KEDUA tangan ini tercipta untuk bekerja. Jika tak disibukkan dalam kerja ketaatan, ia akan tetap bergiat dalam kemaksiatan. (Umar ibn Al-Khattab)
Bekerja adalah ibadah. Dan di antara makna itu, bekerja berarti menyempurnakan pengharapan kepada Allah. Sebab, tidak bekerja sering menjadikan seorang penganggur berharap-harap kepada makhluk. Mereka yang berharap hanya kepada Allah, bersandar padaNya, serta mengandalkan Dia, mewujudkan asanya dengan cara bekerja.
Adalah Sayyidina Umar ibn Al-Khattab, demikian Dr. Jaribah Al-Haritsi dalam Al-Fiqhul Iqtishad, menemukan tiga orang yang terus-menerus berada di Mesjid Rasulillah. Mereka mengikuti shalat berjama’ah, tapi seusainya sama sekali tak beranjak melainkan hanya duduk, berdzikir, dan membaca Al-Quran. Seakan-akan mereka terus-menerus dalam keadaan beri’tikaf.
Maka Al-Faruq Radiyallahu Anhu mendatangi mereka dan menanyai halnya satu demi satu. “Apa yang kalian kerjakan disini?”
Nanti kita tahu, bahwa jawaban mereka semua sama, “Kami beribadah kepada Allah, wahai Amirul Mukminin.”
Maka Umar melanjutkan pertanyaannya. “Jika kamu terus menerus berada disini,” ujar beliau, “lalu siapakah yang menanggung nafkah dan keperluanmu sehari-hari?”
Orang pertama menjawab, “Wahai Amirul Mukminin. Allah, Dzat yang Maha Kaya, menjamin rezeki seluruh makhlukNya yang melata di bumiNya. Maka janganlah engkau mengkhawatirkan kami, sebab Allah sebaik-baik Dzat yang menjaga, Dialah yang Maha paling Penyayang diantara semua yang penyayang.”
Umar mengangguk dan beranjak dari orang yang menjawab dengan kalimat iman ini. Beliau pun pergi menuju orang kedua yang berdiam disudut lain Masjid. Beliau pun menghardikkan pertanyaan yang sama.
“Wahai Amirul Mukminin,” demikian orang kedua ini menjawab dengan riang, “aku memiliki seorang saudara kandung yang amat kucintai dan dia pun mencintaiku. Tetapi kami memiliki kecenderungan yang berbeda. Dia amat menyukai perniagaan, serta dikaruniai keahlian untuk menanganinya. Adapun aku, beberapa kali mencoba berdagang pula, tapi nyaris semua berakhir dengan habisnya modalku. Lalu kami sepakat berbagi tugas. Aku terus-menerus akan bermunajat sebagai ahli ibadah di Mesjid Rasulillah dan mendoakan kelancaran usahanya. Adapun dia akan bekerja keras di pasar. Hasil usaha itu kami bagi dua untuk menafkahi kami sekeluarga.”
Umar tertawa mendengarnya. “Ketahuilah,” ujar beliau, “boleh jadi saudaramu itu hakikatnya lebih ahli ibadah dibanding dirimu!” Namun, beliau tetap membiarkannya. Sebab memang shahih adanya. Dalam riwayat Imam At-Tirmidzi dan Al-Hakim disebutkan bahwa Rasullulah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Boleh jadi seseorang mendapat rezeki bersebab ibadah anggota keluarganya.”
Saat menjumpai orang ketiga di sudut lain, Umar melihat pria ini sehat dan kuat tubuhnya, tapi kurang sungguh-sungguh orangnya. “Siapa yang menyediakan kebutuhanmu, hai hamba Allah?”
“Alhamdulillah,” jawab lelaki itu, “meski aku berdiam di Masjid, tapi setiap hari selalu saja ada orang yang memberikan kepadaku berbagai makanan dan uang. Padahal aku tidak memintanya. Maka sungguh inilah karunia Allah yang Maha Kaya.”
Orang ketiga ini, diseret dan didorong Umar keluar Masjid sampai terhuyung. Umar pun mengulurkan tongkat pada dirinya dan berkata “Pergilah! Dan bekerjalah di kebun milik Umar! Sungguh, demi Allah, kau telah membebani manusia dengan keberadaanmu di Masjid dan merusak dirimu dengan berharap-harap kepada mereka. Wahai hamba-hamba Allah, bekerjalah! Karena sesungguhnya anugerah Allah tidaklah diperoleh dengan duduk dan bermalas-malasan disertai berharap-harap pada pemberian sesama insan!”
Sumber: Salim A Fillah, Lapis-lapis Keberkahan, Pro U Media.