Oleh: Agung Pribadi
Penulis Buku National Best Seller “Gara Gara Indonesia”
“Indonesia Modern mencari Jati diri. Yang menang bukan Islam, bukan Pancasila, tapi kaumj pragmatis bernama militer”
ISLAM sebagai ideologi Negara? Ini memang perdebatan lama. Dimulai sudah sejak zaman pergerakan nasional, waktu Belanda masih menjajah Nusantara. Yang paling legendaris adalah perdebatan Soekarno-Natsir tahun 1930-an sampai 1942.
Natsir berkeinginan mendirikan Negara nasional berdasarkan Islam justru karena dia seorang democrat sejati. Dalam pandangan Natsir, umat Islam ada 80% maka wajarlah kalau mereka menginginkan Negara Islam. Hal ini dibantah Soekarno yang mengatakan bahwa agama Islam pada bangsa Indonesia hanyalah lapisan tipis belaka dari keyakinan orang-orang Islam Indonesia. Kalau lapisan itu dikelupas maka yang terlihat sebagian besarnya adalah animisme dan dinamisme.
Perdebatan terbuka juga terjadi antara Soekarno versus Haji Agus Salim, tokoh tua yang disegani semua orang. Soekarno jelas-jelas menginginkan nasionalisme sekuler setelah Indonesia merdeka nanti. Sementara itu Agus Salim menolak pendapat Soekarno karena ia khawatir itu sangat rentan terjatuh pada chauvinism atau ultra nasionalisme. Agus Salim lebih menginginkan nasionalisme Islam, karena lebih bersifat universal.
Perdebatan juga terjadi antara Soekarno dengan Ahmad Hassan, seorang yang dituakan Natsir. Tema debat mereka adalah pernyataan, “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Menurut Soekarno itu hadits dan sebagai konsekwensinya umat Islam harus melaksanakan itu, sedangkan menurut Hassan itu hadits palsu.
Selain perdebatan yang berpusat pada Soekarno di atas juga ada perdebatan antara SI Pusat dengan SI Semarang. SI Pusat mencita-citakan Negara Islam Indonesia dengan ekonomi yang kuat ditandai dengan kuatnya Pengusaha pribumi.
Jiwa zaman saat itu pribumi adalah Islam. Hal ini sangat ditentang oleh SI Semarang yang ingin Negara Indonesia dengan masyarakat tanpa kelas dan tidak ada kapitalisme. Pengusaha termasuk pengusaha pribumi –menurut mereka adalah kapitalis, dan kapitalis adalah jahat.
Akhirnya dari tesis SI Pusat lalu ada antithesis SI Semarang dicapailah sintesis dalam kongres CSI (Centraal Sarekat Islam) ke-2, yaitu Indonesia yang dicita-citakan adalah Negara Islam Indonesia yang memerangi kapitalisme yang jahat ( berarti dalam pandangan mereka ada juga kapitalisme yang baik).
Perdebatan berikutnya terjadi di BPUPKI tentang perlu atau tidaknya Islam dijadikan dasar Negara. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno berpidato yang terkenal sebagai peristiwa lahirnya Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan, lalu diganti PPKI, lahirlah Piagam Jakarta yang rencananya akan jadi teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter lahir dari perdebatan yang keras, sengit, panjang dan berlarut-larut. Ini merupakan kesepakatan bulat. Dengan sila pertamanya yang terjenal yaitu “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” PPKI menyetujui sebulat-bulatnya rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh anggota-anggotanya: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, AA Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, KHA Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Karena rancangan pembukaan UUD itu ditandatangani oleh Sembilan orang tadi di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, maka pembukaan itu disebut Piagam Jakarta, nama yang diperkenalkan pertama kali oleh Yamin.
Tanggal 11 Juli 1945 Latuharhary menyatakan keberatannya terhadap Pancasila, lalu dibantah Agus Salim. Soekarno kemudian menengahi dan mengingatkan, “Piagam ini sudah hasil kesepakatan bulat dan resmi.”
Pada tanggal 14 Juli 1945 Ki Bagus Hadikusumo keberatan dengan piagam Jakarta dan ingin menjadikannya lebih Islami lagi. Soekarno kembali mengingatkan bahwa Piagam Jakarta sudah merupakan kesepakatan bulat antara golongan nasionalis dengan golongan Islam.
Tetapi menjelang tanggal 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengatakan bahwa ada perwira Jepang utusan orang Indonesia Timur meminta tujuh kata dalam sila pertama pancasila versi Piagam Jakarta dihapus. Kalau tidak, orang Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia.
Yang mengherankan, Hatta lupa nama perwira Jepang itu. Padahal Hatta adalah seorang yang daya ingatnya sangat kuat. Masak untuk persoalan yang sangat penting dan menentukan Hatta lupa. Jangan-jangan ini hanyalah karangan Hatta belaka.
Hatta kemudian melobi Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman SIngodimejo untuk menghapuskan tujuh kata itu. Kedua tokoh Islam ini setuju. Bagi sebagian pengamat sejarah, Hatta, Ki Bagus, dan Kasman, telah mengkhianati Piagam Jakarta, apa yang disebut SOekarno sebagai kesepakatan bulat hasil perdebatan sengit, lama, keras, antara golongan Islam dan golongan nasionalis.
Sebuah siding resmi yang menghasilkan kesepakatan dengan susah payah dihapus hanya oleh lobi, suatu peristiwa yang sangat ironis.
Perdebatan kemudian adalah dalam sidang dewan konstituante 1955-1959. Perdebatann ini dipicu oleh pidato Presiden Soekarno di AMuntai Kalimantan Sewlatan, 27 Januari 1953. Pidato inilah penyulut disintegrasi bangsa, karena reaksi-reaksi yang banyak.
Soekarno mengatakan bahwa jangan sekali-sekali mendirikan Negara Islam karena akan menyakiti orang-orang non Islam. Kesalahan Soekarno adalah, pertama sebagai pemimpin Negara dan bangsa yang seharusnya tidak berpihak, ia berpihak. Hal ini dikuatkan oleh BJ Boland –seorang pastor dari Belanda- dalam bukunya Pergumulan Islam di Indonesia.
Kedua, pembentukan Negara dengan ideology apapun baik itu Komunis, Sosialis, Pancasila, atau Islam dibolehkan dalam UUDS 1950 yang berlaku saat itu, asal memenuhi syarat. Hal ini berlanjut terus dalam polemic di media massa dan kampanye-kampanye pemilu dari tahun 1953-1955 dan dilanjutkan dengan perdebatan bebas di Konstituante.
Perdebatan di Konstituante adalah antara yang membela Islam versus yang membela Pancasila. Hal ini disebabkan karena pertentangan ideology di antara mereka, yaitu antara nasionalis, komunis, dan non Islam di satu pihak, semua mengeroyok Islam di pihak lain.
Perbedaan pendapat di antara mereka ini akhirnya membawa mereka ke dalam pengelompokan pemikiran dalam siding Konstituante. Pertama kelompok pemikiran Islam. Bagi mereka, mengajukan Islam sebagai dasar Negara merupakan suatu usaha untuk membentuk tatanan Negara yang dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan aman. Hal itulah yang mendorong mereka berusaha keras untuk menggolkan keinginan mereka. Usaha-usaha mereka kandas karena soal teknis, karena suara mereka tidak mencapai 2/3 dari suara yang disyaratkan untuk disetujui.
Di samping itu, perjuangan menggolkan Islam sebagai dasar Negara mereka anggap sebagai ibadah.
Kedua kelompok pemikiran Pancasila, Kelompok ini terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang alasan mereka masing-masing saling berbeda untuk mempertahankan Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar Negara.
Tetapi pada intinya mereka ingin memisahkan antara urusan agama dengan urusan Negara, alias sekulerisasi. PKI misalnya, ia hanya mencari selamat. Ia mendukung Pancasila yang ditafsirkan Soekarno yang bias diperas menjadi Trisila kemudian diperas lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong. Kalau Ekasila berlaku, berarti PKI tidak perlu mengakui adanya Tuhan karena tidak disebut secara eksplisit di situ.
Golongan non Islam menolak Islam sebagai dasar Negara karena mereka merasa terancam. Sedangkan di kalangan sesama pendukung Pancasila sebagai dasar Negara juga masih ada perbedaan apakah Pancasila hanya sebagai dasar Negara atau juga ideology Negara.
Salah satu bukti bahwa perdebatan di Konstituante itu adalah perdebatan ideologis, ketika membentuk cabinet, partai-partai Islam sulit bersatu untuk duduk bersama dalam cabinet, khususnya cabinet Ali Sastroamidjojo.
Namun dalam sidang Konstituante, partai-partai yang mewakili aspirasi umat Islam bersatu untuk mengusahakan Islam sebagai dasar Negara melawan Pancasila yang didukung kalangan nasionalis, non Islam dan golongan yang bertentangan dengan Islam, komunis.
Umat Islam sangat tegas dalam membela Islam sebagai dasar Negara, juga karena penafsiran yang kabur dan dibuat sekenanya terhadap Pancasila. Sebagai contoh misalnya seseorang seenaknya menempatkan sila Ketuhanan dalam urutan yang lima itu, sementara wakil-wakil komunis ingin sekali mengubahnya menjadi sila kebebasan beragama dan kepercayaan.
Usulan Islam sebagai dasar Negara selain ditentang oleh faksi-faksi non Islam ditentang pula oleh ATmodarminto, yang mengaku sebagai wakil dari isla abangan, seorang yang menjunjung tinggi sinkretisme. Menurutnya, Islam di Indonesia itu masih banyak dipengaruhi kepercayaan dan adat istiadat nenek moyang, jadi masyarakat kita belum masyarakat Islam. Atmodarminto juga khawatir jika Islam dijadikan dasar Negara, hanya orang-orang Islam sajalah yang mempunyai hak penuh dan warga Negara lain non-Islam pasti akan dikurangi haknya.
Bagi sebagian pengamat sejarah, wakil-wakil Islam pada saat itu terjebak dalam rasa superioritas mereka, sehingga lupa menjelaskan secara detail bagaimana menjalankan aturan-aturan Islam yang bersumberkan atas wahyu Allah dan hadits Rasul dalam sebuah Negara modern.
Mereka hanya menekankan bahwa aturan Islam itu lebih lengkap dan sempurna. Perasaan lebih unggul semacam inilah yang sering memperdayakan pembicara wakil Islam, sehingga mereka gagal untuk memberikan jawaban-jawaban secara substansial dan memuaskan.
Menurut Dr. Ahmad Suhelmy, dosen politik UI, wakil-wakil Islam ini juga mempunyai kekurangan dalam mengartikulasikan gagasan-gagasan Negara Islamnya, berbeda dengan wakil-wakil nasionalis, abangan, komunis, dan non Islam.
Menurut Nurcholis Madjid, orang nasionalis, komunis, non Islam itu lemah dalam subtansi isi ajarannya tapi bias membungkus dengan hiasan retorika yang indah. Sementara golongan Islam mempunyai kekuatan dan keunggulan dalam substansi isi ajarannya tetapi lemah dalam membungkus dengan retorikanya.
Lepas dari perdebatan itu semua, sebenarnya dulu kerja KOnstituante sudah 90% selesai. Yang 10% lagi itu adalah masalah dasar Negara. Pancasila atau islam harus mencapai 2/3 jumlah suara Konstituante. Kedua pihak tidak mungkinmencapai itu. Kalau masih mentok juga akan dibentuk tim kecil lalu mereka harus mencoba mencapai kompromi.
Kompromi itu sudah hampir berhasil akan tetapi militer dalam hal ini Nasution mengilik-ngilik Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan KOnstituante dan kembali kepada UUD 1945. Dan benar, Soekarno mengeluarkan dekrit terkutuk itu. Bubarlah Konstituante hasil salah satu pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Sebuah pelajaran berharga pada masa transisi menuju demokrasi di Indonesia (masa reformasi). []