Oleh: Azizah El Rawi
TEMAN-temanku hampir semuanya sudah menikah. Hanya aku dan beberapa orang saja yang belum.
Banyak juga yang mencoba mengenalkanku pada teman mereka yang berniat menikah. Tapi pikirku karena belum jodoh jadi gagal lah semua.
BACA JUGA: Jodoh itu Cerminan, Pastikah?
Lambat laun ada selentingan dari mereka bahwa kegagalan ini karena aku yang pilih-pilih. Apakah pilih-pilih itu salah?
Aku memang bukan hafidz, jadi aku tak saklek mensyaratkan seseorang hafidz untuk melamarku. Tapi setidaknya aku memilih seseorang yang bisa dan senang tilawah, apakah salah?
Aku memang bukan ustadzah yang sering ceramah kemana-mana, jadi aku juga tak menargetkan calon suamiku harus ustadz. Tapi apa salah aku menginginkan calon suami yang senang mencari ilmu, senang ikut berbagai kajian tentang agama?
Aku memang tidak kaya, maka aku tak mensyaratkan seseorang yang melamarku harus kaya. Tapi, saat ada pegawai bank yang melamarku, lantas aku menolaknya secara halus, apakah salah?
BACA JUGA: Introspeksi Diri untuk Menjemput Jodoh
Menikah bukan untuk satu atau dua hari saja. Menikah berarti menyatukan dua karakter berbeda yang tak mudah untuk bisa bekerja sama. Tapi meski perbedaan itu ada, cukup satu yang harus sama. Prinsip hidup. Mau dibawa ke mana arah pernikahan.
Jika keduanya memahami arah pernikahan yang akan dibangun, maka dalam perjalanannya sebesar apapun hambatannya, akan tetap dipertahankan. Karena pernikahan itu bukan hanya didasarkan pada kesukaan pribadi saja, tapi dibangun di atas cinta kepada Allah SWT. Wallahualam. []