KALAU ada yang mengajarkan, bahwa terhadap ikhtilaf fikih (perbedaan pendapat dalam fikih), itu tidak boleh saling menyalahkan, itu tidak benar, dan menyelisihi amal ulama, salaf dan khalaf. Kita akan mudah menemukan bantahan ulama A pada ulama B dan sebaliknya. Itu namanya, saling menyalahkan.
Yang tepat, ada kaidah “laa inkara fi al-masail al-ijtihadiyyah”. Tidak boleh ingkar dalam perkara ijtihadiyyah. Maksudnya, tidak ada nahi munkar terhadap persoalan ijtihadiyyah.
BACA JUGA:Â Fikih Sujud Sahwi
Jadi, kalau kita diperintahkan untuk melakukan pengingkaran (dengan tangan, atau lisan, atau hati), terhadap orang yang minum khamr misalnya, maka itu tak berlaku terhadap orang yang qunut (atau sebaliknya: tidak qunut) misalnya, atau zikir jamaah, atau maulidan (kecuali ada kemungkaran yang muttafaq di dalamnya), dan seterusnya.
Tapi kalau sekadar irsyad, mengemukakan pendapat yang lebih kuat dan melemahkan pendapat lawan, dan semisalnya, hal ini tidak masalah. Kalau ada yang melarang hal semacam ini, bisa dipastikan dia tidak punya bagian dalam ilmu syar’i. Tidak mengerti apa-apa.
BACA JUGA:Â Ahli Fikih yang Sejati
Namun yang jadi catatan, adu argumen dan saling menyalahkan pendapat, itu hanya untuk orang yang punya kapasitas ilmu memadai. Punya penguasaan yang baik terhadap berbagai ilmu yang diperlukan dalam memahami nash-nash syar’i dan cara menggali hukum dari dalil (baik nash maupun selainnya), dan seterusnya.
Kemudian, untuk persoalan yang ingin dibahas, ia harus menguasainya secara baik. Memahami mahal niza’ (poin yang diperdebatkan), pendapat yang ia pegang beserta dalilnya, serta pendapat lawan beserta dalil yang mereka gunakan.
Kalau tidak, maka tidak akan terjadi diskusi atau debat ilmiah. Yang terjadi hanyalah debat kusir dan saling ejek, seperti yang umum terjadi di media sosial kita.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara