Oleh: Hasmar Husein Batubara
“BERAPA Keuntungan yang Bapak hasilkan dari jualan pulpen ini, Pak?” tanya si Faqir.
Dengan senyum dari bibirnya yang kering dia balik bertanya, “Berapa ayat al-qur’an dan hadist rasul-Nya yang kauhafal dan apa hasil yang kaudapatkan, Nak?”
Tiba-tiba tiba si Faqir tertunduk dan terdiam.
Si penjual pulpen mengangkat kepala serempak dengan si Faqir, empat mata bertemu dan bicara berubah menjadi lebih serius.
“Bapak harus bekerja keras seperti ini? Berada di bawah terik yang panas dan di sepanjang jalan yang banyak debu, apakah tidak ada pekerjaan yang lain yang bisa Bapak mendapatkan agar tidak ada kekuatan yang kuat Bapak?”
Senyum si penjual pulpen terlihat lagi seraya Kirim pesan. Pesan yang sangat penting.
“Nak, tahukah kamu bahwa Allah yang sebenarnya adalah sutradara dalam kehidupan ini? Tidakkah kamu sadari pertemuan kita ini salah satu alur dari cerita yang Dia atur? Aku sangat bahagia nak, sama sekali tidak ada kesedihan yang menyelimuti hari-hariku, bersyukur dengan apa yang Ada padaku, gembira dalam pekerjaanku, aku selalu memulai hari dengan nama Allah, lihatlah aku duduk tanpa sandaran, aku menyandarkan semua urusanku untuk nama yang ku ucapkan setiap memulai hari-hariku. “
“Saya juga heran mengapa bapak selalu senyum,” tutur si Faqir.
“Lihatlah sekelilingmu, Nak, berapa banyak manusia yang memiliki wajah tapi enggan untuk pertanyaaan Rasul, padahal hanya sebuah senyuman. Senyum memperkaya kebahagiaan tanpa mengurangi apa pun yang kita miliki, Nak.”
Karena ekstremnya panas di siang itu, baju si Faqir mulai basah dengan dahi mengerut.
Si Faqir mengulangi pertanyaan yang sama seperti diawal pertemuannya.
“Kenapa harus berjualan pulpen, Pak?”
“Saya tidak bisa mengajar nak, saya tidak kuliah, tidak bisa mempengaruhi orang dengan gaya seperti ini. Karena saya tahu kekuarangan itu, saya punya inisiatif seperti ini, biarlah pulpen-pulpen ini menjadi ilmu pengetahuan bagi saya, saya berharap pulpen ini bisa meluaskan ayat-ayat Allah dan pesan-pesan Rasul-Nya. “
“Saya beli pulpennya, Pak”, sahut si Faqir.
“Ambillah, Nak,” sahutnya dan kembali bicara. “Sederhana saja nak, jika kamu tidak bisa menjadi buah seperti yang banyak orang suka, maka jadilah akar yang selalu mencari udara dan mencakar tanah agar buah yang orang inginkan dan bisa dinikmati.” []