BERBAGAI permasalahan kerap menerpa sebuah pemerintahan, termasuk pada masa khulafaur rasyidin. Persoalan yang dihadapi khulafaur rasyidin tidak bisa dibilang ringan. Bagaimana mereka mengatasinya?
Setelah Rasulullah Muhammad ﷺ wafat pelaksanaan hukum syariat dilanjutkan sahabat terdekatnya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Mereka kemudian dikenal sebagai Khulafaur rasyidin.
Mereka yang diberikan amanah menjaga syariat yang telah diajarkan Rasulullah ﷺ, ketika menjadi khalifah. Dalam buku Politik Hukum Islam, Konsep, Teori dan Praktik di Indonesia, KH Jeje Zaenudin menjelaskan, apa-apa yang sudah terlaksana pada masa Nabi, dilanjutkan dan dikukuhkan khalifah.
BACA JUGA: Saat Umar bin Abdul Azis Diangkat Jadi Khalifah
Dalam praktiknya, hukum syariat tidak langsung dipakai memutuskan suatu persoalan terbaru. Mereka membentuk sebuah majelis musyawarah untuk menyelesaikan persoalan terbaru itu. Sementara kasus-kasus baru yang membutuhkan keputusan hukum ditangani para khalifah melalui musyawarah, atau kebijakan pribadi khalifah sebagai pemegang otoritas politik.
Dengan demikian kata KH Jeje Zaenudin, tradisi bermusyawarah dan berijtihad dalam memutuskan perkara atas kasus-kasus hukum yang baru dengan merujuk kepada dalil-dalil yang tersirat dalam Alquran dan hadis mulai muncul.
1 Persoalan yang dihadapi Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar Ash Shiddiq
Kasus yang muncul di masa Khalifah Abu Bakar dan paling fenomenal adalah tentang kedudukan orang-orang yang murtad, pengikut para Nabi palsu dan kelompok penentang zakat.
Bagimana cara khalifah Abu Bakar mengatasi persoalan ini? KH Jeje menjawab bahwa hal itu diselesaikan dengan musyawarah sebelum melakukan tindakan keras terhadap mereka yang melanggar-syariat tersebut.
“Jika mereka menolak untuk kembali ke dalam pangkuan Islam dan menaati pemerintahan yang telah disepakati penduduk Madinah, maka Khalifah menginstruksikan untuk memerangi mereka sampai mereka bertobat,” katanya.
2 Persoalan yang dihadapi Khulafaur Rasyidin: Umar bin Khattab
Masalah pada masa kekhalifahan Umar yang terjadi sampai sekarang ini adalah sengketa tahan. Namun Umar segera menyelesaikan masalah ini, sehingga tidak terjadi sengketa tanah di antara masyarakat yang membuat mafia tanah bermunculan.
“Ketika dia harus mengambil kebijakan tentang pembagian tanah-tanah produktif sebagai harta rampasan perang dari negeri-negeri yang baru ditaklukan,” kata KH Jeje.
Sebelumnya, berdasarkan praktik Nabi dan Khalifah Abu Bakar, tanah rampasan perang dari negeri-negeri yang dibebaskan oleh prajurit Islam. Maka tanah itu dibagikan langsung kepada para prajurit yang bergabung dalam peperangan.
Tetapi khalifah Umar bin Khattab memandang praktik semacam itu tidak mungkin lagi diterapkan pada kasus penaklukan negeri Irak yang amat luas.
Maka dia mengambil keputusan untuk menahan tanah-tanah negeri taklukan itu dan menyerahkan kepada para penduduknya untuk tetap mengelolanya dengan perjanjian mereka menyerahkan pajaknya kepada negara.
“Kemudian dari hasil pajak itulah para prajurit diberi tunjangan dan gaji oleh kas negara atas tugas-tugas mereka,” katanya.
Meskipun pada awalnya kebijakan politik hukum Khalifah Umar bin Khattab dalam masalah tanah-tanah rampasan perang di atas mendapat penolakan dan penentangan keras dari sebagian para sahabat Nabi ﷺ.
Tetapi melalui beberapa kali rapat dan musyawarah Khalifah dengan para senior ahlu syura dari kalangan muhajirin dan anshar, maka kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab itu dapat dilaksanakan.
BACA JUGA: Siapa Khalifah Harun al-Rasyid?
3 Persoalan yang dihadapi Khulafaur Rasyidin: Utsman bin Affan
Meski tidak ada perintah dari Nabi Muhammad ﷺ, kebijakan Utsman bin Affan dirasakan manfaatnya sampai sekarang. Banyak penghafal Alquran, menjamurnya rumah-rumah tahfiz Alquran sekarang ini karena ada teks-teks Alquran terbukukan dan ini semua karena kebijakan Utsman bin Affan.
“Di antara kasus baru yang muncul pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan adalah terancamnya kemurnian Alquran karena banyaknya para sahabat senior penghafal Alquran yang gugur syahid di medan perang,” kata KH Jeje.
Atas beberapa usulan, Khalifah mengambil kebijakan membuat tim penghimpun dan penulis Alquran. Proyek besar ini merupakan yang pertama kalinya Alquran dibukukan dalam satu mushaf dengan tertib urutan surat dan ayat yang teratur sesuai dengan yang disaksikan dan dipraktikan Nabi ﷺ. “Bukan lagi berdasarkan urutan dan kronologi turunnya kepada Nabi,” katanya.
Sebagaimana wajarnya setiap kebijakan politik hukum yang dasarnya adalah ijtihad, maka pada awalnya banyak para sahabat yang keberatan dan mengkritik keras kebijakan tersebut. Tetapi pada akhirnya semua pihak bisa memahami dan menerima keputusan tersebut setelah jelas urgensi dan kemanfaatannya.
4 Persoalan yang dihadapi Khulafaur Rasyidin: Ali bin Abi Thalib
Pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib, kasus berat yang dihadapinya adalah pembangkangan beberapa kelompok kaum Muslimin atas otoritasnya sebagai khalifah yang dipilih secara musyawarah oleh para pemimpin kaum muslimin di Madinah. Dengan ijtihadnya, khalifah Ali bin Abu Thalib bertindak tegas dan keras memerangi lawan-lawan politiknya agar tunduk kepada pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinannya.
“Tercatat ada tiga peristiwa perang saudara yang besar sebagai kebijakan politik keras khalifah Ali bin Abu Thalib dalam menundukkan para penentangnya,” katanya.
Pertama adalah perang antara pasukannya melawan pasukan pembangkang yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, Zuber bin Awam, dalam peristiwa yang disebut dengan “Perang Jamal”.
Kedua, perang melawan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan yang terkenal dengan sebutan perang Shiffin.
Ketiga adalah perang menumpas pemberontakan kelompok Khawarij yang bermarkas di Nahrawan.
Selain itu Ali bin Abu Thalib juga adalah Khalifah yang pertama kali mengambil kebijakan penting memindahkan ibu kota kekhalifahan Islam dari Madinah, Kota Nabi, ke Kota Kufah di Irak. []
Referensi: Politik Hukum Islam/Karya: KH Jeje Zaenudin