Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya mahasiswi tingkat akhir. Belum lama menerima lamaran dan sedang mempersiapkan pernikahan. Ada persoalan yang mengganjal di hati dan menjadi pikiran saya dan calon suami. Ini menyangkut kepastian hukum syariah yang perlu penjelasan Ustadz.
Bagaimana hukum tes kesehatan dan uji fertilitas sebelum melangsungkan pernikahan? Keluarga menginginkannya. Mengingat teknologi klinis dan medis sudah canggih, katanya, kami perlu mengantisipasi penyakit menurun, penyakit menular, ketidakcocokan genetika dan darah, serta mengetahui tingkat kesuburan. Apakah hal ini tidak kelewatan dan tidak berdasar pada sunnah pernikahan Rasulullah?
Demikian pertanyaan saya. Jawaban Ustadz tentu dapat menenteramkan hati kami.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Widyastuti Febrianti, Semarang
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pernikahan merupakan pengalaman hidup yang sangat penting. Pernikaha media penyatuan fisik dan psikis dua insan. Juga penggabungan dua keluarga besar. Dan, dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah swt.
Hal itu tentu memerlukan persiapan matang. Termasuk persiapan fisik sebelum menikah. Hal itu tak kalah pentingnya dengan kesiapan materi, sosio-kultural, mental, dan hukum. Tes kesehatan dan vertilitas yang disarankan kalangan medis dan konsultan pernikahan, adalah salah satu bentuk persiapan pranikah. Dan disunnahkan dalam Islam baik secara eksplisit maupun implisit.
Bahkan, sekalipun tidak ada riwayat, indikasi penyakit, ataupun kelainan keturunan dalam keluarga, berdasarkan prinsip syari’ah, tetap dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan standar. Termasuk tes darah dan urine. Karena, prinsip sentral syariah Islam –menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (vol.III/14)– adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan terletak pada keadilan, kerahmatan, kemudahan, keamanan, keselamatan, kesejahteraan, dan kebijaksanaan yang merata. Apa saja yang bertentangan dengan prinsip tersebut, otomatis dilarang syari’ah. Sebaliknya, segala yang dapat mewujudkan prinsip tersebut secara integral, pasti dianjurkan syari’ah.
Dan tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syari’ah) adalah memelihara pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang tercakup dalam ‘panca maslahat’. Syariat memberi perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl), dan harta benda (hifz mal).
Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara itu adalah maslahat bagi manusia. Dan itu dikehendaki syari’ah. Segala yang membahayakannya, dikategorikan sebagai madharat atau mafsadah yang harus disingkirkan sebisa mungkin. Begitu kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, (vol.I/139-140) yang dijabarkan oleh Imam Asy-ysathibi dalam kitab Al-Muwafaqat.
Secara psikologis, sebenarnya pemeriksaan kesehatan pranikah akan membantu kesiapan mental calon pengantin. Sedangkan secara medis, pemeriksaan itu ikhtiar yang bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Itu langkah antisipasi dan tindakan preventif yang jauh-jauh hari dilakukan untuk menghindari penyesalan dan penderitaan berumah tangga.
Para ahli abstetri (ilmu kebidanan) dan ginekologi (ilmu keturunan) menyatakan, sebaiknya calon pengantin memeriksakan diri tiga bulan sebelum melakukan janji pernikahan. Rentang waktu itu diperlukan untuk melakukan pengobatan jika ternyata salah seorang atau keduanya menderita gangguan tertentu.
Jenis pemeriksaan kesehatan pranikah dapat disesuaikan dengan gejala tertentu yang dialami calon pengantin secara jujur, berani, dan objektif. Misalnya, pemeriksaan harus dilakukan lebih spesifik jika dalam keluarga didapati riwayat kesehatan yang kurang baik. Namun, jika semuanya lancar-lancar saja, hanya perlu pemeriksaan standar. Cek darah dan urine.
Cek darah diperlukan untuk memastikan si calon ibu tidak mengalami talasemia dan infeksi darah, misalnya. Ahli medis juga akan mengecek ada tidak gejala anti phospholipid syndrome (APS). Itu lho kelainan darah yang bisa menyebabkan keguguran berulang. Jika tanda-tandanya ditemukan, biasanya dokter melakukan tindakan tertentu agar hal-hal buruk tak terjadi ketika si pengantin wanita nantinya.
Data kesehatan mengungkapkan, kasus yang paling banyak terjadi pada calon ibu, khususnya di Indonesia, adalah terjangkitnya virus toksoplasma. Virus ini mengakibatkan bayi cacat dalam kandungan. Biasanya terjadi karena si ibu mengkonsumsi daging tidak matang atau terinfeksi lewat pencemaran kotoran dan bulu binatang piaraan. Sebenarnya, tidak hanya toksoplasma yang patut diteliti. Masih ada rubella, virus cytomegalo, dan herpes. Semua bisa dideteksi dengan pemeriksaan TORCH.
Sedangkan, calon pengantin pria perlu pemeriksaan infeksi sipilis dan gonorrhea. Pemeriksaan sperma juga perlu. Untuk memastikan tingkat kesuburan. Biasanya yang diperiksa adalah jumlah sperma, gerakan sperma, dan bentuk sperma.
Sperma yang baik jumlahnya harus lebih dari 20 juta setiap cc-nya. Lebih dari 50% bergerak dan lebih dari 30%m bentuknya normal. Bila dalam pemeriksaan menemukan kelainan, waktu tiga bulan adalah masa yang cukup untuk melakukan penyembuhan.
Demikian juga bagi calon mempelai wanita. Masa tiga bulan dianggap memadai untuk memperbaiki siklus menstruasi yang tidak lancar. Tentu saja dengan mengikuti terapi secara khusus, disiplin, intens, dan kontinu.
Pemeriksaan darah lain lagi. Biasanya yang standar diperiksa jenis resus-nya. Orang Asia, termasuk perempuan Indonesia, memiliki resus darah positif. Sedangkan, orang Eropa dan Kaukasia biasanya resus negatif. Karena itu, pemeriksaan resus menjadi penting bagi pasangan campuran. Karena, perbedaan resus bisa berdampak fatal saat hamil.
Jika si ibu beresus positif dan janinnya negatif, ahli medis biasanya menyarankan kehamilan dibatalkan sejak dini. Karena, si janin tak akan bertahan hidup secara normal di rahim ibunya. Meskipun ngotot dipertahankan, nantinya akan gugur juga. Pengalaman ini biasanya disebut kalangan medis sebagai kasus incompabilitas resus.
Calon pengantin juga sering diminta untuk melakukan pemeriksaan darah anticardiolipin antibody (ACA). Penyakit yang berkaitan dengan ACA mengakibatkan aliran darah mengental. Darah si ibu sulit mengirimkan makanan ke janin dalam rahimnya. Selain itu, jika salah satu calon pengantin memiliki catatan down syndrome karena kromosom dalam keluarganya, perlu pemeriksaan intensif. Sebab, bisa mengakibatkan bayi lahir idiot.
Adapun suntikan Tetanus Toxoid (TT) sebenarnya untuk mencegah tetanus pada luka yang terjadi di vagina mempelai wanita akibat hubungan seksual pertamanya. Suntikan TT juga dianjurkan bagi ibu hamil di usia kandungan 5-6 bulan untuk mencegah terjadinya tetanus akibat persalinan.
Jadi, kekhawatiran manipulasi serum TT diganti dengan obat kontrasepsi sebaiknya dihilangkan. Jika memang ada bukti, laporkan ke pihak terkait. Sebab, tindakan itu disamping melanggar kode etik kedokteran, juga suatu tindak pidana.
Dalam memilih pasangan hidup, tidak hanya aspek keimanan dan keshalihan (hifdz din) yang harus diperhatikan. Aspek keturunan, kesehatan fisik dan mental (hifdz nasl dan hifdz ‘aql) juga mesti perhitungkan. Hal itu dapat kita kaji dari hadits Rasulullah saw. maupun ayat-ayat Alquran seputar pernikahan.
Anjuran Nabi saw. untuk melihat calon pasangan sebelum menikah merupakan ekspresi pentingnya pemeriksaan fisik masing-masing calon pasangan hidup. Tentu saja harus sesuai dengan batasan yang ditentukan syari’ah (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan contoh alasan pemeriksan fisik adalah menurut catatan demografis terdapat kelainan mata pada sebagian mata kaum Anshar Madinah (HR. Muslim).
Rasulullah saw. juga melarang pernikahan antar kerabat dekat. Bahkan, surat an-Nisa ayat 23 mengharamkan pernikahan antar mahram. Hikmahnya adalah agar terhindar lahirnya keturunan yang lemah fisik dan akal. Itu semua merupakan salah satu bentuk perhatian Islam akan perlunya pemeriksaan aspek genetik calon pasangan.
Di hadits yang lain, Nabi saw menganjurkan agar memilih pasangan yang penuh kasih sayang (wadud) dan subur (walud). Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan al-Hakim itu adalah bukti perhatian Islam terhadap aspek fertilitas. Karena, diantara hikmah pernikahan adalah melaksanakan ibadah dengan memperbanyak keturunan yang shalih.
Thaariq Ismail Khahya dalam Az-Zawaj fil Islam, disamping menyatakan kriteria kesehatan calon mempelai wanita, juga menekankan bahwa calon suami harus sehat jasmani dan rohani. Steril dari berbagai penyakit yang dapat menghalangi dan menganggu kebahagiaan pernikahan. Apakah itu gangguan jiwa, lepra, impotensi, dan penyakit lainnya yang dapat menular ataupun menurun.
Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khathab pernah memutuskan seorang pengantin pria diberi kesempatan selama satu tahun untuk menyembuhkan impotensinya. Jika setahun belum sembuh, pengantin wanita bisa menuntut cerai dan hakim harus mengabulkannya. Kasus itu mengindikasikan betapa pentingnya faktor keturunan, kesuburan, dan kesehatan seksual dalam pernikahan. Karena itu, patut untuk dipemeriksa.
Dengan demikian, berdasarkan data urgensi dan manfaat dari pemeriksaan kesehatan tersebut, syari’at Islam sangat menyambut anjuran agar calon pengantin melakukan pemeriksaan fertilitas, tes kesehatan fisik dan mental, serta imunisasi TT pranikah. Dengan begitu dapat diketahui lebih awal berbagai kendala dan kesulitan medis yang mungkin terjadi serta dapat diambil tindakan antisipasi yang semestinya sedini mungkin. Ini sesuai prinsip sadd adz-dzari’ah (prinsip pengambilan langkah preventif terhadap segala hal yang dapat.membahayakan pancamaslahat). Wallahu a’lam. []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta