Oleh: Reny Aryb
renyaryb@gmail.com
SEPERTI biasa aku bersama seorang kawan berangkat untuk mengajar di sebuah taman pendidikan Al-Qur’an. Transjakarta menjadi pilihan kami biasanya untuk berangkat mengajar, mengingat biaya yang terjangkau dan antimacet katanya. Bagaimanapun kondisinya tetap saja bis berbadan cukup tua secara dlohirnya ini menjadi favorit kantong kami, kantong mahasiswa.
Namun perjalanan kali ini terlihat cukup menarik.
BACA JUGA: Kisah Tiga Santri dan Sopir Mobil Sayur
Tiba tiba saja sang supir memanggil salah satu dari kami, “Mbak… Mbak … ke sini sebentar, Mbak…”pak supir meminta agar kami duduk di dekat kursinya
“Ada apa ya, Pak?”
“Mbak kuliah di situkan?” sambil menunjuk ke kampus biru kami. Kampus yang cukup di kenal masyarakat luas tentang keilmuannya, apalagi kampus kami berada di bawah yayasan negeri Arab yang terkenal dengan para ulama’nya. Karena di negeri tersebutlah sebaik-baik kalam diturunkan.
“Ya, Pak,” jawab kami dengan rasa percaya diri.
“Wah, pasti pernah belajar sejarah Islam ya?”
“Iya, Pak,” untuk pertanyaan kali ini kami sedikit ragu, apa gerangan maksud si bapak bertanya.
“Kalau begitu saya mau tanya ya?”si bapak siap siap untuk bertanya.
Namun untuk pertanyaan kali ini kami semakin ragu. Pertama, ragu kenapa ya si bapak akan bertanya tentang sejarah Islam, dari mana si bapak tahu tentang sejarah Islam? Kedua, ragu apa iya kami bisa menjawabnya, sambil menyadari diri amat banyak kekurangan, kekurangan semangat dalam membaca terutama.
“Boleh saja, Pak,” sambil berkata dalam hati, kalau nggak dijawab nggak papa ya Pak, hi hi hi…
“Siapakah yang membawa Islam ke Indonesia?”
“Waduh, siapa ya Pak?” sambil garuk-garuk kepala, kami kebingungan.
BACA JUGA: Siapa saja Orang yang Terbebas dari Pertanyaan Kubur?
Meskipun sempat memelajarinya di kelas, tapi kenapa tak ada yang tersisa di memori ya?
“Hayo siapa?” si bapak bertanya lagi.
“Hhhhhh……”.
“Hayo siapa?” si bapak semakin mendesak, dan membuat kami semakin terdesak tak berdaya.
“Memangnya siapa, Pak?” dan akhirnya kami menyerah juga, menyerah pada teka-teki sang bapak, lagi menyerah dengan kebodohan kami terhadap sejarah Islam. Ihhhh, maluku di Indonesia.
Akhirnya sang bapak bercerita panjang kepada kami tentang sejarah keislaman negeri tercinta ini. Begitu banyak yang kami dapatkan siang itu, tak disangka seorang bapak supir bis ini begitu banyak mengenal sejarah Islam. Malu rasanya kami sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah tak mengetahui hal sepenting ini. Padahal kami dijejali ilmu ilmu Syar’i setiap harinya. Setiap jam, para dosen silih berganti memberikan ilmu kepada kami.
Mungkin terkadang aktivitas mencari ilmu kami hanya kami hargai seperti rutinitas biasa. Padahal rutinitas ini bukan sembarang rutinitas, inilah aktivitas agung yang tidak kita sadari, sedang para malaikat selalu menaungi, mencatat, dan mendo’akan kami. Atau terkadang kami hanya mencukupkan diri pada ilmu yang kami dapat di kampus. Padahal ada rentetan karya para ulama’ yang menanti untuk dibaca. Ada banyak ilmu yang harus kami kuasai, tapi kami hanya fokus pada apa yang kami dapat di kampus.
Bahkan kesombongan juga sering munutup kami untuk mencari ilmu lain di luar ilmu yang kami dapat. Merasa sudah banyak menghafalkan ayat dan hadits membuat kami lupa bahwa kandungan ayat dan hadits itu jauh lebih dalam daripada apa yang kami ketahui. Merasa sudah banyak menghafalkan kaidah fiqh membuat kami lupa bahwa ada banyak fiqh kontemporer yang harus kami kuasai juga. Dan berbagai perasaan sudah cukup mengusai lainnya yang membuat kami terus lalai, tanpa sadar bahwa kami masihlah kerdil.
Terkadang kami beralasan waktu, ada tugas inilah itulah yang membuat kami semakin lalai dari menimba ilmu yang lain. Cukuplah malu kami pada para ulama’ dengan sejuta karya dan kesibukkan mereka.
“Ooogh… begitu ya, Pak,”jawab kami sambil merasa takjub dengan kemahiran sang bapak.
“Iya begitulah.”
BACA JUGA: 5 Fakta Unik Sejarah Islam di Eropa
Jasmerah kata kami dalam hati ketika melihat sang bapak begitu lihai bercerita.
“Bapak, guru ya?” tanya kami.
“Bapak mah dosen…”
“Dosen? Dosen di mana, Pak?”
“Di bis, Neng…ha ha ha….”
Kami meringis. Tapi siapapun itu kami sangat menyadari kekurangan kami dan kelebihan beliau. Supir bis yang mengajarkan banyak hak kepada kami. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word