Oleh: Wildan Ainurrafiq Mulyana
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Sebelas Maret
walada.wil@gmail.com
SUDAH tidak terhitung berapa kali aku mengalami perpisahan. Tidak hanya diriku, sepertinya setiap insan di muka bumi ini pernah mengalami perpisahan. Entah perpisahan itu mengubah diri menjadi yang lebih baik ataupun mengubah diri semakin terpuruk. Karena perpisahan sedikit banyak akan mengubah perilaku, kebiasaan lebih-lebih karakter kita.
Misal Rasulullahullah SAW yang juga mengalami banyak perpisahan. Salah satunya saat berpisah dengan Mekkah tempat beliau lahir, tempat beliau tumbuh besar, membesarkan dakwahnya, membesarkan sahabatnya.
BACA JUGA: Perpisahan
Berat beliau meninggalkan Mekkah. Hingga memutuskan untuk berangkat belakangan ditemani Abu Bakar As-Shidiq sambil melanjarkan strategi hijrah. Apakah hijrah Rasulullah tanpa alasan? Apakah beliau sudah tidak tahan dengan cercaan makian dan tekanan dari kaum kafir Quraisy? Jawabannya banyak alasannya, banyak hal yang dipertimbangkan sehingga beliau dan sahabat-sahabatnya saat itu memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Tapi apa yang terjadi? Banyak hal yang sedikit banyak melakukan perubahan, bahkan bermetamorfosa. Layaknya dakwah Rasulullah yang berkembang pesat, senyum yang selalu terukir di wajah Rasulullah kian merona, para sahabat yang selalu was-was akan serangan kaum kafir Quraisy mulai terusir rasa was-was itu dari hatinya.
Sungguh luar biasa perubahan dari perpisahan yang terjadi. Meninggalkan kota tercinta dan menjemput banyak banyak keberkahan.
Dalam waktu yang sebelumnya, saat Rasulullah sedang gencar dalam menyampaikan dakwah, tiba suatu ketika yang biasa disebut tahun kesedihan. Di mana Rasulullah ditinggal oleh orang-orang tercintanya. Sedih, terpuruk walau dengan selalu membesarkan hati, berharap Allah SWT selalu menguatkan hatinya.
Sedikit banyak ada yang berubah. Tak ada lagi pangkuan Khadijah yang selalu menjadi bantal tidur Rasulullah ketika beliau selesai menjalankan tugasnya di hari itu. kurang dari 2 bulan(dalam suatu riwayat 1 bulan lebih 5 hari), ditinggallah Rasulullah dengan paman tercintanya, Abu Thalib. Tak ada lagi belaan dan dukungan yang mampu menjadi penahan kafir Quraisy untuk memojokkan Rasulullah.
Sedikit banyak ada yang berubah. Kebiasaan Rasulullah, dan bahkan semangat Rasulullah hampir saja pudar. Lalu untuk membesarkan hati Rasulullah, datanglah seuatu kejadian yang melegenda. Isra’ Mi’raj. Kejadian ketika Allah berusaha membesarkan hati beliau dengan mengajaknya “jalan-jalan” menuju langit ketujuh sekaligus mendapatkan perintah untuk sholat 5 waktu dalam sehari.
Begitulah salah satu contoh ketika sebuah pepisahan yang selama ini kita alami, sedikit banyak akan memberi perubahan pada diri kita. Namun bagaimana kita menanggapi perpisahan tersebut, memaknainya dan mengambil banyak-banyak hikmah yang mampu merubah diri kita menjadi lebuh baik.
Sungguh sangat disayangkan ketika perpisahan itu mengubah diri kita menjadi terpuruk, bahkan menyalahkan Allah SWT, mengapa memisahkan aku dan dia? Sungguh perpisahan adalah sunnatullah yang selalu akan terjadi kala kita bertemu dengan seseorang atau hal baru.
BACA JUGA: Perpisahan Sebuah Keniscayaan
Saat ini perpisahan akan mendatangi kita kembali. Selazimya kita tidak hanya membuat resolusi, target yang akan dicapai pada tahun Syamsiyah atau masehi. Targetan ibadah, kontribusi yang belum tercapai atau bahkan belum kita jalani bisa ditarhgetkan untuk direalisasikan di tahun selanjutnya.
Banyak-banyak hal yang mampu kita renungi dengan muhasabah serta doa. Merenungi manfaat yang mampu kita tebar di hari-hari yang lalu. Muhasabah dan mengingat kembali kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan di tahun lalu. Serta banyak-banyak doa agar menjadi insan yang lebih banyak menebar manfaat. Banyak-banyak doa agar Allah memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan kebaikan lebih banyak lagi, hingga diberikan kesempatan untuk bertemu Ramadhan kembali.
Akhir kata, semua yang dibebankan, semua yang tejadi pada diri kita akan kembali lagi kepada diri kita sendiri. Terkhusus bagaimana kita menghadapi sebuah perpisahan. Akankah kita menjadikannya sebuah batu loncatan agar menjadi insan yang lebih baik atau menjadi tekanan yang mendalam sehingga diri kita terpuruk dan tidak bisa move on. Karena semua tergantung pada diri kita sendiri. []