TANYA:
Allah telah memberi taufik kepada saya untuk bertaubat pada tahun ini. Hari ini saya mendengar bahwa onani itu termasuk perkara yang membatalkan, dahulunya saya tidak mengetahuinya. Padahal pada Ramadan sebelumnya saya melakukan perbuatan tersebut. Saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan? Perlu diketahui bahwa saya tidak mengetahui jumlah hari saya melakukan perbuatan tersebut. Mohon penjelasannya.
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan anda nikmat taubat. Kami memohon kepada Allah semoga taubat anda diterima, dosa anda diampuni dan anda selalu mendapatkan petunjuk.
BACA JUGA: Onani, Hanya Membuat Anda Ingin Melakukannya Lagi dan Lagi
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan suatu perkara yang membatalkan karena tidak tahu hukumnya, apakah puasanya batal atau tidak? Ada dua pendapat;
Pertama, hal tersebut membatalkannya. Ini merupakan mazhab Syafii dan Ahmad. Hanya saja Imam Syafii mengecualikan bahwa apabila orang tersebut baru masuk Islam atau hidup diperkampungan yang jauh dari ulama, maka ketika itu puasanya tidak batal.
Imam An-Nawawi berkata dalam kita Al-Majmu, 6/352
“Jika orang yang berpuasa, makan dan minum atau berjimak karena tidak tahu hukumnya, maka jika dia baru masuk Islam atau tumbuh di dusun yang jauh sehingga dia tidak tahu bahwa perkara tersebut membatalkan, maka puasanya tidak batal. Karena dia tidak berdosa, dan diserupakan seperti orang lupa yang memang dinyatakan dalam nash (tidak batal puasanya) Namun jika dia bergaul di tengah kaum muslimin, dimana perkara seperti itu tidak tersembunyi, maka orang seperti itu batal puasanya.”
Lihat Al-Mughni, 4/368 dan Al-Kafi, 2/244.
Pendapat ini dipilih oleh Ulama Lajnah Daimah. Mereka ditanya tentang orang yang onani di siang hari bulan Ramadan sedangkan dia tidak tahu bahwa hal itu diharamkan, serta tidak tahu pula jumlah hari dia melakukan perbuatan haram tersebut.
Maka mereka menjawab, “Dia diwajibkan mengqadha hari-hari dia berbuka akibat perbuatan onani tersebut, karena perbuatan tersebut merusak puasa. Bersungguh-sungguhlah mengetahui jumlah hari yang dirinya batal berpuasa.”
Fatawa Lajnah Daimah, 10/258
Pendapat Kedua: Tidak membatalkan puasa sebagaimana orang yang lupa tidak batal puasanya.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Ibnu Qayim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Kitab ‘Fatawa Al-Kubra’, 2/19, “Seorang yang berpuasa, jika dia melakukan sesuatu karena tidak tahu perbuatan tersebut diharamkan, apakah dia diharuskan mengulanginya?” Ada dua pendapat dalam mazhab Ahmad. Yang paling kuat adalah tidak diwajibkan baginya mengqadha satu haripun. Sebab sebuah seruan tidak berlaku kecuali setelah ada informasi kepadanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ (سورة الأنعام: 19)
“Supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” SQ. Al-An’am: 19
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا (سورة الإسراء: 15)
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” SQ.: Al-Isro’: 15
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ (سورة النساء: 165)
“Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” SQ. An-Nisa’: 165.
Ayat-ayat seperti ini di Al-Quran banyak. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Allah tidak akan menghukumi seorang pun sebelum sampai kepadanya ajaran yang dibawa Rasulullah. Siapa yang telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad Rasulullah, lalu dia beriman dengannya namun dia tidak tahu banyak atas ajaran yang disampaikan, maka Allah tidak akan mengazabnya terhadap suatu perkara yang beritanya tidak sampai kepadanya. Karena, jika seseorang tidak diazab apabila meninggalkan iman kecuali setelah ada ajaran yang disampaikan, maka lebih utama lagi untuk tidak diazab Allah apabila dia meninggalkan sebagian syarat-syaratnya. Ini merupakan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, contoh seperti itu cukup banyak. Terdapat dalam riwayat-riwayat shahih bahwa sejumlah shahabat mengira bahwa firman Allah Ta’ala,
الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ (سورة البقرة: 187)
Adalah tali putih dari tali hitam. Maka ada salah seorang ada mengikat kakinya dengan tali. Dia terus makan hingga yang satu jelas dari yang lain. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah putih siang dan hitam malam. Dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk mengulangi puasanya.
Ibnu Qayim berkata dalam kitab ‘I’lamul Muwaqqi’in’, 4/66,
“Beliau (Nabi shallallahu alaihi wa sallam) telah memaafkan siapa yang makan dan minum dengan sengaja ketika mereka keliru memahami (الخيط الأبيض) dan tali hitam (الخيط الأسود) dengan dua tali yang dikenal. Maka dia terus makan hingga jelas baginya ketika hari sudah terang. Beliau memaafkan perbuatan tersebut dan tidak memerintahkannya untuk mengqadha. Karena pemahaman mereka (yang keliru).”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ta’ala ditanya tentang seorang pemuda yang melakukan onani di bulan Ramadan karena dia tidak tahu bahwa hal tersebut membatalkan puasa dan itu dilakukan ketika syahwatnya tak terkendali. Apa hukumnya?
Beliau menjawab:
Hukumnya adalah bahwa tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Karena kami telah tetapkan sebelumnya bahwa orang yang berpuasa tidak batal puasanya kecuali dengan tiga syarat; Mengetahui, sadar dan berkehendak.
Perhatikan soal no. 28023
Akan tetapi saya ingin katakan, seseorang wajib bersabar untuk tidak melakukan onani, karena itu perbuatan yang diharamkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنْ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْعَادُونَ (سورة المؤمنون: 5-7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” SQ. Al-Mukminun: 5-7.
Juga karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخاري، رقم 5065 ومسلم، رقم (1400.
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampua diantara kalian bersetubuh. Maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena hal itu sebagai tameng.” HR. Bukhori, no. 5065 dan Muslim, no.1400.
Seandainya onani dibolehkan, niscaya Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan menunjukkan cara ini, sebab cara ini lebih mudah bagi seorang mukallaf, dan seseorang mendapatkan kenikmatan darinya. Berbeda dengan puasa, di dalamnya terdapat kesulitan. Maka ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beralih kepada puasa, menunjukkan bahwa onani tidak diperbolehkan.
BACA JUGA: Onani Tidak Keluar Mani, Bagaimana Hukum Puasa Saya?
(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 19/981)
Untul lebih hati-hati, jika anda mengqadha hari-hari itu dan bersungguh-sungguhlah menetapkah hari-harinya berdasarkan dugaan anda yang lebih kuat.
Syekh Ibnu Baz berkata dalam “Majmu Fatawa, 15/304,
“Adapun orang yang berjimak di siang Ramadan sedangkan dia termasuk orang yang wajib melakukan puasa, karena dia sudah baligh, sehat dan menetap, namun dia tidak tahu hukumnya, para ulama berbeda pendapat tentang statusnya. Sebagian berkata, dia harus membayar kafarat, karena dia lalai untuk bertanya dalam memahami agama. Sebagian lainnya berpendapat bahwa dia tidak terkena kafarat, karena ketidaktahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa yang lebih berhati-hati adalah membayar kafarat karena dia telah lalai tidak bertanya tentang perkara-perkara yang diharamkan sebelum melakukan apa yang telah dilakukan.”
Maka dia harus membayar kafarat sebagai kehati-hatian. Kewajiban kafarat di sini karena dia batal puasanya akibat jimak. Sedangkan kafarat tidak diwajibkan kecuali pada sesuatu yang membatalkan puasa selain berjimak di siang hari Ramadan, sebagaiman telah disebutkan dalam jawaban soal no. 28023. []
SUMBER: ISLAMQA