PERLUKAH sampai berhutang demi meriahnya sebuah pesta yang konon dipercayai meningkatkan martabat orangtua, kedua mempelai dan sanak keluarga?
Menikah adalah satu cara untuk mengikut sunnah Rasulullah, namun bukan hanya tata cara menikah saja yang patut kita ikuti, sebaiknya hal-hal seputar pernikahan pun kita ikuti secara keseluruhan (kaafah).
Persiapan Pernikahan
Sebagian masyarakat Muslim di Indonesia menyiapkan pernikahan mulai dari mahar, jenis kartu undangan, acara tunangan (khitbah), hantaran lamaran, pesta pernikahan termasuk sewa gedung dan baju pengantin serta paket foto, tanda mata untuk tamu, baju seragam keluarga, bulan madu, rumah yang akan ditinggali dan banyak hal lainnya.
Biasanya yang stres adalah antara orangtua dan keluarga besar, calon mertua dan keluarga besar, serta kedua mempelai sendiri. Adapun keinginan untuk memeriahkan acara biasanya datang dari orangtua atau anak, atau keduanya.
Pengantin baru Manis dan Bagus berbagi cerita: “Sebelum nikah, kami sih maunya pesta sederhana aja, tapi ya gitu deh, orangtua maunya yang meriah. Biayanya ditanggung separuh-separuh antara dua keluarga.”
Mereka mengatakan bahwa biaya pernikahannya ketika mengundang 1000 tamu termasuk keluarga dekat menghabiskan biaya hampir Rp.500 juta rupiah dengan rincian kartu undangan dan ongkos kirim Rp.20 juta, mas kawin (mahar) Rp.75 juta, paket pesta pernikahan Rp. 300 juta, tanda mata tamu Rp.20 juta, baju seragam keluarga Rp.25 juta, dan paket bulan madu Rp.60 juta.
Manis melanjutkan bahwa ada juga dana yang masuk dari amplop yang dibawa tamu, sekitar Rp.200 juta, kado – kado serta bunga ucapan. Sebagian kado tidak terlalu digunakan, bunga ucapan apalagi, biasanya diambil lagi oleh pengirim bunga setelah pesta usai. Sedihnya, pesta berakhir dengan hutang 100juta!
Ketika Rasulullah Menikahkah Putrinya
Fatimah Az-Zahra ra adalah putri keempat dari istri Rasulullah, Khadijah binti Khuwaliid. “Marhaban wa sahlan” itulah ucapan Rasulullah kepada Ali bin Abu Thalib ra ketika ia datang meminang Fatimah yang bermakna bahwa Rasulullah menerima pinangannya. Maka menikahlah keduanya.
Pernikahannya sangat sederhana bertempat di rumah yang sederhana, tidak ada musik dan hamburan kekayaan. Perabot rumahnya pun hanya ada kain beludru, bantal kulit berisi rumput kering, penggilingan gandum, alat minum, dan dua buah wadah. Mahar yang diminta tidak lebih dari 12 uqiyah (HR Darimi No. 2103; Ibnu Majah No. 1877), atau sekitar 500 dirham, Rp. 35 juta nilai sekarang.
Jadi Perlukah Berhutang?
Bagi yang ingin menikah, hendaknya mengkaji lagi pesan – pesan Rasulullah, bahwa pernikahan adalah urusan mudah, jangan menyusahkan siapapun juga, sehingga akan dapat mengundang keberkahan.
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah” (HR. Abu Daud No. 1808) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” (HR. Ahmad No. 24595). Rasulullah Saw pernah menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dengan mahar hafalan Quran, karena sang lelaki hanya punya sehelai sarung, tidak mampu mencari walau sebuah cincin besi (lihat HR Bukhari No. 5422; HR Nasa’i No. 3287; HR Darimi No. 2104).
Menyiarkan kabar pernikahan dan berbagi kegembiraan dengan sanak keluarga dan tetangga serta para teman dan sahabat adalah suatu yang dianjurkan, namun jangan sampai memaksakan diri hingga berhutang. Anggaran sederhana dapat diupayakan, misalnya dengan mengirim undangan digital yang didesain cantik, menggunakan rumah sebagai ajang menyambut tamu, dan masak menggunakan catering sederhana.
Kesimpulannya, menikah dengan cara memaksakan diri seperti berhutang adalah tidak mengikuti sunnah Rasulullah . Banyak hal yang mudharat dibandingkan manfaatnya, belum lagi masalah riba karena pinjamannya.
Mungkin sementara pengantin dan keluarganya disanjung khalayak ramai, sementara naik martabat di hadapan tamu, namun hina di mata Allah karena ternyata orang yang bermartabat dan mulia adalah bukan dengan kekayaannya tapi yang mulia adalah karena ketaqwaannya ada di dalam QS. Al-Hujurat :13.
Selain tentang hutang, banyak kisah makanan pesta yang tidak habis kemudian terbuang begitu saja (mubazir), serta menganjurkan gaya tamu makan sambil berdiri. Itukah taqwa dan mengikuti sunnah Rasulullah? Wallahu a’lam bis-shawaab. []
Sumber: Dr.Murniati Mukhlisin, Konsultan Sakinah Finance, Colchester, Inggris. Suara Islam