Oleh: Fahd Pahdepie,
Penulis buku ‘Rumah Tangga’ (PandaMedia, 2015)
ENTAH sudah lebaran ke berapa ini terjadi, entah untuk berapa lebaran lagi.
“Kapan Allah akan mengirimkan jodoh buatku?” Itu pertanyaan pribadimu. Keluh rahasiamu. Yang kadang-kadang kamu gumamkan di saat-saat paling sunyi di kesendirian dirimu.
“Kapan kamu menikah?” Itu pertanyaan mereka—entah mengapa selalu terasa seperti sebuah serangan terbuka.
“Apa-apaan ini!?” katamu, sambil mendirikan benteng pertahanan.
“Aku juga ingin menikah, kok! Aku sudah berusaha sekuat tenaga! Aku sudah mengupayakan yang terbaik. Aku masih menunggu—aku hanya percaya Allah akan memberikan yang terbaik untukku!” sambungmu.
“Jadi, kapan kamu menikah?” untukmu, di sini, sepandai apapun kamu menjawabnya atau tidak menjawabnya, pertanyaan itu akan selalu ada sebelum kamu menuntaskan semuanya.
“Doakan saja…” jawabmu. Diplomatis.
Mereka mengangguk. Juga diplomatis. Semoga mereka benar-benar mendoakanmu…
Tapi dua minggu, atau dua bulan, atau setahun berikutnya, seperti setiap lebaran tiba, mereka akan mempertanyakan lagi hal yang sama: Kapan kamu menikah?
Kali ini, kamu tersenyum. Menggelengkan kepala. “Tenang saja,” katamu. Sementara rasa waswas menyerangmu dari dalam. Dan dalam kedip matamu yang ketiga, kamu menghitung jumlah usia. Tenang saja?
Mereka tersenyum. Tetapi tentang semua ini, senyum mereka seringkali tak membuatmu bahagia.
“Tenang, tenang, tenang… Semua masih baik-baik saja—meski tak sesuai rencana.” Kamu mencoba mengobati dirimu sendiri.
… dan para penanya mungkin berlalu, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada untukmu. Lagi dan lagi. Dari siapa saja: Kapan kamu menikah, sih?
“Bah, apa-apaan ini? Konspirasi macam apa ini!?” umpatmu dalam hati.
***
Sekarang, mari mengobrol santai. Mari kita bayangkan sepasang jodoh sebagai dua manusia yang berdiri di dua tepi pantai yang dipisahkan lautan—saling mengandaikan.
Dengan demikian, perjodohan, atau pernikahan, barangkali semacam kehendak untuk saling mempertemukan diri satu sama lain. Keduanya boleh jadi diantarkan takdir untuk bertemu atau dipertemukan, tetapi nasib dan hidup baru bermakna setelah kita memberinya kata kerja, kan? Maka menyeberanglah! Sebagaimana nasib, juga hidup, jodoh selalu butuh kata kerja untuk membuat dirinya jadi bermakna.
“Bagaimana kalau jodohku bukan dia yang sedang menunggu seberang lautan—berdiri di tepian pulau yang menghadap ke arah kita secara berlawanan?” tanyamu.
Bagaimana kamu tahu? Siapa yang tahu?
Kamu menggelengkan kepala. “Aku tidak yakin, sebenarnya. Selalu tidak yakin,” jawabmu.
Keyakinan adalah modal pertama agar kamu bisa menyeberangi lautan, bukan? Itu saja.
“Tapi aku melihat banyak orang yang menemui seseorang yang keliru di seberang lautan!” keluhmu.
“Bagaimana kita tahu jodoh yang tepat?”
Tidak ada yang tahu. Siapa yang tahu?
Tapi, sudahlah. Apa yang salah tentang kegagalan? Kegagalan hanyalah sebuah alternatif. Jalan memutar menuju keberhasilan. Entah tak tersedia pilihan lainnya setelah itu selain keberhasilan, kan?
Lagipula bukankah cerita hidup manusia dimulai dengan sebuah peristiwa kegagalan? Aku mencoba meyakinkanmu—dengan apa saja. Kali ini hanya agar kamu berani menyeberang lautan.
Sayangnya, kamu tetap menggelengkan kepala. “Aku tak bisa berenang dan aku tak mau berlayar,” katamu.
Bagaimanapun aku tak bisa memaksamu. Tetapi apapun pilihanmu, jodoh tetaplah sepasang manusia di dua tepian pulau yang terpisahkan lautan. Tinggal kamu yang memutuskan. Sementara kita bisa melihat lautan dengan dua cara pandang yang berbeda: Bentangan kekejaman yang memisahkan dirimu dari jodoh yang tengah kau andaikan, atau instrumen yang membuatmu selalu punya kemungkinan untuk bisa mencapai pulau lainnya dari pulau tempatmu kini berdiri.
“Seberapa dalamkah sebenarnya lautan?” itu pertanyaanmu berikutnya. Terdengar ragu-ragu.
Kali ini aku yang menggelengkan kepala. Tak ada satupun manusia yang benar-benar tahu, tak ada yang pernah benar-benar bisa mengukurnya. Allahlah yang Maha Tahu Segalanya, sementara manusia hanya bisa menduga-duga, kan?
Kamu menghela napas panjang. Lantas menganggukkan kepala pelan-pelan. []
Sumber: Fanpage Fahd Pahdepie, Penulis buku ‘Rumah Tangga’ (PandaMedia, 2015). Coming soon: ‘Jodoh – sebuah novel’ (Bentang Pustaka, 2015)