A. Pengantar Tentang Manhaj Salaf
Belakangan ini kembali marak pembicaraan tentang “pernikahan beda manhaj”, baik yang pro maupun kontra. Sebelum membahas tentang hukum pernikahannya, kita perlu pahami apa yang dimaksud dengan “manhaj” itu sendiri. Kata “manhaj” sering digunakan rekan-rekan Salafiyyin, dan yang mereka maksud adalah “manhaj salaf”, dengan pengertian sebagaimana disebutkan dalam fatwa Islamweb.net nomor 5484, dengan judul fatwa “Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi”, berikut ini:
فإنه يقصد بالمنهج السلفي المنهج القائم على اتباع سبيل المؤمنين من السلف الصالح، وهم أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين…
Terjemah: “Yang dimaksud dengan manhaj salaf adalah manhaj (jalan/metode) yang berdiri di atas landasan mengikuti jalan orang-orang beriman dari kalangan salafush shalih, yaitu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari akhir…”
Istilah manhaj salaf, dengan pengertian di atas, sama dengan istilah “ahlus sunnah wal jama’ah”. Konsekuensinya, yang menyelisihi manhaj ini adalah kelompok ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
BACA JUGA: Beda Manhaj
Tentang kewajiban mengikuti jalan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, tentu bukan hal yang diperselisihkan. Dalam “Manzhumah Jauharah At-Tauhid”, karya Ibrahim Al-Laqqani, yang merupakan kitab aqidah madzhab Asy’ariyyah, disebutkan:
فكل خير في اتباع من سلف
وكل شر في ابتداع من خلف
Terjemah: “Setiap kebaikan itu dalam mengikuti generasi terdahulu (salaf). Dan setiap keburukan itu dalam bid’ah yang dibuat-buat generasi belakangan (khalaf).”
Artinya, setiap kita (kecuali yang benar-benar tersesat sejauh-jauhnya) sebenarnya berkeyakinan wajibnya mengikuti As-Sunnah dan mengikuti jalannya para shahabat, itulah Ahlus Sunnah wal Jamaah, itulah ittiba’ as-salaf (mengikuti generasi salaf), itulah manhaj salaf.
Karena itu, saya merasa aneh ketika rekan-rekan mengakui bahwa manhaj mereka berbeda, bahwa manhaj mereka itu IM, JT, HT, dan lain-lain. Seakan-akan mereka mengaku bahwa mereka itu telah keluar dari jalan salafunash shalih, bahwa mereka sesat dan menyesatkan. Tentu bukan itu maksud mereka. Itu hanya kesalahpahaman mereka memahami makna “manhaj”. Mereka pikir “manhaj” itu sama dengan madzhab, kelompok, atau afiliasi, sehingga perbedaan manhaj itu hal yang biasa dan bisa ditoleransi. Padahal tidak. Asalnya, manhaj kita satu, jalan yang kita pilih satu, yaitu jalan yang dilalui oleh Nabi dan para Shahabat, “Ma Ana ‘Alaihi Wa Ashhabi”.
Adapun perbedaan pandangan, pemahaman, dan amal pada sebagian perkara, itu tidak otomatis mengeluarkan seseorang dari jalan ini. Perbedaan soal jenggot, cingkrang, qunut, dzikir berjamaah, peringatan maulid Nabi, baca Yasin saat ada yang meninggal, bekerja di bank syariah, mengoreksi penguasa secara terbuka, demonstrasi, dan semisalnya, adalah perkara yang mukhtalaf fiih, yang seandainya pendapat itu dipilih dengan hujjah yang diterima dalam fiqih Islam, tentu hal itu ditoleransi, dan jelas tidak mengeluarkan seseorang dari jalan keselamatan.
B. Hukum Pernikahan Beda Manhaj
Kita beranjak ke tema utama. Apa hukumnya pernikahan beda manhaj? Jika “beda manhaj” yang dimaksud diterima sebagai perbedaan antara ahlus sunnah dan ahli bid’ah, maka kebid’ahan itu menurut para ulama terbagi menjadi dua, (1) Kebid’ahan yang menyebabkan pelakunya kafir, keluar dari Islam, dan (2) Kebid’ahan yang hanya menyebabkan pelakunya fasiq, tidak keluar dari agama Islam. Pada poin 1, jelas ini terkait hukum menikah dengan orang murtad, dan itu singkatnya, haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah. Pembicaraan kita fokus pada poin 2.
Di kitab “Kanz Ar-Raghibin Syarh Minhaj Ath-Thalibin”, karya Al-Mahalli, disebutkan:
والمبتدع ليس كفؤا للسنية
Terjemah: “Dan laki-laki ahli bid’ah tidak sekufu (tidak kafaah) dengan perempuan ahlus sunnah.”
Persoalan “kafaah” atau sekufu (kesetaraan keadaan suami dan istri), memang bukan soal sah tidaknya akad nikah yang berlangsung. Namun ia terkait dengan kelanggengan pernikahan dan keharmonisan hubungan suami istri. Dan jika wali mujbir (ayah dan kakek), menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak sekufu tanpa seizin si perempuan, maka si perempuan boleh membatalkan pernikahan tersebut. Dan kafaah dalam agama, jelas lebih penting dibandingkan kafaah dalam nasab, pekerjaan, dan lainnya.
Tapi perlu dicatat, ini bahasan soal pernikahan antara ahlus sunnah dan yang jelas-jelas ahli bid’ah. Lalu bagaimana kalau persoalannya adalah pada persoalan yang mukhtalaf fiih (diperselisihkan oleh ulama)? Pihak mana yang lebih layak disebut sebagai ahli bid’ah?
Sebenarnya, jika bahasannya tentang seorang perempuan memberikan berbagai kriteria untuk calon suaminya, itu boleh-boleh saja. Misal calon suaminya harus jamaah radio tertentu, dari suku tertentu, dengan tinggi badan tertentu, berkulit putih, pandai masak, gaji per bulan minimal 10 juta, dan lain-lain, itu sah-sah saja. Dan laki-laki tak perlu protes. Kalau ia tak sesuai kriteria, lamar saja perempuan lain. Selesai urusan. Tapi kriteria-kriteria semacam ini adalah hak si perempuan, dan pada batas tertentu, juga hak walinya. Sedangkan selainnya, seperti teman sepengajian, seormas, seharakah, atau ustadznya, murabbinya, dan lainnya, tidak punya hak untuk ikut menentukan. Sekadar memberi saran, bisa saja, lebih dari itu, tidak.
Jadi, jika “pernikahan beda manhaj” yang dimaksud adalah pernikahan ahlus sunnah dengan ahli bid’ah dengan kebid’ahan yang buruk dan disepakati para ulama bahwa itu memang bid’ah munkarah (yang mungkar) dalam agama, maka menghindarinya jelas jauh lebih selamat bagi agama. Namun jika yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan yang masih diperselisihkan ulama, atau hanya karena beda ustadz dan syaikh rujukan, beda jamaah pengajian, beda ormas, dan semisalnya, tentu keadaannya jauh lebih ringan. Membuatnya seakan seperti perbedaan agama, jelas sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan layak dibuang jauh-jauh dari pikiran kita. Meski, jika ada perempuan yang menjadikan hal-hal tersebut sebagai kriteria, juga sah-sah saja, dan tak perlu diprotes keras.
Ini pada kondisi memilih calon. Sebelum menikah. Adapun jika sudah menikah sekian tahun, kemudian salah satu pasangan ikut pengajian tertentu, yang beda afiliasi dengan pasangannya, lalu bagaimana? Ada yang ghuluw, sampai berpikir, berniat, bahkan sudah beraksi melakukan perceraian. Ini jelas melampaui batas, karena beda afiliasi pengajian tidak membuat batal pernikahan, kecuali jika anda menganggap beda pengajian itu sama dengan beda agama, dan menganggap pasangan anda telah murtad. Wal ‘iyadzu billah.
BACA JUGA: Umar bin Abdul Aziz, Khulafaur Rasyidin Kelima
Selama hubungan rumah tangga tetap harmonis, kedua pasangan masih bisa menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing, dan itu sangat mungkin, maka beda afiliasi pengajian, harusnya tak perlu terlalu didramatisir. Jika salah satu pasangan melihat pendapat atau pandangan afiliasi yang diikuti pasangannya keliru, itu bisa didiskusikan dengan baik, tanpa harus membawa kata cerai, yang itu merupakan perkara yang sangat berat, dan “perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ta’ala”.
C. Catatan Penting
Kita harus menghindari sikap ghuluw, yang menganggap setiap yang berbeda afiliasi pengajian sebagai orang-orang yang pasti sesat dan menyimpang, berbeda manhaj dan thariqah, sehingga harus dijauhi dan kebenaran tak mungkin ada pada mereka.
Dengan sedikitnya ilmu pada kebanyakan kita, sekaligus minimnya sikap inshaf (adil dan proporsional) pada kita, maka memastikan kebenaran mutlak ada pada afiliasi pengajian yang kita ikuti, dan memastikan selainnya menyimpang, jauh dari kebenaran, pengikut bid’ah dan hawa nafsu, dikhawatirkan termasuk sikap arogan dan sombong, dan akan menjauhkan kita dari kebenaran yang hakiki.
Silakan ikuti dan amalkan pandangan afiliasi yang diikuti saat ini, namun sisakan ruang untuk terus belajar dan mencari kebenaran, tentu dengan terus memohon bimbingan dan taufiq dari Allah ta’ala, agar saat kebenaran itu datang pada kita, kita tak menolaknya dengan kesombongan kita.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara