Sabtu, 13 Februari 1993 (bertepatan dengan 21 Sya’ban 1413 H), umat Islam Indonesia kehilangan tokoh besar yang namanya dikenal di dunia internasional dan mempunyai reputasi mengagumkan. M Natsir, dalam usia 85 tahun, menghembuskan napas terakhirnya di RSCM Jakarta, pada saat umat Islam dunia masih membutuhkan perhatian orang-orang seperti beliau. Sosok yang mempunyai wibawa dengan kepedulian yang sangat tinggi dalam membela nasib umat.
PENGHARGAAN yang diberikan dunia terlihat jelas ketika pada 1967 di Pakistan diselenggarakan perhelatan besar organisasi Islam dunia, yakni Mu’tamar Alam Islami, Sekalipun waktu itu Pak Natsir menolak, tetapi tetap saja namanya dicantumkan sebagai Wakil Presiden organisasi tersebut. Padahal, beliau telah mengirim surat ketidakbersediaan melalui orang-orang utusannya. Penghargaan dunia Islam tidak berhenti sampai di sini saja. Tahun 1980 pemerintah Arab Saudi menganugerahi Pak Natsir “Faisal Award” atas jasa-Jasanya dalam dakwah.
Tentu saja hidup Pak Natsir bukan untuk mencari penghargaan demi penghargaan manusia. Yang terbukti, seluruh hidupnya memang dicurahkan untuk dakwah. Sikap teguh ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya dalam buku Fiqhu Da’wah, yang sering kall mengutip syair Syauqi: “Qif Duuna Ra’yika fil Hayati Mujahid. Innal Hayaata’ Aqidatun wa Jihadun. Tetaplah teguh dalam hidupmu sebagai pejuang (mujahid). Sebab hidup hanya berarti bila diisi oleh aqidah dan jihad.” Kiranya sikap inilah yang menjadikan beliau tetap semangat membela kepentingan umat.
BACA JUGA: Mohammad Natsir: Agama dan Politik
“Pak Natsir termasuk tokoh yang gigih mengikis kristenisasi di Indonesia, sementara Munawir Sjadzali (Menteri Agama) selalu membantah adanya kristenisasi. Perhatiannya pada perkembangan dan nasib umat Islam sering kali membuat beliau melupakan kondisi badannya,” ujar KH Latief Muchtar, MA (Ketua Umum Persatuan Islam) yang pernah menjadi murid Pak Natsir di Pendidikan Islam (Pendis), tempat almarhum mengajar dan memimpin lembaga ini, sebelum Republik ini berdiri.
Keseriusan almarhum tampak pada perhatiannya yang tinggi dalam menyelesaikan berbagai masalah di dunia Islam. Kasus-kasus umat dan kemanusiaan, semisal tragedi Bosnia-Herzegovina, Masjid Babri di Ayodhya (India), krisls Teluk, Afghanistan, dan lain-lain. Begitu pula masalah-masalah dalam negeri pun tak luput dari perhatiannya.
“Dalam keadaan berbaring, masih sempat pula menanyakan perkembangan nasib umat Islam Bosnia. Beliau tertarik dengan ide mengangkat anak-anak yatim Bosnia,” sambung Ustadz Latief yang sering kali diutus Pak Natsir ke luar negeri untuk menghadiri seminar maupun konferensi dunia Islam.
Pak Natsir boleh dikata seorang Muslim kaaffah, yang selalu mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingannya sendiri. Seorang demokrat sejati, yang bersedia mengorbankan kehidupannya untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Beliau pun tercatat begitu keras dalam menghadapi DI/TII. Berbarengan dengan itu, almarhum tidak pernah lepas dari keteguhannya untuk memperjuangkan aspirasi Islam dalam pentas nasional. Sebagai contoh, Pak Natsir adalah arsitek utama negara kesatuan Republik Indonesia melalui mosi integralnya yang membubarkan Republik Indonesia Serikat yang dibentuk Belanda, pada saat pucuk pimpinan Masyumi berada di tangannya.
Sayangnya, jasa-jasa beliau yang demikian besar bagi kelangsungan negeri ini bak air hujan di daun talas. Ya, terhapus begitu saja hanya karena perbedaan visi politik. Buktinya ada seorang pejabat tinggi sempat melontarkan kecaman terhadap para pemimpin partai Islam yang dianggapnya hanya mengurus politik dan melupakan umat.
Kenyataan yang terjadi, saat Orde Lama tumbang dan Orde Baru berdiri, Pak Natsir segera mengutus Profesor Kahar Muzaklr ke negara-negara Timur Tengah. Misinya untuk mengadakan lobi-lobi tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan kedudukan Orde Baru, dan menegaskan adanya perkembangan baru di dalam negeri seiring lahirnya keputusan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis di Indonesia.
Saat itu, pemerintahan negara-negara Timur Tengah memang bersikap dingin terhadap Jakarta akibat pemerintahan Sukarno condong ke kiri. Melihat fenomena ini, Pak Natsir tidak tinggal diam. Sekalipun baru lepas dari karantina politik, tidak segan-segan ia memberikan bantuannya kepada Orde Baru tanpa pamrih. Hasilnya bisa kita lihat dan nikmati sekarang ini.
“Kami sampai membelikan celana baru buat Profesor Kahar Muzakir yang diutus M. Natsir ke Kairo. Karena terlihat terdapat bolongan pada bagian kakinya,” kenang Ustadz Latief, yang saat itu sedang menimba ilmu di Mesir.
Tak hanya itu, Indonesia yang pernah berkonfrontasi dengan Malaysia, tidak terlepas dari peranan almarhum untuk mendamaikannya. Juga pinjaman keuangan dari pemerintah Jepang, serta pemerintah Kuwait yang bersedia menanamkan modalnya dalam bidang perikanan, pun beliaulah arsitek semua itu. Takeo Fukuda, yang tengah menduduki jabatan penting pada pemerintahan Jepang, melihat kredibilitas Pak Natsir sebagai jaminan untuk mengucurkan dana kepada pemerintahan Orde Baru yang baru berdiri.
Sebelumnya, beliau bersama kawan-kawannya merasa bertanggung jawab atas kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Beliau pun membentuk PRRI yang menandai upaya meminimalkan dominasi PKI dalam pemerintahan (Sukarno). Tindakan seperti ini patut kita kenang, mengingat pada saat tersebut baru Pak Natsir dan kawan-kawannya yang berani menentang PKI dan dengan analisis politiknya yang tajam telah mencium maksud-maksud jahat mereka, yang terbukti dengan tragedi nasional tahun 1965.
Khadimul Ummah
Bila Jenderal Zia Ul Haq almarhum, karena pengabdiannya kepada Islam, disebut sebagai Khadimul Islam, sementara Raja Fahd digelari Khadimul Haramain, maka M. Natsir layak disebut sebagai Khadimul Ummah. Usulan Ustadz Latief ini tidaklah mengada-ada sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pak Natsir selama ini. Terlepas dari pengabaian yang dilakukan pemerintah, perhatian dan pelayanan Pak Natsir terhadap umat tidak perlu diragukan lagi.
Jasa-jasa dan semangat almarhum begitu tinggi dalam membela kepentingan umat, tanpa membeda-bedakan organisasi maupun perbedaan mazhab fiqih.
BACA JUGA: Selintas Pandangan Hidup Natsir
“Tak ada perlakuan istimewa terhadap Persatuan Islam dari yang lain-lalnnya, sekalipun beliau memiliki sejarah yang kuat dengan Persis,” terang Ustadz Latief.
Kiranya, catatan-catatan tentang teladan almarhum selama hidup, patut menjadi ibrah bagi kaum muda. Semangat jihadnya yang tinggi, pelayanannya yang tulus kepada umat, perhatiannya yang serius terhadap perkembangan dunia Islam, wawasan berpikirnya yang luas, toleransinya yang tebal bagi setiap organisasi Islam, sikapnya yang mengedepankan kepentingan umum, semua kelebihan ini jarang dimiliki dalam satu orang. Padahal, beliau dilahirkan hanya dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana, dari sudut ruangan. Namun, semua ini tak halangi beliau menjadi tokoh besar yang membela Islam dengan reputasi internasional. Allahu Yarhamhu. []
(Dikutip dan disunting oleh Yusuf Maulana, Redaktur Ahli Islampos, dari artikel berjudul “Perginya Khadimul Ummah” tulisan Iwan Karmawan Arie di majalah Risalah Nomor 11 Tahun XXX, Ramadhan 1413 H / Maret 1993, halaman 60-61).