Oleh: Ustadz Muhammad Atim
Perdebatan ilmiah kalau berangkat dari fanatik kelompok dan kebencian yang mendarah daging kepada kelompok yang berbeda, justru menjadi tidak ilmiah. Kalaulah bisa bersikap objektif dalam keilmuan, mau piknik pada literatur-literatur ilmu dan memahaminya dengan perangkat ilmu, dan bersikap inshaf.
Orang yang membahas ilmu Islam ini tidak hanya sekarang, tapi para ulama sejak zaman dahulu juga telah membahasnya. Dalam memahami nash yang tidak qath’i mereka seringkali berbeda pendapat sesuai rezeki pemahaman yang Allah berikan. Baik nash tersebut bermuatan aqidah, fikih, suluk, atau lainnya.
Janganlah kita mengkotakkan diri dalam satu pendapat lalu menegasikan sama sekali ulama lain yang memiliki pendapat yang berbeda. Atau bahkan menganggap tidak ada ulama yang berbeda, atau tidak meng-ulama-kan ulama, tidak menganggap keulamaannya dan mencederai kehormatan ulama.
BACA JUGA: Kisah Perdebatan A. Hassan dengan Tokoh Atheis
Perdebatan dalam Ilmu Aqidah
Boleh saja kita memilih salah satu pendapat dari perbedaan pendapat itu, karena tuntutan sikap dan pengamalan. Tetapi setelah itu, dalam hal-hal yang tidak dapat dinafikan adanya perbedaan pendapat ulama, dalam masalah khilafiyyah-furu’iyyah-ijtihadiyyah, maka yang harus dikedepankan adalah sikap TOLERAN.
Kepada non muslim saja kita dituntut untuk bersikap toleran, dalam arti tidak mengganggu ibadah mereka dan tidak menzhalami mereka, masa kepada sesama muslim kita tidak bisa bersikap toleran?
Tidak dapat dinafikan bahwa dalam ilmu aqidah pun, selain ada yang qath’i, ada pula wilayah zhanni yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam sejarahnya aqidah ahlus sunnah terbagi kepada tiga madzhab besar: Hanbali, Asy’ari dan Maturidi.
Yang mereka perdebatkan adalah furu aqidah, namun bisa saja pilihan pendapat mereka terjerumus pada kesalahan, karena mereka bukan nabi yang ma’shum, tapi ijtihad itu meskipun keliru akan diberi pahala, tentu bagi orang yang benar-benar layak berijtihad.
Sifat ‘uluw (tinggi) misalnya. Ini termasuk pembahasan yang terjadi perbedaan pendapat di dalamnya di kalangan ulama Hanabilah dan Asy’ariyyah.
Namun perbedaan pendapat mereka tidak mengeluarkan dari koridor ahlus sunnah. Secara usul mereka sama, menetapkan setiap yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah (itsbat) dan tidak menyerupakan dengan makhluk (tasybih).
Semua ulama ahlus sunnah menerima dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘uluw (tinggi) bagi Allah :
الرحمن على العرش استوى
ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض
Hanya kemudian mereka berbeda pendapat apakah sifat uluw itu termasuk sifat khobariyyah (sifat yang jika dipahami zahirnya akan menyerupai makhluk) ataukah sifat ‘aqliyyah (dapat dipahami perbedaannya dengan makhluk) seperti halnya sifat ilmu dan qudroh.
Diantara ulama Hanabilah berbeda pendapat, ada yang mengkategorikannya sifat khobariyyah seperti Ibnu Aqil, At-Tamimi, Ibnu Hamdan dan pendapat pertama dari Qadhi Abu Ya’la.
Sehingga mereka mentafwid maknanya. Dan ada yang mengkategorikan sebagai sifat ‘aqliyyah, sehingga ditetapkan tanpa ditafwidh, seperti pendapat terakhir dari Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Zaghuni dan Ibnu Taimiyyah.
Sedangkan ulama Asy’ariyyah mengkategorikannya sebagai sifat khobariyyah. Abul Hasan Al-‘Asy’ari, Al-Baqillani dan ulama Asy’ariyyah mutaqaddimin hampir mirip dengan mentafwid, yaitu menetapkannya sebagai sifat tambahan yang layak bagi-Nya yang tanpa batasan dan kaifiyatnya. Sedangkan mayoritas Asy’ariyyah dan sebagian ulama terdahulunya seperti Ibnu Furak memahaminya dengan ta’wil.
Mereka sepakat Allah memiliki sifat ‘uluw. Perbedaannya, yang mentafwidh menyerahkan maknanya kepada Allah dan menetapkannya sebagai sifat tambahan yang layak bagi Allah. Yang memahaminya sebagai sifat aqliyyah, menetapkan arah tinggi bagi Allah, tapi tidak sama dengan arah bagi jisim.
Arahnya bukanlah arah haqiqiyyah tapi idhafiyyah, karena hakikatnya Allah tidak butuh kepada tempat dan arah, karena itu kekhususan bagi makhluk. Sedangkan yang menta’wilnya mengatakan bahwa makna tinggi tersebut makudnya adalah tinggi kedudukannya (makanah), bukan tinggi arah apalagi tempat (makan).
Ini telah ditahkik oleh kalangan Asy’ari sendiri seperti Saifuddin Al-Amidi dan Adhuddin Al-Ijji dan lainnya yang mengatakan bahwa perselisihan antara yang menetapkan arah dari kalangan Hanabilah, dan yang menafikannya, adalah khilaf lafzhi semata.
Arah yang ditetapkan oleh Hanabilah bukanlah arah tempat bagi jisim, penyebutannya tergantung kepada dalil syariat yang menunjukkan terhadap hal itu.
Sedangkan secara makna, mereka sepakat untuk menafikan tempat, ruang dan arah bagi jisim. (Lihat At-Taqrirat Al-Hanbaliyyah, hal.238).
Jadi, dalam masalah sifat uluw ini, sebagaimana sifat-sifat lain yang diperselisihkan cara memahaminya, ada pilihan pendapat ulama :
1. Itsbat makna zhahir yang layak bagi Allah, bukan zhahir bagi makhluk
Yaitu bagi orang yang mampu menghadirkan dalam pikirannya makna zahir selain zahir bagi makhluk.
Menetapkan : “Allah di atas Arsy, di atas langit”
Arah atas itu tidak serta merta menunjukkan butuh kepada tempat. Juga tidak menempel dan menyentuh. Allah berbeda dengan makhluk-Nya, tidak menyatu dengan makhluk-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah “tinggi” di atas seluruh makhluknya.
Perdebatan dalam Ilmu Aqidah
BACA JUGA: Perdebatan Para Ulama soal Halal atau Haramnya Rokok
2. Bagi yang tidak dapat menghadirkan makna zahir selain zahir bagi makhluk, maka ada pilihan TAFWIDH (menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah)
Menetapkan : “Allah di atas Arsy, di atas langit”
Namun menangguhkan makna sesungguhnya. Tidak menoleh kepada zahir yang muncul di pikiran karena akan berakibat menyerupai makhluk. Karena menurut ukuran manusia, berada di arah itu menunjukkan bertempat.
3. Pilihan lain bagi yang tidak dapat menghadirkan makna zahir selain zahir bagi makhluk adalah TA’WIL.
Menetapkan : “Allah di atas Arsy, di atas langit”
Tapi memahami makna “di atas” (sifat uluw /tinggi) dengan makna lain, yaitu maksudnya lebih tinggi kedudukannya (makanah) di atas Arsy, langit dan seluruh makhluknya.
Untuk lebih memperdalam permasalahan ini silahkan piknik ke kitab-kitab para ulama, di antaranya yang saya jadikan rujukan dalam tulisan ini, yaitu kitab At-Taqrirat Al-Hanbaliyyah fil Mawadhi min ad-durar al-mudhiyyah karya Syekh Abdullah bin Muhammad Al-‘Abdillah. Di sana dimuat berbagai pendapat ahlus sunnah dan uraian dalil-dalilnya.
Wallahu A’lam. []