PALESTINA–Perdana Menteri Palestina Muhammad Shtayyeh mengatakan bahwa krisis keuangan yang dihadapi Palestina saat ini adalah akibat perang uang yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap Palestina.
Berbicara melalui konferensi video pada rapat kabinet mingguan di Ramallah, Senin (28/9/2020), Shtayyeh juga mengatakan bahwa penghentian dukungan keuangan dari negara-negara Arab juga berkontribusi pada krisis ini.
“Krisis keuangan telah kita hadapi selama berbulan-bulan adalah akibat perang uang yang dilakukan oleh pemerintah Amerika, dan kemudian Israel, dan penghentian bantuan Arab. Adapun dana Arab untuk proyek-proyek, Uni Eropa, Negara-negara Asia dan Bank Dunia, sebagian besar dighunakan untuk proyek dan bukan untuk gaji,” kata Shtayyeh.
BACA JUGA: Profesor Palestina Kisahkan Penderitaannya Saat Berada di Penjara AS
“AS telah memberi kami sekitar $ 500 juta, dan dana ini berhenti. Adapun bantuan yang datang dari negara-negara Arab, yang berjumlah sekitar $ 350 juta, telah berhenti,” ujarnya.
“Pandemi Corona juga menyebabkan kerusakan besar pada ekonomi dunia dan ekonomi kami, bahkan pendapatan kami menurun hingga 60%. Kemudian muncul masalah aneksasi Israel berdasarkan Kesepakatan Abad Ini yang merupakan inisiatif AS ketika kepemimpinan Palestina memutuskan untuk membebaskan diri dari perjanjian yang ditandatangani dengan Israel, termasuk perjanjian keuangan. Setelah itu semua hubungan dengan Israel dihentikan. Kami menerapkan program penghematan dan pengeluaran dikurangi sekitar 70%, tetapi untuk meningkatkan peran, ketahanan publik dan meringankan penderitaan warga, kami meminjam sekitar 400 juta shekel (Israel) ($ 115 juta) dari bank setiap bulan untuk membayar hanya setengah dari gaji, dan kami membayar bunga kepada bank atas jumlah ini,” papar Shtayyeh.
BACA JUGA: Pertama Sejak 15 Tahun, Palestina akan Gelar Pemilu pada 2021
Perdana Menteri menjelaskan bahwa 350.000 gaji untuk pegawai dibayarkan setiap bulan, termasuk perrsonel militer dan sipil, keluarga yang membutuhkan yang berjumlah 120.000, termasuk 81.000 keluarga di Jalur Gaza, 140.000 karyawan di Tepi Barat dan Gaza, di samping 75.000 pensiunan. personel militer dan sipil di Tepi Barat dan Gaza, serta keluarga tahanan dan martir di rumah dan Diaspora. []
SUMBER: WAFA