MELAKSANAKAN syariat berarti mengerjakan perintah Allah swt yang wajib tanpa alasan apa pun untuk mening-galkannya. Misalnya soal shalat atau tiba waktu shalat. Jika dilakukan, berarti kita telah mengamalkan syariat dengan tata cara shalat yang benar.
Masalahnya adalah apakah dalam mengerjakan itu kita benar-benar hanya karena Allah dan untuk Allah, ataukah hanya riya’? Itulah yang dimaksud hakikat. Yaitu melaksanakan syariat dengan hukum dan tujuan yang dikehendaki Allah dalam mengamalkan syariat secara mendasar.
BACA JUGA: Memberikan Waris Tak Sesuai Syariat, Berdosakah?
Jadi, syariat ialah melaksanakan perintah wajib dengan segala bentuknya, sedangkan hakikat ialah melaksanakan apa yang disyariatkan itu secara inti dan pokoknya.
Hakikat ialah rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah dapat menilai apakah manusia dalam melaksanakan syariat itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau asal-asalan saja. Hanya sekadar selesai mengerjakan tugas.
Ada yang berpendapat,'”Barangsiapa yang mengamalkan syariat tetapi tidak mengamalkan hakikat, sebenarnya dia munafik.” Contohnya kejadian pada zaman Rasulullah SAW.
Ketika itu orang-orang munafik ikut shalat bersama Rasulullah SAW, bahkan menempati barisan pertama. Dari segi syariat mereka mengamalkan, tetapi dari hakikat lain lagi penilaiannya.
BACA JUGA: Hakikat Takdir
Bisa dimisalkan juga dari kejadian sehari-hari pada sebuah kantor. Sang direktur yang rajin bekerja memerintahkan kepada bawahannya supaya dalam bekerja harus disiplin waktu, melarang makan dan minum dalam bekerja, dan memberi sanksi bagi yang melanggar. Peraturan-peraturan itu ditaati oleh pegawainya, tetapi apakah si pegawai itu dalam bekerja sesuai dengan yang dituntut oleh atasannya?
Tegasnya, syariat ialah bentuk ibadah, sedangkan hakikat adalah maksud yang dihadapkan oleh yang me-netapkan syariat. Orang yang hanya mengamalkan syariat saja tidak terdapat cahaya jernih pada wajahnya. Tetapi orang yang mengamalkan hakikat akan terlihat pada wajahnya, kejernihan, cahaya, dan sinar yang cerah (nur). Wallahu a’lam bishawwab. []
Referensi: Anda Bertanya Islam Menjawab/Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi