“MANG, pinjam motornya, ya…” pinta Udin.
“Ya, ambil aja sendiri di garasi, ini kuncinya,” sahut Mang Dulah, “Tapi nanti bensinnya isi yang penuh ya,” lanjutnya.
Dialog di atas merupakan ilustrasi keadaan yang biasa terjadi di masyarakat. Meminjam motor atau mobi, dengan ‘request’ bensin full tank saat dikembalikan. Yang begitu termasuk riba tidak sih?
BACA JUGA: Motor dan 2 Anak
Dikutip dari Konsultasi Syariah, Ustadz Ammi Nur Baits menjawab permasalahan tersebut dengan penjelasan soal transaksi pinjam meminjam dan utang piutang.
Dalam utang piutag, mengambil keuntungan sekecil apapun dilarang dalam islam. Itu adalah riba. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu,
“Semua utang yang menghasilkan manfaat statusnya riba” (HR. al-Baihaqi dengan sanadnya dalam al-Kubro)
Riba dalam hal ini termasuk tambahan yang dipersyaratkan ketika pelunasan utang.
Sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Burdah, yang ketika itu baru tiba di Iraq. Dan di sana ada tradisi, siapa yang berutang maka ketika melunasi, dia harus membawa sekeranjang hadiah.
“Saat ini kamu berada di daerah yang riba di sana tersebar luas. Diantara pintu riba adalah jika kita memberikan utang kepada orang lain sampai waktu tertentu, jika jatuh tempo tiba, orang yang berhutang membayarkan cicilan dan membawa sekeranjang berisi buah-buahan sebagai hadiah. Hati-hatilah dengan keranjang tersebut dan isinya.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubro).
Larangan hadiah ketika pelunasan ini berlaku apabila transaksinya utang-piutang. Perlu diketahui pula, salah satu konsekuensi dalam utang piutang adalah perpindahan hak milik terhadap objek utang, dari pemberi utang ke penerima utang.
Jika utang motor, maka motor itu berhak dimiliki. Ini berbeda dengan akad pinjam meminjam (al-Ariyah).
Al Ariyah atau pinjam meminjam tidak menyebabkan pemindahan kepemilikan. Peminjam tidak memiliki hak apapun terhadap barang itu, selain hak guna sementara, selama masa izin yang diberikan pihak yang meminjamkan. Dan,barang pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Nah, motor yang dipinjam hanya punya hak guna pakai selama masih diizinkan pemiliknya. Tapi, bensin dalam motor itu merupakan benda habis pakai yang meski akadnya disebut meminjam, namun hukumnya utang. Ini sama seperti meminjam uang, makanan atau benda yang habis jika dipakai lainnya.
As-Samarqandi dalam Tuhfatul Fuqaha’ mengatakan, “Semua benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, maka hakekatnya hanya bisa diutangkan. Namun bisa disebut pinjam sebagai penggunaan majaz. Karena ketika pemilik merelakan untuk menggunakan barang itu melalui cara dihabiskan dengan mengganti, berarti terjadi perpindahan hak milik dengan mengganti.” (Tuhfatul Fuqaha’, 3/178)
Al-Kasani menjelasakan dengan menyebutkan beberapa contoh seperti dinar dan dirham. Berdasarkan penjelasannya dapat dipahami bahwa meminjamkan dinar atau dirham, statusnya adalah utang dan bukan pinjam meminjam. Karena pinjam-meminjam hanya untuk benda yang bisa diberikan dalam bentuk perpindahan manfaat (hak pakai). Sementara dinar dirham tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan, “Jika ada yang meminjam perhiasan untuk dandan, statusnya sah sebagai pinjaman. Karena perhiasan mungkin dimanfaatkan tanpa harus dihabiskan ketika dandan. sementara meminjamkan benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan, seperti bahan makanan yang ditakar atau ditimbang, statusnya utang bukan pinjam meminjam, sesuai apa yang kami sebutkan sebelumnya bahwa posisi pinjam meminjam hanya hak guna, bukan menghabiskan bendanya.” (Bada’i as-Shana’i, 8/374)
BACA JUGA: Rokok dan Riba
Nah, bagaimana soal bensin dalam motor yang dipinjam tadi?
Perlu diperhatikan bahwa akad bukan dari nama, namun dari hakekat dan konsekuensinya. Meminjam motor itu tidak termasuk akad utang, karena motornya tidak habis dipakai dan tidak ada pemindahan hak milik. Yang terjadi hanya pemindahan hak guna pakai.
Bagaimana dengan bensinya?
Mengisi bensin sampai penuh dalam hal ini menjadi iwadh (alat pembayaran) untuk objek yang dimanfaatkan (motor). Akad yang terjadi disini pun bukan utang, melainkan akad ijarah (sewa-menyewa). Dan ijarah semacam ini – insyaaAllah – tidak menjadi masalah dalam syariat Islam.
Jadi, boleh mengisi bensin full tank untuk motor yang dipinjam dan bagi yang meminjamkan, Insya Allah bensin yang diisikan si peminjam itu halal dan bukan termasuk riba. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH