Hadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
Ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah, memahami hadis di atas,
Pertama, nikah hukumnya wajib bagi yang mampu hubungan badan.
Ibnu Hazm mengatakan,
مسألة: وفرض على كل قادر على الوطء إن وجد من أين يتزوج أو يتسرى أن يفعل أحدهما ولا بد، فإن عجز عن ذلك فليكثر من الصوم
“Wajib bagi lelaki yang mampu hubungan badan, jika dia memiliki dana untuk menikah, atau membeli budak wanita, untuk melakukan salah satunya (menikah atau memiliki budak wanita), dan itu harus. Jika dia tidak mampu secara dana, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. Kemudian Ibnu Hazm menyebutkan hadis di atas. (al-Muhalla, 9/3).
Kedua, anjuran bagi yang mampu menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam maksiat jika tidak menikah. Sehingga latar belakang perintah nikah adalah karena dalam rangka menghindari yang haram. Inilah pendapat mayoritas ulama.
An-Nawawi mengatakan,
وفي هذا الحديث الأمر بالنكاح لمن استطاعه وتاقت إليه نفسه وهذا مجمع عليه لكنه عندنا وعند العلماء كافة أمر ندب لا إيجاب فلا يلزم التزوج ولا التسري سواء خاف العنت أم لا هذا مذهب العلماء كافة ولا يعلم أحد أوجبه إلا داود ومن وافقه من أهل الظاهر ورواية عن أحمد فإنهم قالوا يلزمه إذا خاف العنت أن يتزوج أو يتسرى قالوا وإنما يلزمه في العمر مرة واحدة ولم يشرط بعضهم خوف العنت
Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menikah bagi orang yang mampu dan jiwanya sangat bernafsu. Ini disepakati ulama. Namun menurut kami dan banyak ulama, perintah ini sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud az-Zahiri dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berpendapat, seorang lelaki wajib nikah atau memiliki budak wanita jika khawatir terjerumus ke dalam zina.
Para ulama itu mengatakan bahwa kewajiban nikah hanya wajib seumur hidup sekali, dan sebagian mereka tidak mempersyaratkan kekhawatiran terjadi zina. (Syarh Shahih Muslim, 9/173).
As-Syaukani mengatakan,
وأما وجوبه على من خشي الوقوع في المعصية فلأن اجنتاب الحرام واجب وإذا لم يتم الاجنتاب إلا بالنكاح كان واجبا وعلى ذلك تحمل الأحاديث المقتضية لوجوب النكاح …
Tentang hukum wajibnya nikah bagi yang takut terjerumus ke dalam maksiat, karena menjauhi yang haram hukumnya wajib. Jika menjauhi yang haram tidak bisa dilakukan kecuali melalui nikah, maka nikah hukumnya wajib. Hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya menikah, dipahami demikian. (ad-Darari al-Mudhiah, 1/177).
Karena itu, jika ada orang yang meninggal sebelum menikah, insyaaAllah dia tidak menjadi berdoa. Sementara wanita, hukum asal nikah adalah mubah. Anda bisa pelajari di: Bolehkan Wanita Melajang? Wallahu a’lam.[]
Sumber:Konsultasisyariah