TERJADINYA gerhana, ternyata bukan sekedar fenomena alam biasa. Namun ada pesan tersirat yang diselipkan Sang Pencipta, pada peristiwa tersebut. Banyak yang tidak menyadari, ternyata gerhana adalah tanda-tanda yang Allah jadikan, sebagai peringatan untuk para hambaNya. Barangkali dosa-dosa yang sudah disepelekan, kelalaian yang akut, atau maksiat-maksiat lainnya yang sudah merajalela.
Allah SWT hendak mengingatkan melalui fenomena langka ini, kalau-kalau datang azab. Supaya manusia bertaubat, kembali takut kepadaNya. Juga supaya manusia menyadari, betapa maha kuasanya Allah, menjadikan siang yang tadinya terang benderang, tiba-tiba menjadi redup atau bahkan gelap gulita seperti halnya malam.
Sebagaimana diterangkan dalam Alquran, terkadang Allah mendatangkan musibah supaya manusia bertaubat dan menjadi pelajaran untuk mereka.
BACA JUGA: Shalat Gerhana Bulan; Hukum, Niat dan Tata Caranya
وَلَقَدْ أَخَذْنَا آلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِينَ وَنَقْصٍ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al A’raf: 130)
أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) memperhatikan bahwa mereka selalu ditimpa bencana sekali atau dua kali setiap tahun?! Namun mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran.” (QS. At Taubah: 126)
Hanya saja gerhana bukan musibah. Ia adalah tanda atau peringatan, untuk menakut-nakuti dari sebuah petaka atau bala’.
Oleh karenanya, Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk segera sholat, istighfar, bersedekah, dan semangat melakukan amalan-amalan kebajikan saat terjadi gerhana.
Mari simak hadis dari Abu Musa al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berikut. Beliau mengatakan,
”Dahulu pernah terjadi gerhana Matahari (di zaman Rasulullah SAW). Maka Rasulullah SAW segera berdiri dengan perasaan takut kalau terjadi kiamat. Kemudian beliau memasuki masjid untuk melakukan shalat; ruku’ dan sujud, dalam waktu yang amat panjang yang pernah aku lihat.
Setelah itu beliau bersabda,
هَذِهِ الْآيَاتُ الَّتِي يُرْسِلُ اللَّهُ لَا تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
”Tanda-tanda yang Allah kirimkan ini (yakni gerhana, pent), tidaklah terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun Allah hendak menakut-nakuti para hamba-Nya dengannya. Apabila kalian melihatnya, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan istighfar (memohon ampun) kepada-Nya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan dari hadis ini, “Hadits di atas terdapat anjuran untuk beristighfar ketika terjadi gerhana, atau yang lainnya. Karena istighfar adalah diantara sebab untuk menolak bala‘.” (Fathul Bari, 2/546)
Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Kejadian gerhana bulan atau matahari, atau fenomena yang semisalnya, merupakan ujian Allah untuk hamba-hambaNya. Yaitu untuk menimbulkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan peringatan kepada mereka dari berlarut-larut dalam kemaksiatan. Dan supaya mendorong mereka untuk kembali ke jalan Allah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 9/157).
Sampai-sampai diceritakan oleh para sahabat, bagaimana ekspresi takut Rasulullah SAW ketika terjadi gerhana kala itu, “Sampai-sampai beliau keliru mengambil selendang salah satu istri beliau, kemudian setelah sadar, beliau mengenakan selendangnya.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan makna perkataan di atas, “Karena saking buru-burunya dan konsentrasi beliau tertuju pada fenomena gerhana tersebut. Yakni beliau hendak mengambil selendangnya, namun ternyata yang keambil selendang milik sebagian istri beliau. Karena tidak sadar, disebabkan hati beliau disibukkan dengan peristiwa gerhana.” (Al Minhaj 6/212).
Maka dari itu, gerhana bagi seorang mukmin selayaknya menimbulkan rasa takut, membuatnya berfikir akan adzab Allah, dan menyadarkan dirinya untuk segera bertaubat. Bukan ajang untuk hiburan, sekedar tontonan atau menganggapnya sebatas fenomena alam biasa; yang lumrah terjadi.
Imam Ibnu Kastir menasehatkan, ketika menafsirkan ayat, “Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) memperhatikan bahwa mereka selalu ditimpa bencana sekali atau dua kali setiap tahun?! Namun mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran.” (QS. At Taubah: 126).
Beliau mengatakan,
“Seorang yang mukmin, adalah yang berfikir / sadar saat Allah mendatangkan cobaan kepadanya, baik dengan kenikmatan atau musibah. Oleh karenya dalam sebuah hadis diterangkan, “Seorang mukmin selalu mendapatkan cobaan, sampai dia keluar dari alam dunia, bersih tanpa membawa dosa.”
BACA JUGA: Gerhana Matahari; Shalat atau Selfie?
Adapun orang munafik, perumpaannya seperti keledai. Tidak sadar kalau sedang diikat tuannya, ketika diperintah, ketika mendapat musibah, dan ketika diberi.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir untuk ayat 95 dari surat Al A’raf).
Tentu kita tak ingin meniru orang munafik itu. Bersikap dan bertingkah sepertinya. Tidak mengambil pelajaran dari setiap kejadian. []
SUMBER: MUSLIM