PERKARA yang keharamannya diperselisihkan ulama, sebagian mengharamkan, sedangkan sebagian lagi tidak mengharamkan, tidak berlaku pengingkaran atau nahi munkar terhadap pelakunya.
Pengingkaran hanya wajib dilakukan pada perkara haram yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Kaidahnya, “La yunkaru al-mukhtalaf fiih wa innama yunkaru al-mujma’ ‘alaih” (لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه).
Pelaku keharaman yang mukhtalaf fiih (diperselisihkan keharamannya) tidak wajib diingkari, karena ada kemungkinan ia melakukannya karena taqlid pada ulama yang membolehkannya, atau ia tidak mengetahui keharamannya.
BACA JUGA: Mengapa Sebagian Ulama Mengharamkan Suami Melihat Kemaluan Istri?
Namun ada beberapa pengecualian dari kaidah ini, yaitu:
1. Persoalannya telah dibawa ke peradilan, dan hakim atau qadhi memandang bahwa perkara yang dilakukannya tersebut adalah haram.
Misalnya, seorang pengikut madzhab Hanafi meminum nabidz (yang dibolehkan dalam madzhab Hanafi selama tidak sampai tingkat memabukkan), maka qadhi bermadzhab Syafi’i wajib menghukum hadd atasnya. Karena tidak boleh bagi qadhi menetapkan putusan yang menyelisihi pendapat yang ia pegang.
2. Orang yang mengingkari punya hak atas yang diingkari. Seperti suami, ia berhak melarang istrinya meminum nabidz, meski istrinya mengikuti pendapat yang menghalalkannya.
3. Jika landasan pendapat yang membolehkan perkara tersebut sangat lemah dan hampir tak berdasar. Pada kondisi ini, orang yang berpendapat demikian dan orang yang taqlid padanya, harus diingkari.
Misalnya tentang kebolehan penerima gadai (murtahin) menggauli (jima’) budak perempuan yang digadaikan. ‘Atha bin Abi Rabah membolehkan hal ini, namun pendapat ini terlalu lemah dan hampir tak berdasar. Karena itu, murtahin yang menggauli budak perempuan yang digadaikan padanya, wajib dihukum hadd atasnya.
4. Orang yang melakukannya berkeyakinan bahwa yang ia lakukan tersebut haram hukumnya. Pada kondisi ini, wajib nahi munkar padanya. Misalnya, orang yang menggauli (jima’) istri yang dalam keadaan talak raj’i (masih dalam masa ‘iddah namun belum ruju’), maka ia dihukum ta’zir.
BACA JUGA: Haram Mengerjakan Shalat bagi yang Tidak Bersuci
Kemudian, kewajiban mengingkari atau nahi munkar terhadap perkara yang disepakati ulama keharamannya pun tetap wajib memenuhi syarat, yaitu aktivitas nahi munkar tersebut tidak menyebabkan fitnah (kerusakan yang lebih besar).
Jika diketahui akan menyebabkan fitnah, tidak wajib nahi munkar, bahkan dalam keadaan tertentu, bisa jadi haram. Pada kondisi ini, ia tidak boleh menyaksikan kemungkaran tersebut dan wajib diam di rumahnya, dan tidak keluar dari rumah kecuali dalam kondisi darurat.
Namun hal di atas berlaku untuk orang biasa. Adapun bagi muhtasib atau ahlul hisbah (petugas yang bertugas melakukan amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat), tetap wajib baginya melakukan nahi munkar terhadap perkara yang jika dibiarkan akan menghilangkan syiar-syiar Islam, baik syiar Islam tersebut fardhu hukumnya, maupun sunnah, seperti Shalat ‘Id dan adzan.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 181-182, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Facebook: Muhammad Abduh Negara