Oleh: Hamzah
hamzahvans@yahoo.com
RASULULLAH Saw. adalah seorang pedagang ulung dan pekerja keras. Beliau sudah mulai bekerja sejak masih sangat belia. Masih kecil dan masa muda beliau dihabiskan dengan bekerja dan mencari nafkah karena orangtuanya sudah tiada.
Saat tinggal bersama pamannya Abu Thalib, Nabi sudah bisa mencari uang sendiri dengan menggembala kambing milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qiraat. Keberanian beliau untuk menggembala kambing menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang mandiri dan tangguh. Maka dalam usia muda ini, beliau mulai menapakkan langkah menjadi seorang entrepreneur muda (Malahayati, 2010:21).
Nabi mulai belajar bedagang ketika berusia 12 tahun, sang paman mengajak beliau ke negeri Syam untuk ikut berdagang. Disini jiwa entrepreneurship-nya mulai terasah. Beliau dan sang paman melakukan perjalnan bisnis ke beberapa negara yaitu Syiria, Jordan, dan Lebanon. Nabi cukup cerdas untuk menangkap bahwa peluang bisnis yang berkembang. Sebab tanah kota Mekkah secara geologis cukup keras sehingga sulit untuk bercocok tanam.
Maka, peluang menjadi pengusaha lebih besar dari pada menjadi petani. Kejelian inilah yang membuat nabi menekuni bidang perdagangan. Kesempatan emas untuk belajar dagang secara langsung sampai ke mancanegara itu tidak beliau sia-siakan. Sebenarnya, sang paman tidak mau mengajaknya, mengingat perjalanan dari Mekkah ke Suriah yang sangat jauh. Namun beliau tetep memaksanakan diri untuk ikut dalam perjalanan dagang itu, Abu Thalib pun tidak kuasa untuk menolaknya
Sepanjang perjalanan dari Mekkah ke Suriah, beliau mempelajari banyak hal yang berkaitan dengan perdagangan. Selain itu, beliau juga mempelajari berbagai bentuk transaksi jual beli, cara memasarkan dan menawarkan barang dagangan, serta bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan pelanggan.
Hingga rombongan dagang sampai pada suatu tempat yang bernama Bushra, sang rahib melihat adanya tanda-tanda kenabian yang ada pada diri Muhammad Saw. yang telah dijelaskan dalam kitabnya bahwa akan ada seorang Nabi terakhir yang diutus untuk umat manusia. Karena itu, sang rahib meminta Abu Thalib untuk menjaga Muhammad Saw. dari kejahatan orang-orang Yahudi yang ingin mencelakainya (Djabbar, tt: 8).
Bisnis dagang Rasulallah secara mandiri baru dimulai ketika beliau berusia 17 tahun dengan ikut menemani Zubair, adik Abi Thalibb dalam perjalanan dagang ke Yaman. Dengan berbekal pengalaman mengikuti perjalanan dagang ke Suriah dan Yaman. Dalam berdagang nabi dikenal dengan sifat amanah dan kejujuran ketika berdagang.
Dalam berdagang, beliau sangat menjaga mutu barang dagangan yang hendak dijualnya. Jangan sampai barang yang akan dijualnyatu memiliki cacat yang dapat merugikan pembelinya. Sekiranya terdapat cacat pada barang dagangannya, maka beliau akan segera memberitahukan kepada calon pembelinya.
Suatu hari beliu pernah menjual beberapa ekor unta, setelah terjual dan pembelinya pergi, beliau teringat bahwa diantara untanya ada yang cacat. Beliau segera menyusul pembeli untanya dan mengembalikan uangnya. Karena itu, tak mengherankan jika penduduk mekkah memberinya gelar “Al-Amin” yang berarti “orang yang sangat tepercaya.” (Mokh. Syaifudin Bakhri, Abdussalam, 2012: 25).
Selain memerhatikan kualitas daganganya, beliau juga memperhatikan takaran atau timbangan dari barang yang akan jualnya. Beliau sangat menjaga ketepatan alat takaran atau menimbang barang dagangan. Jangan sampai takaran atau timbangannya berkurang. Kalau takaran atau timbangannya berkurang, tentu saja pembelinya akan merasa kecewa dan merugikan.
Hal tersebut membuat kedatangan Muhammad Saw. yang membawa barang dagangan senantiasa ditungu-tunggu oleh para pembeli. Mereka enggan membeli suatu barang dari pedagang selain Muhammad Saw, karena sifat beliau dalam berdagang selalu membuat para pembeli merasa puas dan tidak pernah merasa dirugikan.
Selain itu, beliau juga cerdas dalam memanfaatkan setiap peluang dagang, cerdas dalam membangun jaringan dan kemitraan usaha. Seorang pedagang bernama Rabi bin Badr pernah melakukan kerjasama dagang dengannya. Ketika belakangan mereka bertemu lagi, beliau bertanya ,”Apakah engkau masih mengenalki?” Rabi bin Badr menjawab,” Engkau pernah menjadi mitraku dan mitra yang paling baik pula. Engkau tidak pernah menipuku dan tidak pernah berselisih denganku.” (Antonio, 2008:83)
Karena itulah beliau semakin dipercaya baik oleh para pembeli, pedagang, mitra usaha atau pun saudagar kaya pemilik barang dagangan. Maka gelar kehormatan “Al-Amin” yang selama ini melekat pada diri beliau, semakin menunjukkan sinar terangnya dalam bidang perdagngan.
Kesukesan dunia bisnis beliau semakin berkembang dan semakin cemerlang ketika berusia 25 tahun dan bertemu dengan ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid. Khadijah adalah saudagar wanita yang kaya raya keturunan Bani Asad dari suku Quraisy, suami pertama khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, dan jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Dia biasa menjual barang dagangannya ke berbagai pasar yang ada di Suriah dan di tempat-tempat lainnya, seperti pasar Bushra.
Untuk menjalankan usaha dagangnya, dia memperkerjakan sejumlah laki-laki, dan sebagai upahnya dia memberikan sebagian keuntungan yang diperolehnya. Suatu ketika Khadijah butuh tenaga kerja baru untuk berdagang ke negeri Syam, keberadaan Muhammad Saw. sebagai orang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya semakin terkenal sehingga sampai terdengar oleh Khadijah.
Beliau mendapat kepercayaan untuk membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid yang berawal dari pembicaraan Abu Thalib kepada beliau bahwa Khadijah membutuhkan orang yang terpercaya dalam membawa dan menjual barang dagangannya.
Ketika Khadijah mendengar percakapan Abu Thalib dengan Muhammad Saw. itu, dia setuju untuk menjadikan keponakan Abu Thalib itu menjadi orang kepercayaannya dalam berdagang ke negeri Syam, bahkan Khadijah menjanjikan upah yang lebih besar dari biasanya karena dia sudah mengetahui ketenaran Muhammad Saw. sebagai orang yang diberi gelar “Al-Amin” di kota Mekkah.
Kedudukan beliau dalam menjalankan barang dagangan milik Khadijah adalah sebagai pengelola (mudharib). Sedangkan Khadijah sebagai pemilik modal (shahibul maal). Kerja sama mudharabah atau dalam bahasa inggris disebut financig (Antonio, 1999:149). Dalam pelaksanaanya, mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antar dua pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahibul maal) , sedang pihak kedua sebagai pengelol (mudharib) yang menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menjalankan modal pihak pertama.
Setelah mendapat kepercayaan Khadijah, Muhammad Saw mempersiapkan barang dagangan dan perbekalan untuk melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Beliau berangkat bersama rombongan dagang lainnya dan ditemani oleh seorang pembantu Khadijah yang bernama Maisaroh.
Dalam perjalanan dagang ke Suriah, Muhammad Saw dan rombongan lainnya singgah di pasar Bushra. Di situlah beliau menjual barang dagangan yang dibawa dan membeli barang dagangan yang laku untuk dijual pasar lainnya.
Berkat kejujuran, kepercyaan, dan kemampuannya dalam menawarkan barang, barang dagangannya laris terjual dan mendapatkan untung yang banyak.
Muhammad Saw. dan rombongan dagang lainnya kembali ke Mekkah dengan mendapat keuntungan yang besar, sesampainya di kota Mekkah Muhammad Saw. disambut oleh Khadijah yang sudah menanti kedatangan orang-orang kepercayaannya. Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa barang daganganya habis terjual dan mendapat keuntungan besar. Sebagai upahnya, Khadijah memberikan sebagian keuntungannya itu kepada Muhammad Saw. bahkan lebih besar dari mereka yang sepakati sebelumnya. []