Oleh: Muhammad Walid Khakim, muhammadwalidkhakim333@gmail.com
SUDAH seperti sebelumnya, Anas selalu menangis ketika tahu ibunya tak ada di rumah. Biasanya ia segera tanyakan hal itu pada bapak Slamet, tetangga sebelah, tapi pagi ini ia tak menemukan siapa-siapa ketika pulang sekolah. Ia hanya duduk, dan menunggu di rumah dengan air mata yang membasahi piagam penghargaan yang baru didapatkannya.
Lima menit setelah menangis dan meletakkan piagam basah dan tas, Anas minum air putih dengan genggaman pulpen di tangan kiri. Sementara pandangannya tak jauh-jauh dari piagam yang ia letakkan dengan posisi terbalik di atas meja makan.
Aku harus menulis pesan.
Ia merenggutnya dan menulis dengan tulisan yang sangat jelek dan tak mudah dibaca.
Setelah itu, ia buru-buru ganti pakaian di kamar dan menutup pintu rumah, ke luar untuk mencari ibunya.
BACA JUGA: Disaster Jono
Sepanjang jalan ia menangis. Rumah-rumah yang ia lalui tak ada tanda-tanda kehidupan. Orang-orang menghilang. Termasuk juga teman-teman yang sering ia ajak bermain. Pohon-pohon seperti beku dan ogah-ogahan disuapi pertanyaan. Hanya angin yang berembus, itu saja pelan dan lemah. Sementara pongah matahari di tengah hari, kian membakar kulit tipis bocah itu ketika berjalan menerjangnya.
Ke mana mereka? Ke mana ibu? Ke mana aku harus pergi?
Ia terus berjalan sampai kelelahan dan berteduh di bawah pohon asem dekat gardu jaga. Di sana juga tak ada siapa-siapa. Padahal biasanya Pak Kitno, Pak Sukri, Pak Dewo, dan Mamat tengah asyik main kartu dan membiarkan televisi menyala. Ke mana mereka sekarang? Ia makin bingung. Air matanya terasa habis. Yang tersisa hanya kekosongan, dan pertanyaan tanpa jawaban.
Gardu itu berukuran 2 x 2 meter, cukup untuk menaruh kentongan, tikar yang tergulung, televisi yang mati, dan juga sekotak kartu bridge yang diselipkan di antara televisi dan tikar yang lumayan tinggi. Ia belum mampu menggapai letak tombol televisi itu, sehingga ia sedikit melompat dan menimbulkan suara gemeretak di amben tua yang diinjak kakinya.
Setelah lima kali usaha yang lumayan gigih, akhirnya ia berhasil menarik kotak kartu bridge itu. Tapi sedikit limbung ketika mendarat.
Aku harus menulis pesan. Seperti kata Bu Ratri—kita bisa menebak itu gurunya—bahwa, “Kalau kehilangan sesuatu, kita harus mencari tahu. Dan kalau sedang mencarinya, kita harus meninggalkan pesan. Siapa tahu, orang-orang tahu dan mau mengerti kalau kita membutuhkan bantuan mereka.”
Ia menarik 56 kartu dari dalam kotaknya, dan segera mencomot pulpen yang sempat ia selipkan di celah saku celana depannya. Ia menulis pesan di tiap-tiap kartu itu dengan tulisan seperti sebelumnya: jelek, tidak menarik, acak-acakan, dan lebih seperti coretan kaki ayam.
Ia menarik napas lega.
Ditatapinya sekeliling gardu, dan masih tak ada orang.
Ke mana mereka? Apakah mereka bosan tinggal di desa? Tapi aku tak mau sendirian.
Ia berpikir keras, sehingga menimbulkan kerut-merut di keningnya. Mungkin lebih baik aku menempel kartu-kartu ini di pinggir-pinggir jalan. Tapi aku membutuhkan lem.
Ia ingat, cuma ada satu warung di desa itu. Karena itu, warung milik Mbah Bandiyah nampak gemuk dan segar. Tanpa pikir panjang ia menenteng sekumpulan kartu dan meninggalkan pulpen birunya di amben gardu.
Setibanya di warung, ia juga tak menemukan siapa-siapa. Padahal ia ingat, di sekolah ada cucu Mbah Bandiyah yang juga ikut lomba Siswa Teladan tingkat kecamatan bersamanya. Tapi ke mana dia? Bukankah tadi ikut pulang bersamaku?
Tanpa permisi, ia merenggut lem setelah mengobrak-abrik lapak Mbah Bandiyah yang tidak ditutup. Akhirnya.
***
“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun,” sekelompok orang-orang—pria dan wanita—itu mengelus dada.
Seseorang di antara mereka yang sepertinya paling tua, akhirnya angkat bicara berusaha memecah keributan di tengah jalan raya,
“Memang takdir, tak bisa diputar kembali. Kita….”
BACA JUGA: Negeri Tanpa Kepala
“Hus hus, dengar. Pak RT lagi ngomong.” Mereka saling sodok. Dan sekejap, keriuhan yang tak jelas itu berubah jadi lautan kesepian.
Pak RT masih meneruskan kalimatnya dengan menatap jenazah yang setelah sebelumnya dilindas truk besar muatan kayu hutan.
“Apapun kehendak Allah, kita wajib menghormati. Kalau seperti ini, musibah tetap jadi musibah. Semua ribut. Tak ada yang turun tangan. Harus disodok dulu baru mengerti. Ini memang bukan salah kita. Truk itu telah lari, dan ini jadi tanggung jawab kita untuk segera menguburnya.”
“Tapi, Pak. Mayat itu gepeng dan rata dengan aspal. Kita tak mungkin bisa menguburkannya.”
“Kalau begitu, biar aku yang mengangkatnya.”
Jalanan itu memang selalu sepi. Hanya saja, masyarakat setempat kurang hati-hati sehingga menjadi rawan kecelakaan.
Tak ada yang mampu mengenali siapa pemilik wajah mayat itu. Hanya darah yang tercerer sampai ke tepi jalan. Dan juga gepeng.
Tapi mereka jelas tahu, setelah saling pandang dan ada salah satu dari mereka yang tak kelihatan batang hidung dan kepalanya.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun,” mereka kembali mengulangi kalimat tarji’ ketika sama-sama mengeruk dan mengumpulkan mayat gepeng itu. Sebelum akhirnya mereka kembali memasuki desa dan memunggungi jalan raya yang masih tertinggal ceceran darah dan bekas siraman.
***
Anas pulang dan tak tahu harus berbuat apa. Ia merebahkan tubuhnya di depan televisi, dan menonton kartun kesukaannya: Adit, Sopo, dan Jarwo. Ia cekikan sendirian menonton kekonyolan Jarwo yang gagal mengendarai motor Harley Davidson sehingga menghebohkan banyak orang ketika motor itu menyusuri jalan. Ia tertawa lebih keras, terlebih mengingat apa yang ia lakukan hari ini.
Tapi tak berapa lama, ia mendengar suara lain. Suara yang terdengar sepertinya: cekikian. Lantas tanpa basa-basi, ia mengecilkan suara televisi. Suara cekikikan itu bertambah keras. Memenuhi rumah. Bahkan mungkin meluber ke luar rumah dan menemplok di jalan.
Ia mematikan suara televisi, sedikit merinding, dan mengendap-endap menuju arah datangnya suara yang hampir dikenalinya itu.
Ketika menyibak tirai kamar, ia menemukan seorang wanita yang tengah melotot sambil menggenggam piagamnya. Beberapa menit, mereka saling pandang. Bocah itu tahu, ia telah lalai memeriksa kamar orangtuanya. Ada sedikit kengerian di kepala Anas, ketika mata wanita itu juga melotot ke arahnya.
“Ibu!”
Anas terpekik ketika ibunya berlari menyongsongnya dan menyerang dengan pisau dapur. Darah meluber ke mana-mana dari kulit kepala bocah itu. Perempuan itu menangis lebih keras dengan diselingi cekikikan.
Sementara di jalanan desa, orang-orang terpaku di hadapan sederetan kartu bridge yang tertempel di tiang-tiang listrik. Mereka memandang lekat-lekat coretan tak jelas di punggung kartu-kartu itu.
BACA JUGA: Kiara Payung
Kalau ibu tidak pulang, aku akan membunuh ayah.
Anas
Pak Slamet, pembawa jenazah yang terbungkus di plastik putih itu berseru kepada seorang tertua yang berada di iringan paling depan, “Pak RT! Kita harus segera ke rumah Pak Mono, dan memberitahu Anas kalau bapaknya meninggal. Kalau tidak, pasti dia menangis terus. Kasihan.”
“Jangan. Kita harus menguburkan almarhum lebih dulu. Pasti istrinya sudah memberitahu.” []
Biodata: Penulis kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, Ia aktif menulis di sela-sela kegiatannya sebagai produsen bata merah.