud.
BACA JUGA: Ada 4, Inilah Biografi Imam Mazhab Fikih
Bahkan tak jarang, Aisyah dikenal beberapa kali mengoreksi atau berbeda pendapat dengan banyak sahabat, termasuk para sahabat besar seperti Abu Bakar, ayahnya. Koreksi Aisyah ini dihimpun dengan cukup bagus oleh beberapa ulama Syafiiyah di antaranya oleh Badrudin Az-Zarkasyi.
Pada masa tabiin, sudah mulai tampak polarisasi pemikiran berdasarkan wilayah geografis. Ada banyak murid Ibnu Abbas dengan madrasahnya di Makkah. Ada Ikrimah, Thawus, Jabir, dan lainnya juga. Namun yang sering dikutip dalam pandangan fikihnya adalah Atha’ dan Said bin Jubair.
Di madinah, umat Islam mengenal Ibnu Umar yang murid-muridnya kemudian menjadi guru-guru dari banyak ulama, termasuk Imam Malik. Begitu juga di Kufah, Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu akar dari pandangan fikih Imam Abu Hanifah.
Walaupun jauh lebih banyak kesamaan antara madrasah-madrasah yang berbeda tersebut, namun ada juga perbedaannya. Saat berbeda-beda itulah, umat Islam mengenal istilah Mazhab Makkah, Kufah, maupun Madinah.
Di masa itulah, mazhab fikih yang sudah ada adalah mazhab dengan definisinya yang paling dasar. Yakni pandangan ijtihadi personal seorang mujtahid dalam hukum syariah yang digali dari sumber (dalil)-nya yang bersifat dzanni.
Yang paling penting dari definisi tersebut adalah sifat ijtihadi itu. Karena mazhab bersifat ijtihadi, maka konsekuensinya adalah bisa salah dan bisa benar, boleh dipilih dan boleh ditinggalkan, serta bisa berubah.
BACA JUGA: Apa Hukum Mempelajari 4 Mazhab Hanya Baca Kitabnya?
Oleh karena itulah, wilayahnya hanya ada pada hal-hal yang sifatnya dzanni (relatif asumtif) seperti qunut subuh. Sedangkan wajibnya shalat subuh tidak mengenal adanya mazhab, karena hukum wajibnya merupakan kesimpulan yang sifatnya qath’i atau pasti.
Jadi, seyogyannya, perbedaan mazhab tidak dijadikan sebagai sumber perbecahan atau perselisihan.
Rasulullah ﷺ mengajarkan dalam haditsnya: “ikhtilafu ummati rahmah.” Artinya, perbedaan umatku merupakan sebuah rahmat. Rahmat itu dimaknai dengan saling melengkapi, membangun dan memperbaiki. Bukan menjadi perpecahan, melainkan mempersatukan. []
Referensi: Mazhabmu Rasulullah?/Karya: Sutomo Abu Nashr, Lc/Penerbit: Lentera Islam