Oleh: Ainul Ma’rifah, S.Si
Pengajar Les Private
ainurrumakarifa1453@gmail.com
HARI itu mereka berkumpul setelah beberapa hari kota Makkah ditakhlukkan oleh kaum muslimin. Bercengkrama di depan Darun Nadwah, sebutan tempat berkumpulnya petinggi Quraisy mendiskusikan berbagai urusan mereka. Dulu, sebelum masuk Islam mereka pun mendiskusikan berbagai cara menghentikan dakwah Rasulullah di tempat itu. Namun berbeda, hari itu mereka saling bercengkrama atas keislaman mereka.
“Kalian semua berkumpul saat ini di tempat ini dalam keadaan Islam, sedangkan dulu kalian berkumpul seperti ini dalam keadaan musyrik, yang membedakan kalian adalah keimanan dan kesyirikan. Hingga hati dan jasadmu berkumpul dalam agama yang benar, maka pujilah Allah atas rahmatNya,” ucap Umar bin Khattab pada mereka kala itu.
Lalu, dengan wajah penuh penyesalan Ikrimah bin Abu Jahal menimpali, “Umar, aku menyesali perbuatanku dulu.”
“Jangan putus asa dengan yang sudah terjadi, kecuali untuk membangun semangat yang akan datang. Banyak sekali orang baik yang berbangga-bangga dan akhirnya binasa. Dan betapa banyak sekali orang yang dulunya berbuat kejelekan, kemudian menyesal dan terus mengintroperksi diri, hingga akhirnya mereka termasuk orang-orang yang masuk surga lebih dulu,” jawab Umar dengan begitu bijaknya.
Itulah ucapan Umar bin Khattab yang menjadi penyemangat generasi akhir penduduk Makkah yang masuk Islam, untuk berbenah diri menyusul ketertinggalan mereka memeluk agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Maka menjadi wajar dan tidak berlebihan jika kalimat tersebut juga menjadi kalimat penyemangat para generasi hijrah hari ini sekaligus sebagai pengingat bahwa tidak semua orang yang hari ini masih bergelut dosa dan kemaksiatan akan tetap dalam kemaksiatannya.
Pun sebaliknya, jangan sampai kesombongan dan berbangga diri karena lebih dulu berhijrah menjadikan binasa diakhirnya. Karena tidak ada siapapun di dunia ini yang bisa menentukan bagaimana masa depan manusia.
Sejarah mencacat bagaimana akhir sebuah kehidupan manusia bernama Ubaydullah bin Jahsyi yang bisa diambil hikmah bahwa tidak menjamin jika keimanan diawal juga akan berakhir dengan keimanan pula. Atau sebaliknya kisah sahabat Umair bin Wahab yang dijuluki setan Quraisy yang musyrik diawal akan tetap dengan kemusyrikannya.
Ubaydullah bin Jahsyi adalah termasuk empat orang penduduk Makkah yang tidak menyembah berhala sebagaimana penduduk Quraisy pada umumnya. Jauh sebelum kenabian datang pada diri Rasulullah, Ubaydullah bin Jahsyi dan ketiga temannya yakni Zaid bin Amar, Waroqoh bin Naufal, dan Utsman bin al-Huairis dikenal dengan sebutan al-hanifiyah atau orang yang mengikuti ajaran yang lurus.
Hingga akhirnya keempat orang tersebut, hanya Ubaydullah bin Jahsyi yang sempat memeluk agama Islam, sedangkan yang lainnya ada yang meninggal lebih dulu. Namun sayang seribu sayang, keislamannya tidak mampu ia pertahankan. Dan ia tercatat sebagai kasus murtad pertama dalam Islam.
Berbeda dengan Ubaydullah bin Jahsyi, Umair bin Wahab adalah salah satu sahabat yang awalnya paling memusuhi Rasulullah hingga ia dijuluki sebagai setan Quraisy. Namun tak berapa lama setelah meletusnya Perang Badar, hidayah menghampirinya, hingga ia memeluk islam dan menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW. Dan sejarah mencatat, hingga akhir hayatnya ia tetap istiqomah dalam keislamannya.
Hari ini kisah tersebut seakan bergulir kembali. Seorang yang sempat terjerumus dalam kubang dosa dan kemaksiatan. Namun, kini kita dibuat kagum dengan perjalanan hijrahnya yang luar biasa hingga menjadi penjaga ayat al-Qur’an yang terpercaya. Dan contoh seperti ini tidak satu dua tiga. Namun, ribuan bahkan jutaan contoh perjalanan hijrah mereka.
Itulah potret manusia yang memberi banyak hikmah bagi tiap manusia yang merenungi kisahnya. Dari kisah tersebut kita bisa mengambil salah satu hikmah bahwa tiap manusia mempunyai kesempatan yang sama dalam hal hidayah dan keimanan.
Tidak berhak ada kesombongan bagi siapapun yang lebih awal mendapat hidayah keimanan karena kita tak pernah tahu akhir kisah manusia. Dan dari sana terdapat pembelajaran bahwa setiap manusia memliki hak atas setiap doa dan cinta. Artinya, sejelek apapun masa lalu dan kemaksiatan serta dosa yang pernah manusia lakukan, ada hak dipandang dengan cinta.
Termasuk berhak didoakan agar suatu hari nanti mendapat hidayah keimanan. Meskipun tak bisa dipungkiri berat hati ketika melihat bagaimana jahatnya perangai orang tesebut. Tapi tetap harus ada bentuk kepedulian pada mereka. Baik berupa nasehat atau doa kepada mereka.
Demikian juga yang Rasulullah SAW contohkan pada kita ketika Rasulullah SAW memaafkan dan justru mendoakan penduduk Thaif. Dimana ketika Rasulullah SAW mendakwahi mereka tetapi penduduk Thaif mengusir dan melempari Rasulullah SAW dengan batu.
Padahal kala itu, malaikat Jibril menawarkan kepada Rasulullah SAW untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif, namun dengan bijaknya Rasulullah menjawab, “Biarkanlah, jangan kau lakukan itu, suatu hari nanti anak cucu mereka yang akan menerima agama ini.”
Dan benar, 12 tahun paska peristiwa tersebut seluruh penduduk Thaif masuk islam. MaasyaaAllah, sebuah teladan luar biasa dari seorang manusia paling mulia Rasulullah Muhammad SAW dalam memberikan teladan bagaimana memandang setiap manusia dengan cinta. Maka sudah sepantasnya kita umatnya juga meneladani sikap tersebut.
Wallahua’lam bi ash-showab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word