Oleh Ghassan Kanafani*
(Penulis adalah jurnalis dan sastrawan Palestina, diterjemahkan secara bebas oleh Hafis Azhari)
MUSTAFA, Sahabatku, surat darimu sudah saya terima. Kamu sudah berusaha semaksimal mungkin agar saya dapat tinggal di Sacramento, untuk mengambil kuliah pada jurusan Teknik Sipil di Universitas California, Amerika Serikat. Saya tidak menyangsikan bahwa di sana ada tumbuhan dan rerumptan hijau, air jenih dan perempuan cantik seperti yang dijelaskan dalam surat. Tapi saat ini, mohon maaf, saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jalur Gaza ini.
Saya merasa sedih karena kita sudah terpisah dan menempuh jalan yang berbeda. Saya masih ingat di masa-masa remaja, ketika kita sepakat bersama-sama, sambil mengikat janji dan berteriak lantang: “Aku ingin jadi orang kaya!” Saya juga ingat ketika kita berdiri di bandara Cairo, Mesir, lalu kita berjabat-tangan di antara hiruk-pikuk kota dan lalu-lalang kendaraan bermotor.
Wajahmu tidak banyak berubah seperti dulu, meskipun ketika kita berjumpa di perempatan Gaza (Shajiya) saya melihat adanya tanda-tanda di wajahmu yang semakin menua. Saat itu, saya melihat kamu banyak bicara seperti biasanya. Dulu, saya melihat kamu begitu senang dengan rencana penerbangan itu. Semula, memang kita sudah bersepakat dan mempunyai alasan yang jelas kenapa harus pergi meninggalkan Gaza. Karena itu, saya mohon maaf atas pembatalan keberangkatan saya itu.
BACA JUGA: 41 Alasan Palestina Istimewa (1)
Tapi sejak kepergian itu, seperti sudah saya duga, nasibmu memang semakin baik. Menteri Pendidikan di Kuwait juga memberimu kontrak, hingga tak jarang kamu sering mengirimi uang untuk keperluan keluarga kami di sini. Saya merasa banyak berutang budi kepadamu, Kawan, meskipun barangkali kamu memahami gaji saya yang tidak seberapa dengan menjadi guru di di wilayah sini.
Saya masih ingat kata-katamu waktu kita berpisah dulu: “Kawan, kamu harus kirim surat untukku setiap hari, kalau perlu setiap menit dan detik! Selamat tinggal, sampai jumpa lagi, Sahabatku…!” Bibirmu yang dingin menyentuh pipi saya, dan saya melihat air mata suci berlinang di wajahmu.
Saya kembali ke Gaza, dan beberapa waktu kemudian, tentara Israel membombardir ibukota Sabha dan menyerang Jalur Gaza dengan pelontar-pelontar granat. Pada waktu itu, saya berencana pergi ke California sendirian, dan bertekad ingin mengirim ibuku dan janda kakakku, dan anak-anaknya sejumlah uang untuk menafkahi hidup mereka. Saya berencana melarikan diri saat itu juga, meskipun ikatan batin dengan keluarga di rumah begitu sulit untuk ditepiskan.
Mustafa, Sahabatku, saya kira kamu paham perasaan saya. Ada semacam ikatan batin yang kuat dengan Jalur Gaza, yang membuat saya sulit untuk meninggalkannya. Barangkali, hal ini sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Kita sudah tahu bahwa kita sudah kalah, bahkan bertubi-tubi mengalami kekalahan, tetapi kenapa pula kita begitu terikat, seakan terus-menerus terpesona dengan tempat ini.
Bahkan, ketika saya berada di Kuwait, dan berlibur di bulan Juni, ingatan saya tentang kampung halaman begitu melekat. Ketika saya menuju Gaza, janda kakak saya berpesan sambil menangis, lalu meminta tolong pada saya agar menjenguk Nadia, puterinya yang berumur 13 tahun di rumah sakit.
Saya berusaha menjenguknya, sambil membawakan satu kilo apel yang saya beli dari kios buah. Entah, peristiwa apa yang terjadi hingga gadis cantik itu terluka di punggungnya. Saat itu, saya tak perlu bertanya, karena saya sendiri merasakan betapa masa-masa kecil kita diliputi oleh ketakutan dan penindasan, dan betapa sulitnya hidup tenang dan bahagia dapat ditempuh di lingkungan sini.
Di ruang perawatan dengan dinding-dindingnya yang putih, saya menatap mata Nadia yang begitu bening. Saya membayangkan, betapa anak-anak yang cedera mempunyai kesucian hati, terlebih jika anak itu terluka karena suatu penindasan dan ketidakadilan. Nadia terbaring di kasurnya, punggungnya tersangga pada bantal besar, dan di atas bantal itu rambutnya yang tebal tergerai begitu indah.
Ada kesunyian mendalam pada tatapan matanya yang berkaca-kaca. Wajahnya tenang dan tabah, seperti wajah seorang nabi yang sedang disiksa. Sebenarnya, ia masih anak-anak, tapi seakan lebih dewasa ketimbang orang-orang yang dewasa sekalipun.
“Nadia,” panggil saya pelan.
Bersama dengan senyum tipisnya, saya mendengar suaranya, “Paman, apakah Paman sudah pulang dari Kuwait?”
Suara itu agak tercekat di kerongkongannya, dan ia mencoba bangkit dengan bantuan kedua tangannya lalu menoleh ke arah saya. Saya mengelus bahunya dan duduk di sebelahnya.
“Nadia… Paman membawakanmu hadiah dari Kuwait. Paman akan menunggu sampai kamu bisa jalan dan betul-betul sembuh. Nanti Nadia ke rumah Paman, dan hadiah itu akan segara Paman berikan. Jadi, Nadia harus cepat-cepat sembuh, ya?”
BACA JUGA: Gaza Palestina, Tempat Dagang Terakhir Ayahnya Rasulullah ﷺ
Nadia tidak menjawab. Matanya berlinang, seakan tersipu malu.
“Kenapa diam saja, Nadia. Paman sudah membelikan celana panjang berwarna merah. Paman tahu, itu warna kesukaan Nadia, kan? Karena itu, ayo cepat sembuh, dan Nadia segera berlari ke rumah Paman.”
“Tapi, Paman…”
Ia tidak meneruskan kata-katanya. Ia hanya menatap mata saya, tampak giginya seakan bergemeretak menunjukkan perasaan kesal.
“Tapi, Paman…”
“Ada apa, Nadia?”
Ia mengulurkan tangan, mengangkat seprai berwarna putih dengan jemari tangannya, dan menunjuk ke arah kakinya, yang ternyata telah diamputasi dari pangkal paha atas.
Mustafa, Sahabatku, sejak saat itu saya tak pernah melupakan kaki Nadia. Saya tak bisa melupakan kesedihan yang tergurat di wajahnya. Segera saya keluar dari Rumah Sakit. Tangan saya terkepal dalam kesunyian, cahaya matahari menerpa jalan dengan warna darah.
Mustafa, Sahabatku, Jalur Gaza ini adalah sesuatu yang baru, yang seakan-akan sengaja mereka ciptakan. Batu-batu yang tersusun mulai dari perempatan Shajiya di mana kita menyimpan kenangan sewaktu kecil, sepertinya batu-batu itu sengaja ditaruh di sana, tanpa suatu alasan lain selain untuk memicu pertikaian dan permusuhan.
Bagi saya, ini adalah suatu permulaan. Saya membayangkan jalur utama di mana kita berjalan sepanjang jalan menuju rumah hanyalah sebuah permulaan. Ketika kita melewati jalur itu, seakan kita diterpa cahaya matahari yang menyilaukan.
BACA JUGA: 10 Pelajaran dari Gaza
Tak berapa lama, Ibu Nadia akhirnya mengatakan, bahwa Nadia telah kehilangan kakinya ketika ia melompat untuk melindungi adiknya, dari serangan bom api yang cakar-cakarnya merambah hingga ke dalam rumah.
Ibunya mengatakan, bahwa sebenarnya Nadia bisa menyelamatkan diri dan melindungi kakinya, tetapi dia tidak melakukannya.
Mustafa, Sahabatku, itulah alasan utama kenapa saya tidak bisa memenuhi permintaanmu untuk meninggalkan kampung halaman. Biarlah saya tetap di Gaza, dan saya tidak akan menyesal dengan keputusan ini. Memang, kita tidak bisa menjalani hidup sebagaimana kita di masa kecil. Tapi, inilah kampung halaman yang harus kita cintai bersama.
Saya juga bisa memahami adanya rasa keberatan sewaktu kita berpisah di bandara dulu. Ada keberatan di hatimu untuk meninggalkan Gaza, tapi saya berharap bahwa rasa keberatan itu bisa dipertahankan, dan semakin membesar dalam hatimu saat ini.
Inilah kampung halaman kita, Kawan. Kembalilah ke kampung halaman tercinta ini. Belajarlah dari kaki Nadia yang terpotong, hingga kita dapat memahami arti kehidupan yang lebih dalam lagi. Pulanglah, Sahabatku, kami semua menunggumu. []
* Ghassan Kanafani (1936-1972), adalah seorang sastrawan garda depan Palestina. Ia dikenal sebagai juru bicara Front Pembebasan Rakyat Palestina dan editor mingguan Al-Hadaf. Ia meninggal pada umur 36 tahun, dibunuh oleh MOSSAD dengan bom mobil di Beirut pada 8 Juli 1972, berdua dengan seorang sepupunya.
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.