PADA tahun ketujuh Hijrah, bersamaan dengan berakhirnya perdamaian Hudaibiyah, Rasulullah bertolak ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah yang sebelumnya tertunda karena perjanjian Hudaibiyah. Sesuai kesepakatan kedua belah pihak, beliau diizinkan tinggal di sana selama tiga hari.
Dalam umrahnya itu Nabi mengutus Ja`far ibn Abi Thalib untuk melamar Barrah bins al-Harits. Saat itu juga, saat beliau masih dengan pakaian ihram, langsung akad nikah dan mengganti nama Barrah dengan Maimunah yang bermakna impian atau harapan. Seraya berharap Makkah segera dapat beliau taklukkan.
BACA JUGA: Mereka Lebih Takut pada Umar daripada Rasulullah
Tiga hari berlalu. Orang-orang Quraisy bergegas menyuruh Nabi keluar. Suhail ibn Umar bersama sekelompok orang Makkah menemui beliau. Mereka berkata, “Muhammad, segeralah tinggalkan tempat ini. Waktumu telah habis hari ini.”
Nabi sendiri sebenarnya tak bermaksud mengingkari perjanjian atau enggan keluar. Beliau hanya meminta, “Biarkan malam ini aku tinggal dengan istriku, dan kubuatkan makanan untuk kalian!”
Tindakan beliau ini sebenarnya ingin mengetuk hati mereka. Beliau berharap pintu hidayah terbuka untuk mereka. Tetapi, mereka menolak, bahkan dengan angkuh berkata, “Kami tidak butuh makananmu.”
Akhirnya Nabi keluar dari Makkah diikuti segenap kaum muslim. Setelah melewati daerah tapal Batas, beliau dan rombongan berhenti. Maimunah menyusul, dan di tempat itulah beliau menghabiskan malam pertama bersamanya. Maimunah dibawa ke Madinah untuk dikumpulkan dengan istri-istri Nabi yang lain.
Maimunah adalah istri beliau yang terakhir, tak ada lagi wanita yang beliau kawini sesudah itu.
Tak pernah terdengar Maimunah turut bersaing dengan madu-madunya memperebutkan Nabi. Ia lebih menyibukkan diri dalam ibadah, tenggelam dalam zikir kepada Allah. Di rumahnya ia mengasuh seorang yatim, Ubaidillah al-Khaulani.
BACA JUGA: Ini Adab Tidur Lengkap yang Diajarkan Rasulullah
Tetapi disebutkan dalam satu riwayat bahwa suatu malam ia ditinggalkan Nabi di kamarnya. Maimunah lalu menutup pintu. Ketika beliau datang dan minta pintu dibuka, ia menolak. Sampai, Baru setelah beliau bersumpah’ agar ia membuka pintu, ia lalu mau membuka pintu. “Kau pergi ke istrimu pada malam bagianku?” ucap Maimunah.
“Itu takkan pernah kulakukan,” ucap Nabi.
Rasulullah tidak marah dan tidak jengkel atas sikap Maimunah tersebut. Beliau Tidak meninggalkannya, menalaknya, mengancamnya, atau pun membentaknya. Sebaliknya, beliau merasa iba atas usianya yang sudah lanjut dan kecemburuannya yang tak berdasar itu. Diajaknya ia bicara oleh Nabi dengan pikiran dingin dan perasaan tenang. Beliau tahu apa yang ia lakukan itu tak lain adalah bukti kedalaman cintanya kepada beliau. []
Sumber: Bilik-bilik Cinta Muhammad/ NizarAbazhah/ Zaman/ Jakarta, 2015