Oleh: Dwi Susilowati
Penulis adalah ibu rumah tangga yang tergabung dalam komunitas peduli umat, tinggal di Kutorejo,
Mojokerto, Jawa Timur
DULU, sejak jaman SD, kita sering mendapatkan semacam peribahasa yang banyak dihafal pada waktu itu. “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.” Peribahasa ini pulalah yang menjadi urat nadi hubungan sosial kemasyarakat di negeri kita Indonesia. Dulu. Iya, dulu. Kenapa dulu? karena dulu paham individualisme belum merebak seperti sekarang ini.
Sudah jamak kita jumpai di masyarakat kampung akan kebiasaan mereka bergotong royong di tiap sendi kehidupan mereka. Untuk membangun rumah saja, pada zaman dahulu dilakukan secara gotong-royong tanpa pamrih apapun. Satu dengan yang lain dengan ringannya menolong sesama saudaranya. Menolong tetangganya. Menolong saudaranya. Tanpa perlu diperintah-perintah. Tanpa perlu dibayar. Tapi sekarang? Sekarang sudah tidak seperti dulu.
Kebiasaan bergotong royong semacam itu, nyatanya telah menjadi anjuran dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat al-Mâidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Mâidah/5:2)
Bahkan, dalam masalah terkecil dalam kehidupan sehari hari kita pun melakukan gotong-royong. Misalnya, bagaimana kita saling menolong saudara kita untuk menjalankan sholat. Ibu-ibu dengan sukarela menginfakkan mukena yang dimilikinya di masjid-masjid yang membutuhkan. Bagi Ibu-ibu yang tak berpunya, mencuci mukenapun tak mengapa. Sungguh harmonis. 1 Gayung 2-3 pulau terlampaui. 1 aktivitas ada banyak manfaat yang bisa diraih. Yang pertama minimal ibu-ibu ini mendapatkan pahala dari anjuran tolong-menolong tadi. Adapun bonus yang lain adalah pahala sedekah. Semua kebaikan dalam Islam akan dicatat. Begitu Indahnya.
Itu adalah untuk aktvitas yang kecil. Bagaimana pula dengan amalan yang besar dimana ada kewajiban Islam yang tidak mungkin kita terapkan secara sendirian. Maka tolong-menolong ini, gotong royong ini, persatuan ini mutlak kita perlukan. Misalnya, dalam pelaksanaan ibadah haji dalam Islam. Tidak mungkin ibadah tersebut kita laksanakan sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Bahkan dalam hal ini campur tangan negara mutlak diperlukan. Jika kita ingin menunaikan ibadah haji, pastilah kita membutuhkan persatuan kaum muslimin di seluruh dunia. Begitu pula dalam masalah Palestina yang saat ini sedang meradang. Begitu lama negeri ini dikoyak-koyak dan dihancurkan oleh zionis Israel. Maka, mutlak, kita butuh persatuan umat Islam di seluruh dunia untuk membebaskannya.
Kesadaran akan persatuan ini adalah bukti mereka paham bahwa sesama muslim adalah bersaudara, sebagaimana firman Allah (QS. Al-Hujurat :49). “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat.”
Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan keturunan belaka tetapi lebih pada ikatan iman dan agama melintasi bangsa-bangsa dunia. Persaudaraan dan persatuan ini juga bukan eksklusif internal satu aliran dan madzhab, tetapi universal dalam lintas batas madzhab. Perbedaan madzhab boleh saja terjadi dan memang tidak dapat dihindari. Namun yang terpenting adalah perbedaan itu tidak membuat bercerai-berai. Perbedaan itu justru diharapkan menjadi rahmat sebagaimana dikatakan hadits, bukan menjadi adzab.
Ini adalah masalah kewajiban haji dan pembelaan terhadap Palestina. Lalu bagaimanakah jika dikaitkan dengan kewajiban yang besar. Yang masih menjadi PR besar umat Islam sekarang ini? Dimana akibat belum ditegakkannya kewajiban ini, kita lihat sekarang umat Islam tak ubahnya bak hidangan yang dikerubuti musuh-musuhnya seperti hadits berikut:
“Akan tiba suatu masa nanti umat Islam ini akan diperebutkan seperti makanan yang ada di meja makan, sehingga sahabat yang mendengar menjadi kaget dan bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah nanti kita merupakan umat yang sedikit sampai diperebutkan seperti itu?’ Kemudian Rasulullah mengatakan, ‘Tidak, justru kalian nanti mayoritas, tetapi kalian itu tidak ubahnya seperti buih di lautan. Allah cabut dari dada musuh musuh kalian rasa takut kepada kalian dan ditimpakan ke dalam dada-dada kalian, kemudian di dalam dada-dada kalian akan ada satu penyakit yaitu Al-wahhan.’ Kemudian sahabat bertanya, ‘Apakah Al-Wahhan itu?’ Rasulullah mengatakan, ‘Wahhan adalah cinta dunia dan takut mati’.”
Ya, akibat wahn inilah umat Islam akhirnya lebih cinta dunia. Lebih cinta harta. Tidak cinta kepada Allah. Tidak cinta kepada Syariat Allah untuk ditegakkan. Karena lebih fokus pada kepentingan masing-masing. Bagaimana mungkin muncul keinginan bersatu dalam jiwa mereka?
Persatuan inilah yang mutlak diwujudkan dikalangan umat. Persatuan dalam ukhuwah Islamiyah. Karena sejatinya persatuan yang mengikat umat Islam ini melebihi ikatan darah, yakni ikatan akidah Islamiyyah. InsyaAllah. Allahualam bishowab. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.