Saat seorang gadis dinikahkan dengan seorang laki-laki, tanggung jawab orangtua menjaga dan membina sang gadis pun berpindah ke tangan suaminya. Namun tetap saja orangtua kadang masih terus mendidik putrinya walau telah berumah tangga.
Itu pula yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada putri dan menantu istimewanya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq amat berbesar hati saat sahabatnya yang mulia, Rasulullah Saw, melamar putrinya, Aisyah, untuk menjadi Ummul Mukminin. Ini adalah kedudukan terhormat, tak hanya di dunia namun juga di akhirat.
Sebagai ayah, Abu Bakar yang terkenal dengan kelembutan hatinya tentu menyayangi anak-anaknya, termasuk Aisyah. Namun, di sisi lain, menantunya yang satu ini bukan manusia biasa. Beliau adalah utusan Allah yang setiap kata dan tindakannya didasarkan atas arahan-Nya.
Cukup jelas bagi Abu Bakar bagaimana dia harus mengambil posisi di antara anak dan menantunya. Penghormatan kepada Rasulullah adalah keutamaan baginya dibanding kecintaan kepada putrinya.
Suatu kali didengarnya Aisyah bersuara tinggi kepada suaminya. Ada riak kecil tengah terjadi dalam rumah tangga Rasulullah dan Aisyah. Sementara Rasulullah tenang menghadapi Aisyah, justru Abu Bakar tersulut emosi. “Beraninya kau bersuara tinggi di hadapan Rasulullah!” semburnya, disusul omelan panjang kepada Aisyah hingga Rasulullah menengahi dan Abu Bakar pergi demi meredakan amarah.
Saat dia kembali, dilihatnya anak dan menantunya telah akur. Dia pun berujar, “Ajaklah aku dalam perdamaian kalian, sebagaimana kalian mengajakku dalam peperangan kalian.”
Pada waktu yang lain, saat Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan karena mereka menuntut tambahan nafkah, Abu Bakar hampir saja mencekik Aisyah yang dinilainya menyusahkan Rasulullah. Turunlah surat Al-Ahzab ayat 28-29 tentang pilihan pada harta atau Allah dan Rasul-Nya. Tentu saja para Ummul Mukminin memilih Allah dan Rasul-Nya dibanding apa pun juga.
Di waktu yang lain, dalam sebuah perjalanan, kalung Aisyah hilang hingga Rasulullah menghentikan rombongan untuk mencari kalung itu. Abu Bakar jengkel atas kemanjaan putrinya dan menegurnya sambil menekan pinggang Aisyah sampai ia kesakitan. Ternyata hikmah peristiwa itu adalah turunnya surat An-Nisa’ ayat 43 tentang tayamum, karena tempat mereka berhenti tak ada air untuk wudhu.
Namun di saat tersulit bagi putrinya, yaitu peristiwa haditsul ifki atau fitnah kepada Aisyah, Abu Bakar mendampingi Aisyah. Ia paham betul, putrinya tak mungkin berbuat sebagaimana fitnah yang dilontarkan kaum munafik, namun dia lebih banyak diam menunggu keputusan Allah dan Rasul-Nya. Maka, saat Allah menyatakan kesucian Aisyah dalam surat An-Nur ayat 26, Abu Bakar begitu bahagia seraya berpesan kepada Aisyah untuk bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada suaminya.
Begitulah Abu Bakar menjalani perannya sebagai seorang ayah yang merasa harus terus mendidik putrinya sebagai bentuk tanggung jawabnya sampai akhirat kelak. Itulah kebenaran. Kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban orangtua atas anak-anak yang diamanahkan kepadanya. []
Sumber: http://www.ummi-online.com