BANYAK di antara umat Islam yang karena ketidaktahuannya menjadikan Al-Quran sebagai bahan olok-olok dan bahkan mengejeknya. Lantas setelah ia mengetahui hukumnya ia kemudian bertaubat atas segala khilafnya terhadap Al-Quran. Yang menjadi pertanyaan adalah, diterimakan taubat seseorang yang telah menghina Al-Quran?
Para ulama sudah berijma’ bahwa pada dasarnya selama manusia masih hidup di dunia ini, pintu taubat masih terbuka lebar. Apa pun jenis dan bentuk dosanya, bahkan termasuk dosa yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah (syirik) sekalipun.
Yang penting taubat itu dilakukan sesuai ketentuannya, di antaranya datang dari lubuk hati yang paling dalam, serius bertaubat, ada rasa sesal selamanya, dan punya tekad kuat untuk tidak akan pernah kembali lagi dalam keadaan yang bagaimana pun.
Barangkali kita heran, kalau semua dosa ada pintu taubatnya, lalu bagaimana dengan ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan tentang orang-orang yang tidak diterima taubatnya? Bukankah banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkan hal itu?
Salah satunya adalah lafadz yang terdapat pada ayat yang antum sebutkan di atas :
Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertobat. (QS. Al-Jatsiyah : 35)
Kalau kita membaca sekilas terjemahan versi Bahasa Indonesia, lafadz ayat Quran yang aslinya ‘wa la hum yusta’tabun’ itu diterjemahkan secara harfiyah menjadi: ‘mereka tidak diberi kesempatan untuk bertaubat’.
Memang wajar saja kalau kita hanya semata mengandalkan terjemahan harfiyah ini lalu menarik kesimpulan bahwa hukuman bagi orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olok adalah tidak diterimanya taubat. Sehingga muncul kesimpulan yang sederhana, sekali melakukan olo-olok, maka selamanya dosanya tidak akan diampuni.
Namun apa benar cara menarik kesimpulan macam itu? Benarkah ada dosa yang tidak bisa diampuni di dunia ini? Ibaratnya kita ini menganggap bahwa Allah SWT itu Tuhan yang kaku dan pendendam, sebab sekali saja melakukan kesalahan itu, maka Allah SWT jadi tersinggung dan tidak mau mengampuni.
Untuk itu mari kita buka beberapa kitab tafsir muktamad yang memang selama ini menjadi rujukan resmi para ulama dalam memahami Al-Quran.
1. Tafsir Ibnu Katsir
Terkait dengan makna wa la hum yusta’tabun, di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan sebagai berikut :
Tidak dituntun dari mereka pertaubatan tetapi mereka diadzab tanpa hisab dan tanpa taubat. Hal itu sebagaimana ada sebagian mukiminin yang masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab.
2. Tafsir At-Thabari
Dalam Tafsir Ath-Thabari disebutkan bahwa maksud dari ayat itu adalah:
Mereka tidak dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan mengembalikan taubat dari apa yang mereka dihukum.
3. Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran
Demikian juga kalau kita buka Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran, maka kita akan temukan penjelasan sebagai berikut:
Mereka tidak dibebankan untuk mendapatkan ridha dari Tuhan mereka, karena akhirat itu bukan alam taklif. Dan mereka tidak dibiarkan untuk kembali ke dunia kemudian bertaubat.
Kesimpulan
Kalau kita perhatikan baik-baik ayat itu berikut tafsir dari para ulama di atas, kesimpulannya adalah bahwa ketika mereka sudah meninggal dunia dan memasuki alam akhirat, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat.
Dan hal ini memang sesuai dengan aqidah ahlusunnah wal jamaah, bahwa taubat sudah tidak lagi berguna ketika seseorang sudah meninggal dunia. Sedangkan ketika masih hidup lalu bertaubat dengan niat yang tulus, tentu masih ada kesempatan bertaubat.
Di dalam sabdanya, Rasulullah SAW menegaskan:
“Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hambaNya selama belum tercabut nyawanya.” (HR. At-Tirmidzi). []
Sumber: rumahfiqih.com