Arista Indriani
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Airlangga, Warga asli Tuban, aristo1412@gmail.com
LEBIH dari sepekan terakhir kota Tuban mendadak menjadi perbincangan dan memicu pro kontra di media sosial. Hal ini dipicu oleh berdirinya sebuah patung besar di kawasan tempat ibadah Tri Dharma Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur.
Patung yang menjadi polemik ini adalah patung Kongco Kwan Sing Tee Koen yang memiliki ketinggian 30,4 meter dan telah menghabiskan pendanaan kurang lebih 2,5 Milyar dari donatur yang disebut dari sebuah keluarga di Surabaya. Patung tersebut diklaim sebagai patung panglima perang paling tinggi di Asia Tenggara.
Patung jenderal perang berwajah merah dari zaman tiga negara di daratan China tersebut dianggap melecehkan masyarakat Tuban yang mayoritas Muslim. Sebelumnya juga beredar gambar yang membandingkan patung Jenderal Soedirman dengan patung ini dari sisi ukuran yang jauh berbeda. Sejarah menuliskan kiprah perjuangan Jenderal Soedirman bagi kemerdekaan negeri ini. Sementara sejarah jenderal China tersebut jelas tidak berkaitan secara mutlak dengan sejarah negeri ini.
Dan ternyata diketahui bahwa pendirian patung panglima perang tersebut belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkab Tuban. Namun anehnya, patung tersebut telah diresmikan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada 17 Juli 2017 lalu. Hal ini semakin mendulang protes dari berbagai pihak di seluruh penjuru Nusantara serta viral di media sosial.
Menanggapi polemik yang ada, Ketua Umum Klenteng Kwan Sing Bio, Gunawan Putra Wirawan mengatakan Guan Yu (nama lain dari Kongco Kwan Sing Tee Koen) merupakan simbol Dewa Keadilan, bukan panglima perang. Ada dua makna yang melekat dalam Guan Yu yaitu kesetiaan dan bijaksana.
Sementara itu, menyikapi tuduhan yang beredar bahwa pendirian patung ini diprakarsai umat Konghucu, Ketua Presidium Generasi Muda Khonghucu Indonesia (gemaku.org) Kris Tan pun angkat bicara. Ia menilai, pembangunan patung Guan Yu merupakan sikap yang tidak peka terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Ia menegaskan, dalam tradisi ajaran leluhur Tionghoa sama sekali tidak dikenal doktrin membangun ikon patung yang megah dan absurd, bahkan menuju pada praktik-praktik menduakan Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah ramai diperbincangkan banyak pihak dan menjadi polemik, patung Guan Yu akhirnya ditutup kain putih. Penutupan patung dilakukan hari Sabtu kemarin. Sejumlah petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan crane milik pemkab Tuban dikerahkan untuk menutup patung. Ternyata suasana masih tetap panas. Senin, 7 Agustus 2017 kemarin, sekitar 50 organisasi pemuda dan masyarakat menggelar aksi demo damai menuntut pembongkaran patung Guan Yu di halaman depan DPRD Jawa Timur, Jalan Indrapura, Surabaya, Jawa Timur.
Fathul Huda, selaku bupati Tuban telah mencanangkan Tuban sebagai Bumi wali pada hari jadi Kabupaten Tuban yang ke 722 tahun 2015 lalu. Beliau mengatakan bahwa Tuban ingin meniru spirit para Wali Songo yang telah berjasa menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam di Tanah Jawa, apalagi Tuban memiliki sejarah tersendiri dalam perkembangan dakwah tersebut, terbukti dengan adanya banyak makam wali di Tuban.
Berbagai program pun dilakukan beliau sebagai kelanjutan tujuan mulia tersebut, misalkan mewajibkan dan memfasilitasi siswi mulai sekolah dasar untuk menutup aurat, memberikan gaji bagi pengajar TPQ dan berbagai program lain. Peresmian patung Guan Yu jelas bertentangan dengan tujuan mulia Tuban sebagai Bumi Wali karena pendirian patung telah melanggar ketentuan syariat Islam. Patung makhluk bernyawa adalah sesuatu yang sudah disepakati keharamannya dalam ketentuan syariat.
Cara paling mudah untuk menunjukkan eksistensi di suatu tempat adalah dengan membangun sesuatu yang monumental, membahana, menggelegar. Demikian pula kiranya dengan pendirian patung panglima perang China di atas Bumi Wali, Tuban. Terkesan pembuat patung itu seolah ingin menampakkan seberapa hebat dia berkuasa dan memiliki kekuatan di wilayah tersebut. Maka tepat pernyataan Ketua Presidium Generasi Muda Khonghucu Indonesia, Kris Tan yang menyayangkan pembangunan patung Guan Yu sebagai tindakan ketidakpekaan pada kondisi sosial, sehingga membuat sesuatu yang menimbulkan kontroversi dan masalah.
Karena itu, seharusnya pemerintah setempat bahkan pemerintah pusat peka terhadap hal ini. Bahwa di tengah situasi yang sensitif dan panas, adanya patung ini akan memperburuk kondisi negeri yang saat ini sedang diuji dengan berbagai isu keberagaman dan intoleransi. Tidak hanya sekedar masalah ikon Bumi Wali bagi Tuban tapi lebih dari itu, negeri ini mayoritas adalah umat Muslim. Hendaknya pemerintah tidak mengabaikan perasaan dan keterikatan umat terhadap syariat. Bahkan seolah menumbuhkan ketakutan di tengah masyarakat pada syariat islam (Islamophobia) dengan memberikan serentetan label negatif pada Muslim yang berusaha untuk taat syariat.
Firman Allah SWT, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (TQS Al A’raaf 7:96).
Keberkahan itulah yang pastinya diharapkan oleh setiap umat manusia tak terkecuali penganut agama lain, karena hakikat keberkahan adalah ziyadatul khair, yakni bertambahnya kebaikan. Begitulah layaknya Islam sebagai Rahmatan lil ’Alamin, Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam, rahmat bagi seluruh umat baik muslim maupun non muslim. Wallahu a’lam. []