UMAR bin Khattab merasa sangat keberatan bila seorang wanita tidak dirahasiakan. Riwayatnya pun patut dirahasiakan, bila riwayatnya itu dapat menghalangi perkawinannya.
Seorang laki-laki membukakan kepadanya rahasia anak gadisnya yang masuk Islam dan pernah dikenakan had (zina). Gadis itu bermaksud untuk bunuh diri, lalu ditemukan oleh keluarganya telah memotong urat lehernya. Kemudian dia sembuh dan bertaubat serta menjadi orang baik-baik.
BACA JUGA: Perjanjian Umar bin Khattab di Yerusalem
Umar bertanya kepada ayahnya, “Apakah engkau memberitahukan riwayat hidupnya yang lampau kepada orang yang hendak meminangnya?
Umar melanjutkan perkataannya, “Celakalah engkau! Apakah engkau sengaja membuka rahasia yang diperintahkan Allah supaya ditutup? Demi Allah, jika engkau memberitahukan persoalannya kepada seseorang, tentu engkau akan saya hajar dan aku jadikan engkau pelajaran (bagi manusia). Kawinkanlah dia sebagaimana wanita muslimah yang suci.”
Menurut pandangannya wanita lebih utama untuk diberi hati apabila tidak membawa kepada bahaya dan dia menekankan kepada manusia, “Janganlah sekali-kali mengawinkan wanita, melainkan dengan orang yang sepadan dengannya.”
Umar bermusyawarah dengan para wanita dengan apa yang baik menurut mereka sebagaimana layaknya dia bermusyawarah dengan kaum pria tentang apa yang baik menurut mereka. Dia sama sekali tidak keberatan meralat kesalahannya bila seorang wanita menolaknya dengan keterangan memuaskan.
Misalnya dia melarang manusia dalam sebagian pidatonya meninggikan mahar lebih dari 40 luqiah. Lalu ada seorang dari barisan wanita yang berseru, “Engkau tidak berhak mengatakan itu?”
Umar tidak enggan bertanya, “Mengapa?”
BACA JUGA: Inilah Alasan Mengapa Setan Takut kepada Umar bin Khattab
Wanita itu meniawab, “Karena Allah berfirman,
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisaa'(4) : 20)
Lalu Umar meralat kesalahannya dan mengakui kebenaran wanita itu. []
Sumber: Kejeniusan Umar/ Penulis: Abbas Mahmud AL Akkad/ Penerbit: Pustaka Azzam, 2002