Oleh: Ir. Farida Umu Alifia
Pemerhati Pendidikan Anak dan Politik Islam tinggal di Tangerang Selatan
KONSENSUS global perlunya penghapusan perkawinan dini, kawin paksa, dan perkawinan usia anak semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan target khusus dalam tujuan Pembangunan Berkelanjutan pasca 2015 untuk menghapus perkawinan usia anak didukung oleh 116 negara anggota, termasuk Indonesia.
Pada tahun 2014, berbagai koalisi lembaga sosial dan masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak mengajukan permohonan pengujian ketentuan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Meskipun demikian, permohonan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Menurut majelis hakim batas usia minimal perkawinan dapat diubah oleh lembaga legislatif sesuai dengan perkembangan zaman. Pembatasan usia perkawinan pada asasnya tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.
Berdasarkan data statistik dan kajian yang pernah dilakukan, pernikahan dini masih menjadi persoalan sosial di Indonesia. Data BAPPENAS menunjukkan 34.5% anak Indonesia menikah dini. Data ini dikuatkan dengan penelitian PLAN International yang menunjukkan 33,5% anak usia 13 – 18 tahun menikah pada usia 15-16 tahun. Pernikahan dini menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara biologis maupun psikologis.
Dalam pertemuan Tinjauan Akhir Tahun (Annual Review) Tahun 2016 yang diselenggrakan oleh Bappenas bekerja sama dengan UNICEF atau Country Programme Action Plan (CPAP) 2016-2020. Kontribusi kerjasama RI-UNICEF selama tahun 2016 antara lain, kajian perkawinan usia anak dalam mendukung pencapaian target pembangunan nasional dalam sasaran RPJMN 2015-2019 khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan dan keadilan anak serta pencapaian tujuan Pembangunan Millenium atau MDGs yang saat ini dilanjutkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Kerjasama Pemerintah Indonesia dan UNICEF untuk menunjukkan pentingnya masalah perkawinan usia anak di Indonesia dan memberikan rekomendasi kunci untuk reformasi kebijakan dan investasi program oleh para pengambil keputusan bahwa kemitraan merupakan salah satu strategi kunci dari CPAP 2016-2020.
Adanya upaya menghapus perkawinan usia anak merupakan respon terhadap semakin banyaknya bukti yang menunjukkan besarnya skala dan cakupan permasalahan tersebut. Di Indonesia, prevalensi perkawinan usia anak telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir tetapi masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Bahwa diantara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 25 persen menikah sebelum usia 18 tahun menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012. Ini berarti lebih dari seperenam anak perempuan menikah sebelum mencapai usia dewasa atau sekitar 340.000 anak perempuan setiap tahunnya. Prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia tidak hanya tetap tinggi tetapi prevalensi tersebut juga telah kembali meningkat. Anak-anak perempuan yang menikah muda menghadapi akibat buruk dari sisi sosial dan ekonomi. Laporan ini menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara perkawinan usia anak dengan pendidikan dan kemiskinan di Indonesia. Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun (pengantin anak) memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan yang belum menikah, khususnya setelah sekolah dasar (SD). Perkawinan usia anak sangat terkait dengan kemiskinan, tetapi prevalensi perkawinan usia anak yang tinggi terdapat pada provinsi dengan tingkat kemiskinan yang relatif rendah. Kemiskinan seringkali dijadikan alasan dibalik perkawinan usia anak.
Batas Usia Anak dalam Hukum dan Nilai Budaya di Indonesia
Berbagai undang-undang mengatur batas usia anak secara berbeda-beda. Perbedaan batasan yang diberikan berkaitan erat dengan pokok persoalan yang diatur. Pembatasan usia anak-anak merupakan cara negara melindungi warganya yang belum mampu mengemukakan pendapat dengan benar dan belum menyadari konsekuensi dari perbuatannya.
Pernikahan dini berdampak pada tercerabutnya hak anak-anak karena ia dipaksa memasuki dunia dewasa secara instan. Perkawinan usia dini di Indonesia dilatar belakangi oleh banyak faktor, seperti rendahnya tingkat ekonomi keluarga, rendahnya pendidikan, dan kehamilan di luar nikah. Nilai budaya dan agama yang berkembang juga menjadi faktor pendorong terjadinya pernikahan dini. Misalnya, perempuan yang sudah menikah, meskipun masih anak-anak, lebih dihargai daripada perempuan yang belum menikah. Dampak negatif seperti perceraian dan status janda bukan menjadi persoalan.
BACA JUGA: Agar Anak Tak Hamil di Luar Nikah, Orangtua, Lakukanlah Ini
Pemahaman terhadap doktrin agama secara tekstual menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya perkawinan di bawah umur. Sering kali para orang tua khawatir terhadap anak-anak yang telah memasuki usia bâligh, jika tidak segera dinikahkan akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama. Secara yuridis, pengaturan yang berbeda dalam berbagai undang-undang tentang batas usia seseorang disebut sebagai anak-anak juga menambah polemik pernikahan dini di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah individu dengan usia dibawah 18 tahun dan orang tua wajib untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Sementera itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 30-74/PUU-XII/2014 2, batas usia perkawinan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada sinkronisasi tentang batas usia. Berdasarkan berbagai persoalan di atas, artikel ini bertujuan untuk melacak akar epistimologis perkawinan dini serta menguatkan argumentasi pentingnya pembaharuan hukum keluarga Islam, khususnya terkait menaikkan batas minimal usia perkawinan. Namun sayangnya, perempuan yang melakukan perkawinan usia anak sebagian besar tetap hidup dalam kemiskinan. Dampak buruk ini juga akan dialami oleh anak-anak mereka dan dapat berlanjut pada generasi yang akan datang.
Pernikahan Dini dalam Pandangan Hukum Islam
Pernikahan merupakan salah satu sunah dan syariat Nabi Muhammad Saw. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah. Nikah sangat dianjurkan bagi mereka yang menginginkan, siap lahir batin, dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Karena, pelaksanaan nikah tidak hanya sebatas pada hasrat atau keinginan seksual, melainkan harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami-istri. Berkaitan dengan batas usia pernikahan, Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikahan. Seseorang wali dapat menikahkan anaknya sebelum atau setelah mencapai usia baligh. Kriteria baligh menurut ulama’. As-Syafi’I, baligh bagi laki-laki ketika sudah mencapai umur 15 tahun dan/atau sudah mimpi basah sementara bagi perempuan ketika sudah berumur 9 tahun atau sudah mengalami menstruasi.
Sejumlah alasan bagi ulama membolehkan adanya pernikahan usia dini
Pertama, dalil dari al-Qur’an maupun hadits, yang memperbolehkan pernikahan dini mendasarkan pada al-Qur’an, Hadits dan Ijma’.
Dalam Q.S at-Thalaq [65]: Ayat di atas berbicara masalah iddah bagi perempuan yang sudah monopause dan perempuan yang belum haid. Secara tidak langsung ayat di atas memberikan indikasi bahwa perkawinan dapat dilakukan pada usia belia, karena iddah hanya dapat diberlakukan kepada perempuan yang telah kawin kemudian bercerai. Dan yang menjadi ukuran melakukan hubungan biologis adalah kesempurnaan postur tubuhnya (iktimal binyatiha), dan hadits yang menyinggung perkawinan Aisyah ra. dengan Rasulullah Saw. Menguatkan hal itu, juga adanya kesepakatan para ulama dengan syarat yang menjadi walinya adalah ayahnya sendiri, atau kakek dari pihak ayah.
Kedua, alasan moral.
Pernikahan dini dapat meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan remaja. Dengan pernikahan dini, perilaku seks bebas dan kehamilan di luar perkawinan dapat dikurangai.
Ketiga, alasan kesehatan.
Kanker payudara dan kanker rahim sedikit terjadi pada perempuan-perempuan yang sudah mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda. Selain itu, resiko gangguan kehamilan, kematian janin relatif lebih besar jika usia ibu bertambah.
Keempat, alasan ideologis.
Bahwa perkawinan anak usia dini dapat meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan populasi yang lebih besar dari umat lainnya. Penolakan terhadap pernikahan dini sebenarnya untuk mengurangi jumlah umat muslim. Di samping itu, penolakan pernikahan dini digunakan untuk menanamkan keraguan di hati umat Islam akan sunnah Rasulullah Saw, sebagai pribadi yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Kebolehan melakukan perkawinan usia dini yang didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud ra., bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, wahai para pemuda barang siapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya dia menikah, karena bisa menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa sebab puasa itu dapat meredam syahwatnya. (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Orang-orang yang sudah baligh dan belum mencapai usia 30 tahun. Bagi mereka yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, tetapi belum memiliki modal atau penghasilan, Allah SWT. telah berjanji akan memberi kecukupan orang-orang yang menikah dan berumah tangga sebagaimana firman-Nya dalam QS. an-Nur [24]: 32. Syaikh Abdul Aziz Ali, pernah mengatakan jika seorang perempuan sudah berusia 10 atau 12 tahun, ia boleh dikawinkan. Orang yang menganggapnya masih kecil, maka orang itu telah keliru dan zalim terhadap perempuan tersebut.
Praktek perkawinan anak di bawah umur dianggap sebagai problem, bahkan kejahatan. UU Perlindungan Anak (UU No 23/2002) yang salah satu pasalnya melarang pernikahan anak di bawah umur sesuai definisi anak yang diadopsi oleh UU, yakni seseorang yang masih di bawah usia 18 tahun. Dalam pasal 26 UU tersebut orang tua diwajibkan untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak sampai usia 18 tahun.
Alasan yang dijadikan dasar penolakan pemerintah yang didukung kalangan gender atas praktik pernikahan dini atau perkawinan anak, selain soal psikis dan biologis yang dianggap belum matang hingga pernikahannya bisa rentan terhadap masalah termasuk perceraian. Perkawinan anak atau pernikahan dini juga dianggap telah mencederai hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta untuk mendapat perlindungan. Padahal menurut pemerintah, hak anak ini harus dijaga agar kelak dihasilkan generasi penerus bangsa yang GENIUS (Gesit Empati beraNI Unggul Sehat) dan Generasi Berencana untuk Indonesia Emas.
Penolakan juga dari peneliti gender dan Islam – Lies Marcoes-Natsir – menyoroti adanya dualisme aturan hukum yang menurutnya “mengerikan. “Dalam konteks Indonesia yang makin konservatif, yang mengerikan adalah adanya dualisme hukum ini, yang menunjukkan ketidaktegasan negara untuk keluar dari hukum agama,” menyikapi pertentangan antara UU-PA dengan UU-P, di mana UU-P nomor 1/1974 masih mengizinkan pernikahan anak perempuan dengan usia 16 tahun dan adanya dispensasi pernikahan anak dari pengadilan. Ia merasa masih ada nafas agama dalam UU tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan jika semua pihak serius mengakhiri perkawinan anak, maka harus siap melakukan perubahan kultur, struktur dan sistem. Ini artinya pemahaman masyarakat berdasar agama harus menyesuaikan dengan hukum.
Begitu juga dengan pengamat hukum dari UII, Eko Riyadi, mengatakan meski pernikahan tersebut akan sah secara agama jika syarat terpenuhi, ia berpendapat keabsahan pernikahan itu masih bisa diperdebatkan dari perspektif hukum. Berdasarkan asas hukum perdata, perjanjian – termasuk pernikahan – setidaknya memenuhi tiga unsur. Pertama, para pihak sepakat melakukan perjanjian. Misalnya, pernikahan. Kedua, para pihak sudah cakap hukum. Artinya, orang itu mampu melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum. “Nah, anak-anak itu tidak cakap hukum. Anak bisa dianggap cakap hukum setelah usianya 18 tahun. Jadi, syarat yang kedua sebenarnya terlanggar karena dia tidak cakap hukum.” Ketiga, kausa yang halal. Kausa halal itu terkait dengan apakah objek yang dijanjikan itu halal, sah, atau tidak. Keabsahan objek pun ada dua. Pertama, objek itu sendiri harus halal. Misalnya, barang yang diperjualbelikan bukanlah hasil curian. Kedua, objek perjanjian tidak melanggar UU.
BACA JUGA: Sekarang Engkau Sudah Bisa Melihat, Maukah Menikah denganku?
“Perkawinan anak ini kausanya tidak halal karena dia melanggar UU. Jadi, secara hukumpun saya mengatakan patut diduga tidak sah, karena dua syarat dari tiga itu tidak terpenuhi.” Nampak bahwa ada upaya menundukkan hukum agama terhadap hukum akal buatan manusia.
Adanya pandangan yang berbeda pemerintah dengan hukum Islam yang membolehkan pernikahan anak usia ini sesuai ayat Alquran (Ath –Thalaq:4, An-Nisa:3, 127), As-Sunnah, Ijma’. Sebagai wujud penerapan sekulerisme, memisahkan aturan islam dalam kehidupan sosial dan budaya dengan mengedepankan rujukan sekuler dari konvensi hak anak, HAM, KHI, UU-P nomor 1/1974, revisi UU-PA np. 35/2014 dan sebagainya. Beranggapan hukum islam tidak mampu menyelesaikan permasalahan manusia, bahkan dianggap sebagai sumber masalah. Karena pernikahan anak yang dibolehkan dalm islam akan menimbulkan KDRT, kanker serviks, perampasan hak pendidikan, hak bermain dan lain sebagainya.
Mereka yang lantang bersuara menolak pernikahan anak adalah mereka yang juga lantang mempersoalkan hukum-hukum Islam lainnya, seperti bolehnya poligami, sunat anak perempuan, hak waris perempuan setengah dari laki-laki, dan lain-lain yang dalam perspektif mereka, hukum ini tidak adil bagi perempuan. Inilah kesalah kaprahan yang fatal. Seharusnya akar masalah sesungguhnya adalah diterapkannya aturan sekuler buatan manusia yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan hidup manusia. Justru hukum islam yang bersumber dari Allah SWT yang sangat mengetahui permasalahan setiap mahluk ciptanNya sehingga mampu mnyelesaikan semua problema manusia. Allahu a’lam bishshawab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.