Oleh: Titien SDF
AKU terlahir dari keluarga sederhana. Ibu masuk Islam saat menikah dengan Ayah yang pemahaman agamanya ala kadarnya. Yang kami tahu, Islam adalah syahadat, sholat, puasa, zakat, haji dan berbuat baik. Karena terbiasa bergaul dengan laki-laki dan segala permainannya ( kakak dan adikku laki-laki) membawaku tumbuh besar sebagai gadis tomboy yang lebih suka memakai hem dan celana panjang, rambut tergerai lepas atau diikat sekadarnya.
Saat kuliah, aku satu kost dengan anak-anak Politeknik Undip (sekarang Polines) yang rata-rata bergamis dan berjilbab lebar. Mereka sering mengajakku ikut kajian di masjid kampus, meminjamkan sebuah kerudung segi empat dan mendandaniku begitu rupa. Aku sih mau saja, daripada bengong sendirian di tempat kost.
Semester dua aku harus masuk di asrama kampus Akper Depkes Semarang (sekarang Poltekes). Kutinggalkan tempat kost namun kebersamaan dengan anak-anak Politeknik tetap terjalin, kami masih sering kajian bersama walau di keseharian kepalaku belum tertutup, terlebih kampus membatasi dengan aturan seragam yang tak sesuai syariat.
BACA JUGA:Â Ini Setidaknya 5 Keistimewaan Wanita Berhijab
Semester berikutnya, aku datang ke asrama dengan setelan hem dan rok panjang dengan kerudung pendek menutupi kepala. Seisi asrama memandang aneh padaku, yang perempuan memandangku sinis dan berkata,”cari sensasi ya.”
Aku hanya mengelus dada, menghilangkan gelagak tak suka yang mulai melesak dalam dada. Perempuan memang selalu nyinyir bila melihat sesuatu yang tak mereka suka, itu keyakinanku sejak kanak-kanak walaupun aku juga perempuan. Anak-anak Politeknik itu? Tentu saja mereka berbeda. Mungkin karena sudah lebih dulu belajar memahami agama, pikirku.
Selalu ada oase di padang pasir, begitu pun di asrama. Kaum laki-lakinya justru memberi selamat dan menguatkan niatku untuk menutup aurat. Salah seorang di antara mereka berkata,” barokallah ukhti…semoga pakaian seperti ini melekat padamu sejak sekarang dan seterusnya.”
Kalimat itu cukup membuatku malu. Tidak cukup berhenti di situ, mereka juga memberikan buku-buku keakhwatan. Hari demi hari, pemahamanku tentang agama ini bertambah. Beberapa gadis mengikuti jalanku. Dengan dukungan mereka pula, kami berupaya memperjuangkan pakaian seragam yang menutup aurat. Tak mudah memang, namun kuyakini selalu ada jalan keluar.
Begitu banyak cobaan, kami harus membuat proposal dan membawanya ke semua dosen untuk mendapatkan dukungan. Banyak penolakkan, namun tak sedikit pula dukungan. Pihak kampus melunak, kami diperbolehkan menutup aurat saat perkuliahan di kampus. Untuk jam-jam praktik di rumah sakit, puskesmas dan sejenisnya kami tetap diharuskan memakai seragam lama, astaghfirullahul adzim. Kami bergeming untuk tidak membuka kembali aurat, apapun resikonya.
Suatu hari, kudapati Ibu menunggu di kamar dengan wajah penuh amarah. Kiranya terkirim telegram yang isinya menyesakkan dada.
“Harap segera datang untuk pembinaan putri anda.”
BACA JUGA:Â Apa Hukumnya Perempuan Berhijab tapi masih Menggunjing?
Ibu mengira putrinya melakukan perbuatan asusila dan mencoreng nama baik keluarga. Susah payah kujelaskan semua, memohon pengertiannya. Kutahan air mata dan segenap gundah gulana saat Ibu mengancam tidak mau mengakui darah dagingnya. Pasrah, kutumpahkan semua luka di ujung sajadah sepanjang malam. Mohon kekuatan agar sabar dalam ujian.
Teman-temanku berguguran, tinggal kami berenam yang masih teguh pendirian. Akibatnya, kami tidak diperbolehkan ikut ujian akhir.
Allah tiada membiarkan hamba teraniaya. Ada yang membawa kasus kami ke depkes. Di titik akhir, kami diperbolehkan ikut ujian susulan dan lulus pada waktunya. Alhamdulillah, semua ini karena cinta-Nya.