Oleh: Intan Naillul Farich
Mahasiswi Universitas Darussalam Gontor
Menjadi seorang mahasiswi yang berkuliah di universitas berbasis pesantren yaitu di Universitas Darussalam Gontor Putri Mantingan, Ngawi membuat saya benar-benar belajar banyak hal. Apalagi, memasuki dunia pesantren merupakah sebuah hal yang baru bagi saya.
Secara, ketika saya menimba ilmu di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas saya bersekolah di sekolah yang menerapkan sistem full day school. Jadi, pengalaman yang hingga detik ini masih berjalan Alhamdulillah merupakan pengalaman yang menjadi bibit untuk belajar hidup mandiri. Hidup di pesantren tentu sangat jauh berbeda dengan ketika kita hidup di rumah, yang semua fasilitas serba mudah.
Pertama, saya harus menyiapkan diri untuk hidup penuh dengan kemandirian
Modal utama dari step ini yaitu kemauan dan keikhlasan untuk menerima berbagai peristiwa yang akan menghadang.
Kemudian yang kedua adalah belajar mencuci baju menggunakan tangan
Sebenarnya di asrama tersedia jasa laundry, namun teman sekamar mengingatkan kepada saya mengenai pentingnya mencuci baju dengan tangan. Seseorang tersebut berkata pada saya, “Ukhti atuh, belajar nyuci pake tangan. Kan mau jadi isteri, mau jadi ibu. Nanti siapa yang mau nyuci coba, kalau bukan Anti.” Saya menimpali, “Lho, kan bisa nyuci pake mesin cuci, atau nanti minta tolong ke Mba yang di rumah.
Tenang.”. Masih dengan aksen sundanya dia berkata, “Atuh nanti kalau belum punya mesin cuci, belum bisa manggil Mba, siapa juga yang mau nyuci. Nanti juga suami teh bakalan suka kalau isteri sendiri yang nyuci bajunya, pahalanya juga bakalan lebih gede. Nanti kalau semisal manggi Mba, berarti pahalanya buat Mba, atuh gimana?” Fix, saat itu juga saya langsung berpikir keras, bahwa apa yang diucapkan oleh Ukhti tadi benar adanya. Kalau semisal cucian baju di rumah dicuci oleh mesin cuci atau yang parah dicuci oleh Mba, berarti kita menyerahkan pahala yang bisa jadi sebagai tiket kita untuk ke surga. Ya Allah, itu tidak boleh terjadi dalam hidup saya.
Pelajaran yang ketiga setelah mencuci baju adalah belajar menyeterika dan melipat baju dengan baik dan benar
Masih dingatkan oleh teman sekamar. Mashaa Allah, mungkin teman sekamar saya cukup prihatin dengan kemampuan saya untuk bisa menjadi isteri yang sholehah, disayang oleh suami, disayang oleh keluarga. Teman saya yang berasal dari Sumbawa mengajari saya teknik menyeterika dan melipat baju. Alhamdulillah,
Kemampuan saya dalam mata kuliah menyeterika dinilai olehnya dengan predikat A. Namun, dalam mata kuliah melipat baju saya mendapat nilai C ̶ . Tapi memang betul apa yang dinilai oleh teman saya, keadaan lemari saya sangat berantakan. Kemudian dia mengajarkan teknik melipat baju dengan baik dan benar. Menurutnya, agar hasil lipatan baju bisa rajin harus diukur menggunakan buku atau menggunakan jari tangan. Jadi semua baju dapat tertumpuk dengan rapih. Hingga saat ini predikat nilai saya dalam mata kuliah melipat baju sudah naik menjadi B ̶ Alhamdulillah, lumayan ada peningkatan.
Pelajaran keempat adalah belajar memasak
Salah seorang ustadz yang menjadi pengasuh asrama sekaligus dosen di kampus kami memikirkan masa depan kami dalam bidang memasak. Apa yang dipikirkan beliau adalah jika kami hidup di pesantren selama ± 4 tahun, dan kesempatan pulang hanya dua kali dalam setahun, maka apa kabar dengan kemampuan memasak kami? Belum lagi jika kami setelah menikah akan langsung menikah, waduh, mau dikasih makan apa nanti keluarganya?. Kami langsung tersadarkan dengan apa yang dipikirkan oleh ustadz bahwa ternyata bisa memasak merupakan kewajiban seorang perempuan. Karena kelak, nanti setelah menikah dan mempunyai anak, suatu hal yang paling dirindukan oleh anak terutama adalah masakan rumah, yakni masakan ibunya.
Sebenarnya masih banyak lagi ilmu-ilmu kehidupan yang belum bisa diceritakan. Namun, dari keempat hal tersebut, kita dapat mengambil pelajaran terutama untuk kaum hawa. Bahwa bagaimanapun kondisi kita seperti apa pekerjaan kita, kita ditakdirkan untuk menjadi manajer dalam rumah tangga dan tentunya posisi CEO diduduki oleh suami.
Kemampuan tersebut sebisa mungkin harus dimiliki oleh seorang perempuan. Karena yang berkewajiban untuk menjalankan hal tersebut adalah seorang perempuan. Selain itu, pahala dengan poin besar juga bisa didapatkan dari amalan tersebut. Wallahu A’lam. []